Menang Perdata, Tiga Dokter Tersangka Korupsi Alkes Optimis Hadapi Persidangan

Menang Perdata, Tiga Dokter Tersangka Korupsi Alkes Optimis Hadapi Persidangan

RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Tiga dokter yang mejadi tersangka dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau akan mempersiapkan diri menghadapi proses sidang yang diperkirakan digelar dalam waktu dekat. Salah satunya, membawa putusan perdata terkait persoalan yang terjadi tahun 2012/2013 lalu.

Dikatakan Firdaus Aziz selaku Penasehat Hukum dari para tersangka, dirinya mengapresiasi kinerja Kejari Pekanbaru yang mampu merampungkan dakwaan dalam waktu yang cepat, meski penangguhan penahanan kliennya ditolak. Tentunya dengan rampungnya dakwaan, berkas perkara bisa segera dilimpahkan ke pengadilan.

"Berhubung penangguhan penahanan tidak dikabulkan, otomatis pelimpahan berkas ini sebagai 'obat' lah dari penolakan itu," ujar Firdaus seraya berharap jadwal pelimpahan berkas tidak molor, dan tetap dilakukan dalam minggu ini.


Jika telah dilimpahkan ke pengadilan, proses persidangan juga diyakini bisa segera digelar. Saat itulah, katanya, pihaknya akan memaksimalkan segala upaya untuk melakukan pembelaan terhadap kliennya.

"Tentunya, jika itu memang sudah dilimpah, kita tentu akan mempersiapkan segala upaya pembelaan terhadap klien kita ini," sebutnya.

Dirinya yakin, tiga dokter itu tidak bersalah sebagaimana yang disangkakan kepada mereka. Keyakinan itu bukan tanpa alasan. Pasalnya, tiga dokter itu telah menang gugatan perdata yang diputus PN Pekanbaru belum lama ini.

"Kita akan buktikan di pengadilan, karena modal kita secara perdata," tegas Firdaus Aziz.

Dalam gugatan perdata itu, tiga dokter merupakan pihak penggugat. Sementara RSUD AA melalui Badan Layanan Umun Daerah (BLUD) dan CV PMR, masing-masing merupakan pihak tegugat I dan II.

Adapun gugatan yang dikabulkan majelis hakim PN Pekanbaru itu, adalah pihak tergugat diwajibkan membayar utang kepada pihak penggugat sebesar Rp460 juta, tergugat diwajibkan membayar bunga kepada penggugat sebesar 18 persen pertahun, terhitung mulai diajukannya gugatan ke pengadilan hingga keluarnya keputusan berkekuatan hukum tetap.

Lalu, tergugat diwajibkan membayar dwangsom (uang paksa) sebesar Rp1 juta perhari jika terjadi keterlambatan pembayaran sejak ada putusan tetap. Terakhir, menghukum tergugat untuk membayar biaya peradilan sebesar Rp1.256.000.

Dasar gugatan tiga dokter itu terkait alat kesehatan (alkes) di RSUD AA Provinsi Riau tahun 2012-2013 lalu. Belakangan, alkes ini menjadi persoalan oleh penyidik Polresta Pekanbaru karena diduga adanya penyimpangan yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

"Ternyata dalam pembuktian kita (pada sidang perdata), ada barang (klien) kita, ll yang belum dibayar. Totalnya itu sampai Rp460 jutaan," kata Firdaus.

Tahun 2012/2013 lalu, anggaran pengadaan alkes di RSUD AA mencapai Rp5 miliar. Sementara yang diusut Polresta Pekanbaru adalah kerja sama yang dijalin pihak rumah sakit dengan rekanan CV PMR.

Dalam penyidikannya, pihak kepolisian mendapati pengadaan alkes tersebut tidak sesuai prosedur. Pihak rumah sakit menggunakan nama rekanan CV PMR untuk pengadaan alat bedah senilai Rp1,5 miliar.

Dalam prosesnya, penyidik menyatakan pihak dokterlah yang membeli langsung alat-alat tersebut kepada distributor melalui PT Orion Tama, PT Pro-Health dan PT Atra Widya Agung, bukan kepada rekanan CV PMR. Nama CV PMR diketahui hanya digunakan untuk proses pencairan, dan dijanjikan mendapat keuntungan sebesar lima persen dari nilai kegiatan.

"Menurut fakta persidangan (perdata), RSUD sudah membayarkan ke CV PMR. Cuma, CV PMR belum melunasi ke pihak dokter karena ada anu (persoalan,red) di antara mereka, antara direksi dengan orang kepercayaannya. Itu faktanya," terang Firdaus.

Terkait ini, kata Firdaus, adanya alkes itu bukanlah berupa kegiatan pengadaan dari proses tender, melainkan pinjam meminjam. Hal ini sebagaimana keterangan Firdaus Aziz lebih lanjut.

"Mengapa mesti dipakai pihak ketiga untuk perjanjian pinjam meminjam alat. Dokter karena profesinya memang memiliki alat kesehatan, baik untuk RSUD maupun RS swasta," sebutnya.

"Pada tahun 2012-2013 itu, alat di RSUD itu faktanya gak ada. Jadi dipinjamlah alat dokter ini tujuannya semata-mata untuk pelayanan kepada pasien. Agar tidak ada komplain ke RS. Ini harapannya," sambung Firdaus.

Menurutnya, hal seperti ini telah terjadi berulang kali, dan tidak pernah timbul persoalan. "Ternyata kemudian, saat penyidikan oleh Polresta, rupanya terhadap pembayaran kepada dokter, dia (rumah sakit dan CV PMR,red) ada membuat semacam dokumen, seolah-olah itu dokumennya pengadaan alkes. Padahal itu barang dokter," terang Firdaus seraya mengatakan kalau alat itu sudah terpasang di tubuh pasien.

Kembali ditegaskannya, kalau kegiatan ini murni terkait perjanjian pinjam meminjam, bukan terkait kegiatan pengadaan melalui proses lelang sebagaimana putusan gugatan perdata.

 

Reporter: Dodi Ferdian