Isapan Jempol Pemberantasan Narkoba

Isapan Jempol Pemberantasan Narkoba

Pemerintah butuh peran serta masyarakat dalam upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan narkoba.  Berbagai macam metode pencegahan terus digalakkan agar nantinya masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam program tersebut.

Metode pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba yang paling efektif dan mendasar adalah metode promotif dan preventif. Upaya yang paling praktis dan nyata adalah represif dan upaya yang manusiawi adalah kuratif serta rehabilitatif.

Narkotika, menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU 35/2009), adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Sedangkan, menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (UU 5/1997), pengertian psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Masalah yang paling sering timbul dan sulit sekali untuk dihilangkan adalah mencegah datangnya kembali kambuh (relaps) setelah penderita menjalani pengobatan. Relaps ini disebabkan oleh keinginan kuat akibat salah satu sifat narkoba yang bernama habitual.

Cara yang paling efektif untuk menangani hal ini adalah dengan melakukan rehabilitasi secara mental dan fisik. Untuk pemakai psikotropika biasanya tingkat keberhasilan setelah pengobatan terbilang sering berhasil, bahkan ada yang bisa sembuh 100 %.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah konsep itu akan sesuai dengan kenyataan di lapangan. BNP serta BNK sebagai perpanjangan tangan BNN selama ini belum berfungsi dengan baik. BNP dan BNK kebanyakan melakukan kegiatan yang sifatnya seremonial .

Akibatnya timbul ketidakpuasan dari masyarakat terhadap kinerja BNP dan BNK. Banyak dari LSM yang ada di daerah merasa tidak puas terhadap kinerja BNP dan BNK. Konsekuensi lain adalah kegiatan-kegiatan yang  dilakukan oleh institusi terkait dan kelompok masyarakat tidak terkoordinir dengan baik sehingga tidak mencapai sasaran.

Tapi harus dikaji lagi, apakah ini sepenuhnya salah dari BNP atau BNK tersebut. Sejauh apa wewenang yang diberikan kepada mereka, sejauh apa kekuatan yang ada pada dua lembaga di bawah BNN ini. Akhirnya BNN hanya menunjukkan tajinya sendiri dan konsep yang ada untuk pemberantasan Narkoba hanya tinggal isapan jempol belaka.

Penyebab lain adalah tidak adanya perhatian pemerintah daerah untuk betul-betul berkomitmen bersama-sama memberikan dukungan terhadap instansi tersebut. Untuk penyelamatan generasi penerus tersebut, alokasi anggaran sangat minim diberikan, sehingga BNK menjadi mati suri.

Apalagi jika hubungan sang bupati/walikota dengan wakilnya tidak baik, karena ketua BNK otomatis adalah wakil bupati, lagi-lagi program yang baik putus karena politik. Bahkan untuk penyediaan pusat rehabilitasi saja, hanya bisa menjadi angan-angan.

Kurangnya kesadaran masyarakat awam tentang peran mereka dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan narkoba. Hal ini mungkin terkait dengan kurangnya sosialisasi keberadaan BNN, BNP dan BNK serta program–programnya ke masyarakat. Masyarakat hanya tahu bahwa permasalahan narkoba adalah tanggung jawab pihak kepolisian saja.

Ke depan tentunya kita semua berharap, agar mereka-mereka yang bertanggung jawab dapat betul-betul menjalankan kerja mereka secara sungguh-sungguh, sehingga generasi penerus dapat terus diselematkan dan siap berkata: "Say No to Drugs".***