Oleh: Fajar Anugrah Tumanggor

Demonopolisasi Asing terhadap SDA Indonesia

Demonopolisasi Asing terhadap SDA Indonesia
Bagai sebuah rantai yang tidak akan pernah putus, semboyan negara Indonesia sebagai negara yang kaya atas sumber daya alamnya menancap kuat di benak masyarakat Indonesia. Padahal, manifesto kekayaan itu bersifat imajiner, semu dan tak sesuai fakta di lapangan. Hal itu terjadi seiring perkembangan neoliberal yang mencerabut kuasa negara dalam mengelola sumber daya alam yang terkandung di dalamnya. Geliat pasar bebas, arus modal, jasa, investasi semakin ken-cang dan tak terbendung. Implikasinya, kualitas pembangunan yang terjadi di Indonesia dilabeli sebagai produk asing.
 
Perangkap neolib ini sebenarnya sudah dirancang pemikir Barat (Amerika) yang tidak senang dengan kepemimpinan Soekarno yang cenderung pro-negara sosialis seperti Cina dan Soviet. Situasi perang dingin (Cold War) ketika itu, menempatkan dua kekuatan besar, yakni Soviet dan Amerika berebut pengaruh di daratan Asia, termasuk Indonesia.
 
Indonesia yang sudah sejak zaman penjajahan Belanda (VOC ketika itu), menjadi lintas perdagangan dunia (melalui Sunda Kelapa-Batavia), pun sudah diincar oleh negara-negara pe-ngelana seperti Inggris, Portugis, dan Belanda karena kekayaan rempah yang dimilikanya. Kekayaan inilah yang kemudian melahirkan penjajahan klasik yakni 3G (gospel, glory, gold). Menciptakan sebuah imperium (kejayaan), dan mencari kekayaan (salah satunya dari penguasaan akan sumber daya alam negara dunia ketiga-seperti Indonesia).
 
Namun, Barat (khususnya Amerika), agaknya menahan napas beberapa saat karena yang berkuasa ketika itu adalah Soekarno yang sangat benci terhadap imperialisme dan neoliberalisme. Soekarno telah menangkap sinyal negatif bilamana Indonesia ikut terjun dalam percaturan pasar global. Implikasinya adalah menenggelamkan negara yang memang masih dirundung permasalahan kualitas SDM yang lemah. Karena itulah, Soekarno ingin menciptakan revolusi mental, salah satu pilarnya adalah berdikari secara ekonomi.
 
Namun, kepemimpinan Soekarno tidak bertahan lama. Soeharto datang dan menghancurkan rencana Soekarno yang berusaha menegakkan sistem welfare state dengan pondasi utamanya adalah kemandirian ekonomi. Karena bagi Soekarno, kemandirian adalah sikap utama yang harus dimiliki suatu negara untuk membangun negara yang sejahtera. Soeharto yang memang secara eksplisit memihak ke Amerika telah melakukan kup terhadap Soekarno dengan bantuan mafia Berkeley-intervensi Amerika. Walhasil, dimulailah era monopoli asing terhadap SDA Indonesia.
 
Langkah awal yang diambil Soeharto ketika itu adalah melahirkan kebijakan UU PMA (Penanaman Modal Asing) No.1 Tahun 1967. Kebijakan ini merupakan pintu masuk monopolisasi sumber daya alam yang ada di Papua. Undang-undang ini memberikan kuasa eksplorasi bagi PT Freeport dalam mengeruk sumber daya alam yang ada di Papua.
 
Dalam latar semacam itulah, eksplorasi ekonomi keruk dan perampasan tanah orang asli Papua menghebat. Pemodal-pemodal dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jepang, RRT (Republik Rakyat Tiongkok), dan Indonesia sendiri bersaing memperebutkan kontrol sumber alam Papua. Dan hasilnya, menurut laporan Forest Watch Indonesia, dari 79,62 persen tutupan hutan Papua pada 2000-2009, 38,72 persen telah mengalami deforestasi-terbesar dari semua wilayah.
 
Keuntungan yang didapat PT FI dengan eksplorasi tambang emas terbesar di dunia sangat fantastis. Menurut laporan per 2010, keuntungan yang didapat PT FI sebesar 4.000 triliun, dan royalti yang diberikan pada Indonesia hanya 1 persen. Sungguh sial, karena pengerukan yang sudah merugikan negara Indonesia--sejak tahun 1967 tampak tak menemui titik ajal. Pasalnya, bisnis keruk itu menemukan gugusan sumber daya alam baru yakni uranium, bahan utama pembuatan nuklir. Lagi-lagi, masyarakat pribumi dirugikan karena tak mendapatkan dampak positif yang signifikan.
 
Itu masih satu contoh. Contoh lain, sejak dibukanya arus liberalisasi masa Soeharto, geliat pembangunan ekonomi liberal semakin melesat kencang. Hasilnya, digencarkanlah pinjaman-pinjaman luar negeri ke IMF (International Monetary Fund), WB (World Bank), WTO (World Trade Organization) untuk menjalankan pembangunan sektor ekonomi yang terkenal dengan konsep Repelita. Padahal, pinjaman itu diberikan tidak cuma-cuma. Pasti ada imbalan yang ingin didapat oleh para pendonor pinjaman. Di masa pemerintahan Soeharto (1966-1998), utang luar negeri kita membengkak di kisaran $151 miliar (kurs 13.000-tahun 1997). Walhasil, negara asing semakin menancapkan kejayaannya dengan memonopoli struktural kepemimpinan selan-jutnya, yang digawangi oleh BJ. Habibi sampai era Jokowi saat ini.
 
Belum lagi sumber daya alam kita yang tercabik kedaulatannya karena di kelola oleh pihak asing yang (lagi-lagi) semakin membuat kita seolah-olah terasingkan dari tanah ulayat kita sendiri. Saat ini, 70-80 persen aset negara dikuasai oleh asing. Contohnya di aset perbankan, asing telah menguasai 50 persen sahamnya. Kedua, di sektor lain seperti migas dan batu bara antara 70-75 persen, telekomunikasi 70 persen, dan lebih parah adalah pertambangan emas dan tembaga yang dikuasai sekitar 80-85 persen (Antara, 10 November 2013).
 
Geliat neoliberalisme ini pada akhirnya akan membunuh kedaulatan negara kita. Keterpurukan bangsa dalam sistem ekonomi global juga dipengaruhi oleh kualitas pemimpin kita yang tidak berani untuk menentang monopoli asing di tanah pertiwi. Jokowi tetap melanjutkan tren negatif ini. Kerjasama yang dibangun Jokowi tampak sekali begitu menuhankan asing terutama Cina. Proyek-proyek seperti MRT, LRT, jalan Trans Papua, kereta cepat Bandung-Jakarta dan lainnya dibiayai oleh Cina. Lagi-lagi, pemimpin kita memperlihatkan keterpurukannya dalam menghadapi arus neolib yang begitu ganas.
 
Seharusnya, Indonesia patut meniru negara-negara dengan ekonomi terbaik di dunia seperti Cina dan Jepang yang melakukan proteksi pada sumber daya alamnya. Kedua negara tersebut melakukan proteksi pengelolaan SDA yang diserahkan ke investor-investor dalam negeri yang tidak dicampuri oleh pihak asing.
 
Tapi sebelum sampai ke sana, Indonesia patut melakukan hal ini. Pertama, Indonesia harus mampu menasionalisasi perusahan-perusahan yang sempat menjadi milik asing. Langkah ini patut diambil guna menyelamatkan kekayaan SDA kita yang masih terkandung di dalamnya. Cina pernah melakukan hal serupa: menasionalisasi perusahan-perusahan UMKM yang menjadi soko guru perekonomian bangsa. Kedua, perlu upaya regulasi guna memperpendek atau bahkan memutus kontrak yang telah dibangun dengan negara asing. Kalau pun tak bisa sepenuhnya mengusir, upaya demonopolisasi melalui kebijakan win-win solution perlu dicari dan kemudian diimplementasikan dengan menguntungkan kedua belah pihak.
 
Ketiga, rekaktualisasi koperasi sebagai soko perekonomian bangsa. Hatta mengatakan bahwa saham kolektif (koperasi) akan lebih menguntungkan bagi bangsa yang majemuk dan heterogen seperti Indonesia. Mengaktifkan kembali koperasi sebagai pondasi perekonomian bangsa patut dilaksanakan guna membangun kualitas ekonomi kolektif yang bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan bersama.
 
Kiranya, langkah-lankah inilah yang perlu diambil guna menghancurkan monopoli asing di bumi pertiwi yang kita cintai. Semoga. (sumber: analisadailyc.om)
 
*Penulis adalah Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP USU dan Peminat Ekopol Internasional, anggota TWF dan Alumni PCB Sumut.