Komite II DPD RI: Sistem Keselamatan Pelayaran di Indonesia Relatif Buruk

Komite II DPD RI: Sistem Keselamatan Pelayaran di Indonesia Relatif Buruk

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA – Komite II DPD RI menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan PT. Pelindo II, PT. Pelni, PT. ASDP Indonesia Ferry, Indonesian National Shipowners Association (INSA), dan Ikatan Korps Perwira Pelayaran Niaga Indonesia (IKPPNII), Selasa (19/3/2019). 

RDPU tersebut untuk mendengarkan masukan mengenai penyusunan RUU perubahan atas UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Penyusunan RUU Perubahan tersebut bertujuan agar bidang pelayaran di Indonesia mampu mewujudkan aktivitas pelayaran yang dapat bermanfaat bagi daerah.

Menurut Ketua Komite II DPD RI, Aji Muhammad Mirza Wardana, perubahan atas UU No. 17 Tahun 2018 dilakukan karena saat ini undang-undang pelayaran tersebut dianggap masih belum optimal dalam mendorong transportasi laut di Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara lain. Bahkan kondisi pelayaran di Indonesia masih dianggap kurang dari standar internasional, karena masih banyak hal yang harus diperbaiki.


“Dari hasil riset dan studi keamanan maritim 2017 tentang isu keselamatan maritim, Indonesia termasuk negara yang sistem penyelenggaraan pelayarannya relatif buruk, karena tingginya kecelakaan laut secara nasional, dan lemahnya kesadaran akan pentingnya penerapan norma-norma keselamatan maritim serta tata kelola sistem pelayaran yang baik,” paparnya.

RUU perubahan atas UU No. 17/2018 ini bertujuan untuk memperbaiki beberapa kelemahan dalam pelayaran di Indonesia. Seperti kelemahan yang terjadi dalam manajemen keselamatan dan keamanan maritim. 

Perubahan atas undang-undang tersebut menekankan pada aspek keselamatan bagi pengguna transportasi laut. Dimana faktor keselamatan tersebut akan diikuti oleh aspek biaya yang terjangkau, kecepatan dan ketepatan waktu, serta aspek kenyamanan.

Anggota DPD RI asal Provinsi Kalimantan Timur tersebut juga menemukan adanya tumpang tindih kewenangan antar instansi penegak hukum di laut yang sampai saat ini masih menjadi masalah karena ego sektoral masing-masing instansi. Hal tersebut berdampak terhadap kondisi pelayaran di Indonesia yang kurang maksimal. 

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pelayaran Nasional atau Indonesian National Shipowners Association (INSA), Carmelita Hartoto, menjelaskan bahwa implementasi UU No. 17 Tahun 2018 masih kurang dari ideal. Undang-undang tersebut dirasa masih belum memberikan jaminan yang pasti bagi para pelaku transportasi laut (pelayaran) di Indonesia. 

“Undang-undang ini masih memerlukan implementasi yang maksimal. Jika bicara soal keselamatan, kita memang harus memperkuat itu di daerah. Dan kita belum menjalankan semaksimal mungkin atas undang-undang ini,” tukas Carmelita.

Dalam kesempatan yang sama, Direktur IPC, Dani Rusly mengatakan, saat ini industri pelayaran dan transportasi laut sangat membutuhkan pembangunan infrastruktur.

Infrastruktur tersebut digunakan untuk mendukung transportasi laut yang dibutuhkan oleh para pelaku usaha pelayaran, salah satunya untuk membangun perekonomian dan menciptakan keamanan dan keselamatan. Menurutnya hal-hal tersebut harus diakomodir dalam RUU Perubahan atas UU Pelayaran kedepannya.

Reporter: Syafril Amir