Tak Ada Penegakan Hukum, Kawasan HLBB Inhu Terus Digerogoti

Tak Ada Penegakan Hukum, Kawasan HLBB Inhu Terus Digerogoti

RIAUMANDIRI.CO, RENGAT - Penindakan terhadap perambahan hutan oleh koorporasi yang terjadi di kawasan Hutan Lindung Bukit Betabuh (HLBB), Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) belum juga terealisasi. Ribuan Hektar kawasan HLBB terus berganti dengan perkebunan sawit yang ditanam tanpa izin dari pemilik lahan yakni negara. 

"Jika penindakan tersebut tidak dilakukan, itu menandakan penegakan hukum terhadap perambahan hutan tumpul dan mati," tegas Ketua Komisi II DPRD Inhu Nopriadi kepada para awak media, Kamis (23/8/2018) kemarin.

Nopriadi selama ini mempertanyakan keseriusan aparat penegak hukum. Di ranah DPRD, pihaknya berkesimpulan perlu diambil langkah hukum. 


Sebab, ujar dia, tiga kali panggilan untuk menghadiri rapat dengar pendapat (hearing) oleh Komisi II, tiga kali pula PT Mulia Argo Lestari (MAL)/PT Runggu Prima Jaya (RPJ), perusahaan terduga penggarap lahan HLBB tak menghadiri panggilan.

''Sekarang ini kalau tidak ada tindakan, berarti sudah mati penegakan hukum kita. Kalau tidak diproses, berarti pemerintah dan penegak hukum tidak melihat itu sebagai hutan lindung,'' ungkapnya. 

Izin lokasi yang diajukan oleh PT Mulia Argo Lestari (MAL)/PT Runggu Prima Jaya (RPJ) pernah ditolak Bupati Indragiri Hulu Yopi Arianto pada 2011 lalu. 

Di lokasi itu perusahaan bersama koperasi tetap beroperasi di lahan yang termasuk dalam Hutan Lindung Bukit Betabuh. 

Izin lokasi yang diajukan perusahaan ini bernomor 011/MAL/EST/VI/2011 tertanggal 7 Juni 2011 ditandatangani Direktur Utama Ir Henry Pakpahan, MBA ditujukan pada Bupati Inhu. 

Dalam surat itu, perusahaan memohonkan izin lokasi untuk industri pengolahan hasil industri perkebunan sawit di Desa Pauhranap, Kecamatan Peranap Inhu seluas 500 hektar. 

Perusahan mengklaim sudah mengganti rugi lahan masyarakat yang kondisinya semakin belukar dan bergelombang. 

Bupati Inhu Yopi Arianto menjawab dengan surat tertanggal 19 Oktober 2011. Yopi tidak menyetujui izin lokasi yang diajukan karena lokasi merupakan kawasan hutan lindung sesuai Peta Tata Guna Hutan Kesepakatan, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986 tertanggal 6 Juni 1986. 

Dalam hal ini, PT MAL melalui penolakan yang diberi juga diminta menghentikan segala kegiatan yang berhubungan dengan budidaya perkebunan di areal yang dimohonkan. 

Nopriadi juga mengungkapkan bahwa, perlakuan hukum terkesan tumpul bagi perusahaan namun tajam pada masyarakat.

''Kondisi saat ini, masyarakat kalau baru menggarap setengah hektar ditangkap, sedangkan perusahaan membawa ratusan ton (buah kelapa sawit-red) dari sana tuh bagaimana,'' ucapnya mempertanyakan. 

Penyelesaian masalah perambahan di Hutan Lindung Bukit Betabuh sebutnya harus diambil oleh pemerintah dan penegak hukum di tingkat pusat jika ingin selesai.

''Kita minta penegak hukum di Indonesia ambil alih itu, tegakkan hukum. Kalau tidak, kami akan ambil hutan lindung itu lagi,'' tegasnya. 

Nopriadi juga menyebut sudah pernah membahas hal ini bersama Polres Inhu. Namun sampai kini belum jelas tindakan yang diambil.

''Sampai saat ini tidak ada langkah hukum yang jelas. Malah LBH Pekanbaru yang melapor ke Polda Riau. Jadi sekarang tak ada alasan lagi, penegakan hukum harus dilakukan. Mereka surat tak ada selembar pun, ilegal, tapi barang (perkebunan) itu berlanjut terus, panen lancar,'' tuturnya. 

Terpisah, Ketua DPRD Inhu Miswanto mengatakan, rapat dengar pendapat yang dilakukan terkait perambahan Hutan Lindung Bukit Betabuh terbuka untuk umum. Artinya, sebut dia, aparat hukum bisa langsung menindaklanjuti.

''Aparat silakan menyikapi. Jika kesimpulannya itu,'' singkatnya. 

Sementara itu, laporan terhadap perambahan ini sudah diterima Polda Riau sejak tahun 2017 lalu. Hingga kini, kelanjutan penanganan belum menunjukkan progres berarti.

''Lagi penyelidikan. Itu ada laporan lagi kemarin, dan sudah saya tanda tangani. Tapi masih dalam penyelidikan,'' kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau Kombes Pol Gidion Arif Setiawan kepada para awak media.