Tersangka Korupsi Pembangunan Tower Triangle Ajukan Pra Peradilan

Tersangka Korupsi Pembangunan Tower Triangle Ajukan Pra Peradilan
RENGAT (RIAUMANDIRI.co) - Tersangka dugaan korupsi pembangunan Tower Triangle dan Internet pada 19 Desa di kecamatan Rakit Kulim kabupaten Indragiri Hulu, Charfious Anwar (27) mengajukan Pra peradilan atas kasus yang menimpa dirinya, baik atas penetapannya sebagai tersangka, penahanan maupun penyitaan harta benda oleh pihak Kejaksaan Negeri Rengat.
 
Charfious sebagai pemohon sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka pada 8 Mei 2017 lalu atas dugaan korupsi pembangunan Tower, dana tersebut merupakan dana untuk 19 desa di Rakit Kulim senilai Rp500 juta bersumber dari Pemerintah Provinsi Riau.
 
Setelah ditetapkan sebagai tersangka, pemohon langsung ditahan dan beberapa hari kemudian harta pemohon berupa Mobil CR-V tahun 2012 BM 1502 NM atas nama HR Hendra Martono telah disita karena diduga didapat dari hasil perbuatan korupsi.
 
Penasehat Hukum tersangka, Dodi Fernando SH membenarkan bahwa kliennya mengajukan Pra Peradilan atas kasus Korupsi disangkakan kepadanya. "Hari ini kita sudah memulai sidang perdana dengan agenda pembacaan permohonan Pra peradilan," terang Dodi, Senin (5/6/2017).
 
Menurut Dodi, beberapa alasan menjadi acuan bagi pihaknya dalam mengajukan Pra Peradilan ini di antaranya bahwa dari putusan MK No 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 menyatakan bahwa frasa kata "Dapat" dalam rumusan pasal 2 dan 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi dan pada akhirnya pasal ini hanya bisa dikenakan apabila sudah ada perhitungan kerugian keuangan negara yang nyata dan pasti, sementara hingga saat ini kepastian kerugian keuangan negara tersebut belum ada.
 
Menurut Dodi, jika tidak ada alat bukti yang bisa membuktikan tentang kerugian keuangan negara yang nyata, maka unsur tindak pidana korupsi pada pasal 2 dan 3 belum bisa terpenuhi dan diterapkan. 
 
Selain itu dikatakan juga, sesuai SEMA no 4 tahun 2016 bahwa penghitungan kerugian keuangan negara hanya berhak dilakukan oleh BPK secara konstitusional, BPKP/inspektorat/SKPD tetap bisa melakukan pemeriksaan keuangan namun tidak bisa mengeluarkan pernyataan tentang adanya kerugian negara.
 
Untuk penyitaan terhadap kendaraan dan beberapa benda kliennya, Dodi menyatakan penyitaan tersebut sangat salah, karena mobil tersebut bukanlah milik dari kliennya, melainkan milik Ibu kliennya atas nama Lasyanti.
 
"Mobil itu dibeli ibunya dari Aedra Martono seharga Rp223 juta pada tanggal 6 Juni 2016. Mobil tersebut dibeli dari hasil penjualan Mobil Honda Jazz BM 1509 BL kepada Eko Irmawan pada tanggal 10 Maret 2016 seharga Rp150 juta ditambah uang sertifikasi sebagai Guru dari Ibu pemohon, penjualan hasil kebun sawit," tegas Dodi.
 
Atas dasar beberapa hal tersebutlah, menurut Dodi dirinya meminta kepada majelis hakim untuk mengabulkan permohonan Pemohon, pernyataan tersangka tidak sah dan batal demi hukum, menyatakan penahanan tidak sah dan batal demi hukum.
 
"Serta menyatakan penyitaan tidak sah secara hukum dan batal demi hukum dan mengembalikannya kepada pemilik, memerintahkan kepada Termohon untuk mengeluarkan Pemohon dari tahanan dan memulihkan hak-hak pemohon, baik dalam kedudukan, kemampuan harkat dan martabatnya," tegasnya.
 
Baca juga di Koran Haluan Riau edisi 06 Juni 2017
 
Reporter: Eka BP
Editor: Nandra F Piliang