Catatan Kecil dari Surabaya (3): Setiap Jengkal Kota Dipenuhi Sejarah

Catatan Kecil dari Surabaya (3): Setiap Jengkal Kota Dipenuhi Sejarah
RIAUMANDIRI.CO, PEKANBARU - Dulu, di atas tempat itulah insiden Hotel Yamato, 19 September 1945 yang sangat terkenal itu terjadi. Sejarah mencatat, pengibaran bendera Belanda: biru, merah, putih dirobek oleh pemuda-pemuda pejuang Surabaya. Lalu, disisakan warna merah, putih untuk dinaikkan kembali ke atas tiang. "Merdeka!”
 
Penyobekan Bendera
 
Ketika Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan, 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia merayakan dengan suka-cita. Di Surabaya, menandai kemerdekaan itu arek-arek Suroboyo satu per satu menancapkan tiang, mengibarkan bendera merah putih di berbagai sudut kota.
 
Pengibaran itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena penjajahan Jepang belum sama sekali hilang. Namun, setelah munculnya Maklumat Pemerintah (31 Agustus 1945) yang menetapkan mulai 1 September 1945 bendera merah putih dikibarkan terus di seluruh Indonesia. 
 
Gerakan pengibaran bendera makin meluas ke segenap pelosok kota. Di berbagai tempat strategis dan tempat-tempat lainnya, susul-menyusul bendera dikibarkan. Antara lain di teras atas Gedung Kantor Karesidenan (kantor _Syucokan,_ gedung Gubernuran sekarang, Jalan Pahlawan) yang terletak di muka Gedung Kempei-Tai (sekarang Tugu Pahlawan), di atas gedung Internatio.
 
Disusul barisan pemuda dari segala penjuru Surabaya yang membawa bendera merah putih datang ke Tambaksari (Lapangan Gelora 10 Nopember) untuk menghadiri rapat raksasa yang diselenggarakan oleh Barisan Pemuda Surabaya.
 
Saat itu lapangan Tambaksari penuh lambaian bendera merah putih, disertai pekik "Merdeka!” mendengung di angkasa. Walaupun pihak Kompeitai melarang diadakannya rapat tersebut, namun mereka tidak berdaya menghadapi massa rakyat yang semangatnya tengah menggelora itu.
 
Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Hotel Yamato tersebut. Mula-mula Jepang dan Indo-Belanda yang sudah keluar dari interniran menyusun suatu organisasi, Komite Kontak Sosial, yang mendapat bantuan penuh dari Jepang. Terbentuknya komite ini disponsori oleh Palang Merah Internasional (Intercross).
 
Namun, berlindung dibalik Intercross mereka melakukan kegiatan politik. Mereka mencoba mengambil alih gudang-gudang dan beberapa tempat telah mereka duduki, seperti Hotel Yamato.
 
Pada 18 September 1945, datanglah di Surabaya (Gunungsari) opsir-opsir Sekutu dan Belanda dari Allied Command (utusan Sekutu) bersama-sama dengan rombongan Intercross dari Jakarta.
 
Rombongan Sekutu oleh Jepang ditempatkan di Hotel Yamato, sedangkan rombongan _Intercross_ di Gedung Setan, Jl Tunjungan 80 Surabaya, tanpa seijin Pemerintah Karesidenan Surabaya. Dan sejak itu Hotel Yamato dijadikan markas RAPWI (Rehabilitation of Allied Prisioners of War and Internees).
 
Karena kedudukannya merasa kuat, sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr W.V.Ch Ploegman pada 18 September 1945 pukul 21.00 malam hari mengibarkan bendera Belanda. Tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, bendera dikibarkan di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.
 
Keesokan harinya, 19 September 1945 ketika _arek-arek Surobayo_ melihatnya, seketika itu meledak amarahnya. Mereka menganggap Belanda mau menancapkan kembali kekuasannya di Indonesia. Belanda dianggap melecehkan gerakan pengibaran bendera yang sedang berlangsung di Surabaya. 
 
Begitu kabar tersebut tersebar di seluruh kota Surabaya, sebentar saja Jalan Tunjungan dibanjiri oleh massa rakyat, mulai dari pelajar berumur belasan tahun hingga pemuda dewasa. Semua siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Massa terus mengalir hingga memadati halaman hotel serta halaman gedung yang penuh massa dengan luapan amarah. 
 
Agak ke belakang halaman hotel, beberapa tentara Jepang tampak berjaga-jaga. Situasi saat itu menjadi sangat eksplosif. Tak lama kemudian Residen Sudirman datang. 
 
Kedatangan pejuang dan diplomat ulung yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, menyibak kerumunan massa lalu masuk ke hotel. 
 
Sudirman ingin berunding dengan Mr Ploegman dan kawan-kawan. Dalam perundingan itu Sudirman meminta agar bendera Belanda Triwarna segera diturunkan.
 
Ploegman menolak, bahkan dengan kasar mengancam, “Tentara Sekutu telah menang perang, dan karena Belanda adalah anggota Sekutu, maka sekarang Pemerintah Belanda berhak menegakkan kembali pemerintahan Hindia Belanda. Republik Indonesia? Itu tidak kami akui,” ujar Ploegman dengan angkuh saat itu. 
 
Sambil mengangkat revolver, Ploegman memaksa Sudirman untuk segera pergi dan membiarkan bendera Belanda tetap berkibar. Melihat gelagat tidak menguntungkan itu, pemuda Sidik dan Hariyono yang mendampingi Sudirman mengambil langkah taktis. Sidik menendang revolver dari tangan Ploegman. Revolver itu terpental dan meletus tanpa mengenai siapapun. 
 
Hariyono segera membawa Sudirman ke luar, sementara Sidik terus bergulat dengan Ploegman dan mencekiknya hingga tewas. Beberapa tentara Belanda menyerobot masuk karena mendengar letusan pistol, dan sambil menghunus pedang panjang disabetkan ke arah Sidik. Sidik pun tersungkur. 
 
Di luar hotel, para pemuda yang mengetahui kejadian itu langsung merangsek masuk ke hotel dan terjadilah perkelahian di ruang muka Hotel. Sebagian yang lain, berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman turut terlibat dalam pemanjatan tiang bendera. 
 
Akhirnya ia bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek yang biru, dan mengereknya ke puncak tiang kembali. Massa rakyat menyambut keberhasilan pengibaran bendera merah putih itu dengan pekik “Merdeka” berulang kali, sebagai tanda kemenangan, kehormatan dan kedaulatan negara RI. "Allahu Akbar! Merdeka!"
 
Surabaya sesungguhnya bukan kota biasa. Kota penuh perjuangan. Sejarah mencatat, berulangkali _arek Suroboyo_ bangkit jika ada orang luar yang ingin mengusiknya. 
 
Oh.. Surabaya, banyak sekali tempat bersejarah yang engkau miliki. Tak mungkin mampu ku tulis satu-persatu dengan tuntas. Suatu saat pasti ku akan datang kembali mengunjungimu, rek! (Habis)
 
 
 
*Tulisan ini sebagai catatan buah tangan Ilham Muhamamd Yasir, anggota KPU Provinsi Riau Divisi Hukum dan Pengawasan selama mengikuti Rapim KPU provinsi se-Indonesia di Hotel JW Marriott Surabaya, 27–30 Nopember 2017.