Tiga Dokter Terjerat Korupsi Alkes Nilai Dakwaan JPU Tidak Jelas, Tidak Cermat, dan Tidak Lengkap

Tiga Dokter Terjerat Korupsi Alkes Nilai Dakwaan JPU Tidak Jelas, Tidak Cermat, dan Tidak Lengkap

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Dakwaan jaksa penuntut umum terhadap tiga terdakwa yang merupakan dokter yang bertugas di RSUD Arifin Achmad Riau, dinilai tidak jelas, tidak cermat, dan tidak lengkap. Untuk itu, majelis hakim yang memeriksa perkara itu diharapkan memutuskan untuk menolak dakwaan JPU.

Hal itu sebagaimana tertuang dalam eksepsi atau keberatan tiga dokter yang menjadi terdakwa dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di RSUD AA Riau, atas dakwaan JPU, yang disampaikan pada persidangan yang  digelar, Rabu (9/1/2019).

Usai persidangan, Firdaus Ajis selaku Penasehat Hukum dari tiga dokter, yaitu dr Kuswan Ambar Pamungkas, dr Weli Zulfikar, dan drg Masrial, memberikan penjelasannya. 


"Bahwa dakwaan JPU itu tidak cermat, tidak jelas, dan tidak lengkap," sebut Firdaus Ajis.

Sebelumnya dalam dakwaan JPU dinyatakan perbuatan para terdakwa terjadi pada tahun 2012 hingga 2013 silam dengan cara membuat Formulir Instruksi Pemberian Obat (FIPO) dengan mencantumkan harga yang tidak sesuai dengan harga pembelian sebenarnya dalam pengadaan alat kesehatan spesialistik Pelayanan Bedah Sentral di RSUD AA Riau. 

Dalam pembelian itu, pesanan dan faktur dari CV PMR disetujui instansi farmasi. Selanjutnya dimasukkan ke bagian verifikasi untuk dievaluasi dan bukti diambil Direktris CV PMR, Yuni Efrianti. Selanjutnya dimasukkan ke Bagian Keuangan.

Setelah disetujui pencairan, bagian keuangan memberi cek pembayaran pada Yuni Efrianti. Pencairan dilakukan Bank BRI, Jalan Arifin Achmad. Setelah itu, Yuni Efrianti melakukan perincian untuk pembayaran tiga dokter setelah dipotong fee 5 persen.

Terkait FIFO tersebut, Firdaus Ajis membantahnya. "Karena JPU mengutamakan FIFO yang merupakan administrasi umum, sama dengan resep. Disamakan dengan dokumen pengadaan. Dan disebutkan di situ ada harga barang," sebut Firdaus. 

"Yang ada harga itu nanti di pengadaan barang," sambungnya menegaskan.

Masih di dalam dakwaan JPU dinyatakan, Pembayaran dilakukan kepada dokter dengan dititipkan melalui staf SMF Bedah, saksi Firdaus. Tindakan terdakwa melanggar peraturan pemerintah tentang pengelolaan keuangan daerah.

Terkait peraturan tentang pengelolaan keuangan daerah, Firdaus Ajis memberikan pemaparannya. Menurutnya, ada peraturan khusus mengenai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Sehingga, katanya, peraturan tentang pengadaan barang pada umumnya, tidak dapat dipakai dalam perkara tersebut. 

"Ada Perpres Nomor 54 Tahun 2010 itu, disamakan dengan PP Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pengadaan Barang di BLUD. Kemudian ada peraturan tersendiri tentang hal ini diatur dalam Permendagri Nomor 61 Tahun 2007, bahwa terdapat fleksibilitas tentang pengadaan barang di BLUD," kata dia.

Sebagai contoh dari fleksibilitas itu, sendiri, sebut Firdaus, jika barang yang dibutuhkan tudak ada, boleh dibeli, utang, maupun dipinjamkan. Terkait itu pembayarannya melalui kas.

"Karena memang dalam ketentuan itu, yang boleh keluar dari kas apabila dibutuhkan," terang Firdaus.

"Dan SK Gubernur itu dalam dakwaan JPU tidak secara lengkap disampaikan. SK Gubernur itu tidak hanya dia berubah dari penggunaan bersumber dari APBD, juga harus disampaikan juga JPU seharusnya bahwa BLUD ini dengan status penuh. Kalau status penuh, fleksibel untuk menggunakan uang," lanjutnya.

Dalam dakwaan JPU dinyatakan, CV PMR diketahui bukan menjual atau distributor alat kesehatan spesialistik yang digunakan ketiga dokter. Kenyataannya, alat tersebut dibeli langsung oleh dokter bersangkutan ke distributor masing-masing.

Alat kesehatan juga tidak pernah diserahkan CV PMR kepada panitia penerima barang dan bagian penyimpanan barang di RSUD AA Riau sebagaimana ketentuan dalam prosedur tetap pengadaan dan pembayaran obat, gas medis dan alat kesehatan pakai habis BLUD AA Riau.

Selama medio 2013 dan 2013, Direktris CV PMR dibantu stafnya Muklis telah menerbitkan 189 faktur alat kesehatan spesialistik. Harga alat kesehatan yang tercantum dalam faktur berbeda-beda dengan harga pembelian yang dilakukan terdakwa dr Welly Zulfikar, dr Kuswan Ambar Pamungkas dan drg Masrial.

Dari audit penghitungan  kerugian keuangan negara ditemukan adanya kerugian negara sebesar Rp420.205.222.  Jumlah itu diterima oleh CV PMR dan tiga dokter dengan jumlah berbeda.

Perinciannya adalah CV PMR sebesar Rp66.709.841. Sementara selisih harga alat kesehatan atau mark up harga yang diterima oleh ketiga dokter adalah dr Welly Zulfikar sebesar Rp213.181.975, dr Kuswan Ambar Pamungkas Rp8.596.076 dan dr Masrizal Rp131.717.303. 

"Kita tetap berharap majelis hakim dengan segala kerendahan hati, menerima eksepsi kami. Kalau eksepsi dikabulkan, penangguhan kan tidak perlu. Tapi menjelang putusan sela, bisa dikabulkan, kita sangat berterimakasih," pungkas Firdaus Ajis.


Reporter: Dodi Ferdian


 



Tags Korupsi