Pajak Tersendat, Negara Darurat

Pajak Tersendat, Negara Darurat

 

Oleh Salahuddin Wahid

 


Besar harapan pemerintah dan juga masyarakat luas agar Direktur Jenderal Pajak (DJP) kelak dapat menegakkan hukum perpajakan tanpa pandang bulu dan mampu memberikan dana dalam jumlah besar untuk pembiayaan APBN secara mandiri. Apalagi, kini Dirjen Pajak dipilih melalui proses yang lebih terbuka.
Sayangnya, sekali kalau terobosan itu dilakukan hanya sekadar untuk menentukan siapa pengemudinya. Pengemudi sekelas Michael Schumacher pun tidak akan berdaya jika kendaraan yang diberikan bermasalah dan ketinggalan zaman. Karena itu, terobosan untuk penguatan institusi pajak haruslah menyeluruh, terlebih lagi Presiden Joko Widodo memberikan target yang sulit untuk dicapai jika tidak ada perubahan mendasar terhadap institusi pemungut pajak, yaitu tax ratio 16 persen pada 2019.
Best practice di dunia internasional menunjukkan, tidak ada negara yang dapat meningkatkan tax ratio empat persen selama lima tahun tanpa melakukan perubahan radikal.
Tanpa mengurangi arti penting instansi pemerintah lainnya, bisa dibilang pemicu pembangunan negeri ini dimulai dari Direktorat Jenderal Pajak. Hampir 78 persen penerimaan negara yang akan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, subsidi untuk masyarakat, dan pembangunan oleh seluruh lembaga negara, seperti infrastruktur hingga biaya institusi penegak hukum, diberikan oleh unit yang hanya setingkat Direktorat Jenderal. Kalau kita teliti, banyak kementerian yang berdiri tanpa amanat UUD 1945. Sedangkan, pajak yang diamanatkan UUD 1945 hanya dilakukan pelaksanaan fungsinya oleh unit setingkat eselon satu. Memang sungguh miris melihat status otoritas pajak saat ini bila dihadapkan kebutuhan pemerintah terhadap pajak serta beban yang ditanggungnya.
Di sisi pengeluaran (belanja) negara, terjadi peningkatan yang sangat signifikan pada sektor subsidi energi, terutama subsidi listrik dan subsidi BBM. Pembengkakan beban subsidi energi disebut sudah mencapai kurang lebih Rp 110 triliun. Opsi kenaikan harga BBM menjadi pilihan realistis mengatasi masalah ini. Namun, dengan sisa waktu yang semakin sedikit, sangat sulit menutup pembengkakan subsidi energi, apalagi pemerintahan baru tetap harus menghitung dampak sosial dan politik sehingga diperkirakan kenaikan harga BBM hanya bisa sedikit mengurangi pembengkakan subsidi.
Di sisi penerimaan, tekanan terhadap APBN terutama dari perkiraan penerimaan negara dari perpajakan tidak akan tercapai. Beberapa pengamat dan Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro bahkan pesimistis target penerimaan pajak 2014 akan tercapai. Sampai dengan 26 September 2014, dari data yang dirilis DJP, penerimaan pajak 2014 baru mencapai Rp 683 triliun atau sekitar 63,7 persen dari target Rp 1.072 triliun dan diperkirakan akan mencapai 93 persen pada akhir tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, batas maksimal defisit APBN adalah 3 persen dari PDB. Artinya, pemerintahan Jokowi-JK harus mengendalikan agar defisit anggaran tidak melebihi Rp 300 triliun. Apabila defisit tidak bisa dikendalikan, ada yang berpendapat bahwa pemerintah berpotensi dituding melanggar undang-undang dan dikhawatirkan bisa dijadikan pintu untuk pemakzulan (impeachment). Tentu, ini akan mendapat perhatian serius pemerintah.
Mantan menteri keuangan Bambang Sudibyo dalam acara Editor’s Meeting Indonesia Knowledge Forum III pada 24 September 2014 mengungkapkan, selama 14 tahun tax ratio Indonesia tidak pernah naik. Tax ratio hanya berkutat di 11-12 persen, padahal India dan Cina sudah 16-17 persen. Seharusnya, Indonesia sudah berada di level itu. Mandeknya tax ratio itu salah satu indikator utama perlunya perubahan terhadap otoritas perpajakan yang sesuai dengan Nawacita Jokowi-JK, yaitu redesain arsitektur fiskal di Indonesia.
Hal ini diakui Bambang Brodjonegoro yang menegaskan, mandeknya tax ratio bersumber dari lembaga DJP itu sendiri. Namun, Menteri Keuangan tidak dapat hanya menyalahkan lembaga itu yang memang tidak dapat dibandingkan dengan institusi pajak di negara yang tax ratio-nya sudah baik. Survei OECD menunjukkan, negara yang memiliki tax ratio di atas 12 persen rata-rata berbentuk badan mandiri di bawah presiden dan memiliki 11 kewenangan yang menjadi prasyarat suatu otoritas perpajakan. Tentu, diperlukan kelegawaan Menteri Keuangan dan keseriusan Presiden Jokowi dalam mengawal pembentukan Badan Penerimaan Pajak ini.
Kita semua berkepentingan mengawal agar badan itu kelak tetap netral dan tidak dijadikan alat politik, terutama terkait mekanisme penentuan pimpinan lembaga tersebut. Netralitas Pajak sangat penting agar pajak bisa menciptakan kondisi fair di mata masyarakat. Semua warga negara dijamin hak dan kewajiban perpajakannya dalam UU Perpajakan.
Bahkan, sebenarnya proses mengubah DJP menjadi suatu Badan Penerimaan Pajak tidak akan memakan waktu lama. Kalaupun melambat, bukan diakibatkan kesiapan internal DJP, melainkan lebih karena kesiapan pemerintah dan DPR mengawal perppu atau UU yang akan menaungi lembaga tersebut. Sejak Indonesia merdeka, fungsi dan tugas Ditjen Pajak tidaklah tumpang-tindih dengan instansi lain. Modernisasi birokrasi di DJP sudah berlangsung sejak 2002, sebelum instansi lain melakukan reformasi birokrasi sehingga Badan Penerimaan Negara hanyalah proses berkelanjutan dari rangkaian reformasi birokrasi.
Saat ini, pajak menyumbang hampir Rp 900 triliun-Rp 1.100 triliun untuk penerimaan negara atau sekitar 75 persen dari penerimaan total. Bukan tidak mungkin dengan tangan midas Jokowi yang turun langsung mengambil alih tampuk panglima pajak di lapangan, pada 2019 pajak akan menyumbang lebih dari Rp 1.800 triliun untuk penerimaan negara, jauh lebih besar dari penghematan subsidi BBM yang hanya 300-400 persen. APBN menjadi sehat dan kuat untuk menyejahterakan masyarakat dan tentu akan meningkatkan elektabilitas Jokowi. (rol)


Penulis adalah pengasuh Pesantren Tebuireng.