Penguatan Anggaran Infrastruktur

Penguatan Anggaran Infrastruktur

Dalam publikasi unggulannya berjudul ”Indonesia Economic Quartely” edisi Juli 2014 yang lalu, Bank Dunia mencermati beberapa hal yang menjadi tantangan utama pemerintah Indonesia, khususnya terkait dengan pelebaran defisit APBN yang terus terjadi. Di samping itu, pelemahan harga komoditas serta kondisi kredit yang ketat juga dianggap menjadi tantangan utama lainnya yang berpotensi menghambat pertumbuhan PDB dalam waktu dekat. Demi mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi di atas 6% serta upaya mengurangi kesenjangan antar penduduk, diperlukan adanya suatu reformasi struktural yang mendalam, baik melalui reformasi pengurangan subsidi BBM secara gradual maupun peningkatan investasi di bidang infrastruktur.   

Dalam jangka pendek, Bank Dunia juga mencermati pentingnya menjaga kerentanan fiskal, mengingat depresiasi nilai tukar terus saja mengancam sekaligus menimbulkan dampak fiskal yang cukup signifikan. Untuk itulah, Bank Dunia menyarankan agar pemerintah lebih serius dalam meningkatkan kualitas belanja negara serta mengurangi melesetnya target penerimaan sektor pajak dan nonpajak. Peningkatan kualitas belanja negara ini juga dianggap menjadi penting dalam memerangi kesenjangan yang terus melebar.

Belanja negara yang berkualitas tercermin dari peningkatan porsi belanja investasi dan infrastruktur khususnya di daerah.

Perubahan Signifikan
Awalnya arahan untuk meningkatkan alokasi belanja infrastruktur sebetulnya sudah menjadi prioritas pemerintah setiap tahunnya. Persoalannya, pemerintah senantiasa terkendala terbatasnya ruang fiskal APBN akibat tingginya beban belanja wajib yang harus dialokasikan. Artinya, jika pemerintah mampu mengurangi persentase alokasi belanja wajib tersebut, secara otomatis alokasi belanja infrastruktur akan meningkat. Secara teori yang dimaksud dengan belanja wajib ini adalah alokasi belanja yang peruntukannya sudah ditetapkan, tidak boleh diubah, bersifat mendasar serta diupayakan untuk dialokasikan setiap tahunnya seperti misalnya belanja subsidi.  

Menurut data pemerintah, alokasi anggaran infrastruktur tahun 2009 besarannya sekitar Rp76,3 triliun, naik sedikit menjadi Rp86 triliun di tahun 2010, kemudian di tahun 2011 menjadi Rp114,2 triliun, tahun 2012 Rp145,5 triliun dan tahun 2013 mencapai Rp184,3 triliun. Jika dibandingkan dengan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) yang dihasilkan, tahun 2009 alokasinya mencapai 1,4%, tahun 2010 turun menjadi 1,3%, tahun 2011 naik kembali menjadi 1,5%, tahun 2012 meningkat signifikan menjadi 2,6% serta tahun 2013 menjadi 2%. Dibandingkan negara-negara di ASEAN, pencapaian tersebut bukan yang terbaik. Posisi Indonesia bahkan hanya lebih baik dibandingkan Phillipina (98) dan Vietnam (110), namun kalah dibandingkan Malaysia yang ada di posisi 25 serta Thailand di peringkat 61.

Untungnya, pemerintahan yang baru sepertinya serius dalam menyikapi kondisi ini. Dengan mempertimbangkan segala resistensi yang ditimbulkan, secara pasti pemerintah mulai menghilangkan subsidi BBM sekaligus mengkombinasikan dengan kebijakan subsidi tetap untuk BBM solar. Masyarakat pun akhirnya dibiasakan untuk menghadapi kenaikan dan penurunan harga premium setiap bulannya. Komunikasi yang tepat serta sisi keteladanan pimpinan menjadi pembeda jika dibandingkan kebijakan yang sama pada periode pemerintahan sebelumnya.

Hasilnya, hingga akhir tahun 2014 untuk pertama kalinya dalam periode 8 tahun terakhir, pemerintah berhasil mencapai surplus BBM. Alokasi subsidi BBM dalam Rancangan APBN-P (RAPBN-P) 2015 yang baru saja diserahkan ke DPR pun mampu dipangkas dari Rp276,0 triliun menjadi Rp81,8 triliun. Itu artinya dari sisi penghematan subsidi BBM saja, pemerintah sudah memiliki saving anggaran sekitar Rp194,2 triliun. Jika dihitung kenaikan beban subsidi listrik menjadi Rp76,6 triliun, maka saving bersih dari alokasi subsidi energi mencapai Rp186,3 triliun.

Berdasarkan dokumen R-APBNP 2015 tersebut, besaran saving anggaran yang didapat kemudian dialokasikan untuk tambahan anggaran infrastruktur melalui berbagai program-program prioritas pemerintah. Kegiatan prioritas pembangunan infrastruktur pendukung pertumbuhan ekonomi mendapatkan tambahan anggaran Rp49,8 triliun dengan rincian kedaulatan pangan (Rp25,8 triliun), energi ketenagalistrikan (5,0 triliun), kemaritiman (15,3 triliun), pariwisata dan ekonomi kreatif (Rp2,1 triliun) serta kegiatan industri (Rp1,6 triliun).

Sementara kegiatan prioritas pemenuhan kewajiban dasar mendapatkan tambahan alokasi Rp20,8 triliun yang terdiri dari tambahan sektor pendidikan (Rp7,1 triliun), sektor kesehatan (Rp3,6 triliun) serta sektor perumahan (Rp9,6 triliun). Untuk kegiatan prioritas pengurangan kesenjangan mendapatkan tambahan alokasi Rp43,5 triliun dengan penambahan program antar kelas pendapatan (Rp19,1 triliun) dan antar wilayah (24,4 triliun). Prioritas pembangunan infrastruktur konektivitas juga mendapatkan tambahan Rp12,9 triliun, transfer ke daerah Rp20,5 triliun serta beberapa agenda prioritas lainnya Rp7,7 triliun.

Fakta ini tentu membawa sedikit angin segar mengingat ke depannya kebutuhan infrastruktur jelas makin menghadapi banyak tantangan, khususnya terkait dengan upaya mengindari middle income trap di tahun 2030, isu pertumbuhan ekonomi yang tinggi, inklusif dan berkelanjutan, transformasi struktur ekonomi yang didukung pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang lebih baik, isu ketahanan energi, pemberantasan korupsi, percepatan konsolidasi demokrasi serta meningkatnya potensi dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrem.

Percepatan infrastruktur ini makin urgent ketika laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 menyebutkan 5 provinsi yang menjadi penyumbang PDB nasional terbesar yaitu Provinsi DKI Jakarta (16,72%), Jawa Timur (15,06%), Jawa Barat (14,23%), Jawa Tengah (8,42%) serta Provinsi Riau 6,87%, ternyata membutuhkan perbaikan kondisi infrastruktur yang cukup masif di masing-masing daerah, demi menjaga kualitas dari pertumbuhan ekonomi nasional.

Untuk itulah, sisi pengawasan serta monitoring dan evaluasi menjadi kata kunci selanjutnya. Jangan sampai alokasi anggaran yang sudah signifikan kemudian menjadi sia-sia hanya karena implementasinya tidak sesuai dengan perencanaan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Budaya birokrasi yang kurang efektif serta berbagai proses perijinan yang selama ini selalu menjadi tembok penghalang juga wajib diruntuhkan. Jika seluruh mekanisme tersebut dapat dijalankan, ke depannya penulis yakin bahwasanya bangsa Indonesia akan mampu mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi yang hilang 1% menurut versi Bank Dunia, sekaligus mencapai status negara dengan skala ekonomi terbesar ke-7 di dunia sebagaimana yang sudah disampaikan dalam visi misi ”Bersama Indonesia Maju 2030”. (kkg)

Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI