Adakah Kepantasan dalam Panggung Politik?

Adakah Kepantasan dalam Panggung Politik?

Oleh: Drs H Iqbal Ali, MM
Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Persada Bunda 2008-2016

RIAUMANDIRI.CO - Sebagai rakyat kecil, bisakah kita menerima seorang pemimpin berstatus terpidana? Relakah kita diwakili seorang yang oleh hukum dijatuhi sanksi lantaran didakwa korupsi? Mampukah bangsa kita menerima kenyataan sebagai sebuah takdir kebangsaan, dimana anak cucu kita kelak akan mencatat sejarah bahwa bangsa ini pernah diwakili oleh terpidana? Pertanyaan-pertanyaan tersebut terlontar setelah Mahkamah Agung membolehkan nara pidana “nyaleg”. 

Sebetulnya pertanyaan itu tidak perlu dijawab, namun sangat penting diutarakan justru ketika kita berbicara soal moralitas, hati nurani dan keikhlasan hati. Betulkah negeri kita sedang sakit terutama perpolitikan, di mana para politisi saat ini memandang kekuasaan politik sebagai “tuhan” atau agama. Akibatnya membuat orang lupa diri, malah lupa untuk membuat hukum atau undang-undang yang tegas bahwa koruptor tidak boleh memimpin karena “kotor”, sama artinya mengotori yang dipimpin. 


Barangkali kita sudah bosan dan kesal dengan perilaku politisi kita, namun kalau tidak dengan pertanyaan-pertanyaan di atas bagaimana kita mengingatkan politisi yang lupa daratan bahkan nyaris lupa ingatan itu. 

Kita sudah kehilangan kepantasan publik dan akan membuat orang tega menipu sesama. Jika semua demi egoisme diri, maka orang tak lagi malu menipu publik dengan kebohongan, fitnah dan kebencian. Pusaran perilaku itulah yang akan selalu menyelimuti masa depan bangsa. Apalagi wajah keadilan tercoreng karena hukum dimainkan oleh instrumen politik. Siapa yang memenangkan petarungan politik dialah menguasi hukum. 

Perlu kita ingat kembali bahwa sesungguhnya, kekayaan, kekuasaan dan kepopuleran tak ada artinya bila orang tak memiliki martabat kemanusiaan. Harga diri tidak tergantung gelar, pangkat, kepandaian dan kekuasaan akan tetapi bila orang mau mengikuti jalan lurus di mana orientasinya memekarkan sekaligus menyuburkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan dan nilai-nilai kepatutan. 

Walaupun di dunia politik praktis sulit dtemukan, namun bisa dilakukan jika ada kemauan dan niat yang ikhlas. Di dunia politik praktis yang diutamakan adalah prinsip “kuat dan lemah” bukan benar dan salah. Siapa yang kuat dialah yang dominan menentukan. 

Sekarang apa solusi atau resep melihat kepantasan publik, kuncinya hanyalah rasa malu. Orang yang tak punya rasa malulah yang tak mengenal kepantasan dan kepatutan. Padahal malu itu bagian dari iman. Logikanya adalah, orang yang tak punya malu berarti tak beriman walaupun penampilannya islami sekali. 

Bahwa kehidupan ini penuh dengan pilihan, hati nuranilah yang paling tepat menentukan pilihan karena hati nurani tak pernah bohong. Sebetulnya di sinilah komitmen partai politik diuji apakah masih punya etika dan moralitas terutama melihat keputusan MA yang tidak melarang bekas napi menjadi caleg. Tapi ingat, sesuatu yang dimungkinkan oleh hukum belum tentu tepat secara etis. 

Oleh sebab itu, mari kita terbiasa melihat sesuatu dengan akal sehat, hati nurani dan jangan lupa kepantasan dan kepatutan. Jika tidak, moralitas publik telah dipandang sebelah mata dan sampai kapan ? Wallahu a”lam.