Keniscayaan Duta Toleransi

Keniscayaan Duta Toleransi


Banyak pihak yang menyesalkan lemahnya peran intelijen, yakni Badan Intelijen Negara (BIN), dalam mengantisipasi pembakaran warung dan Masjid Baitul Muttaqin yang terjadi pada 17 Juli, bertepatan dengan hari pertama Idul Fitri, di Tolikara, Papua. Pengakuan Kepala BIN Sutiyoso bahwa sesungguhnya BIN sudah memberikan sinyal kepada Polri bahwa terdapat potensi gangguan keamanan beberapa hari sebelum pembakaran masjid berlangsung, memperlihatkan bahwa antisipasi keamanan berlandaskan pendekatan militer sejatinya tak pernah mujarab mengatasi ketegangan sosial, politik, dan keagamaan.
Siklus kekerasan agama yang terus saja berulang dengan pelbagai motif seharusnya memberikan lampu merah kepada warga negeri ini betapa bangsa ini mudah terlelap dengan amnesia kolektif: kealpaan atas tragedi yang terus saja berulang. Pemicu vital yang secara jujur membuat kita langganan dengan amnesia tersebut adalah kecenderungan masyarakat memandang konflik keagamaan--laten dan manifes--lewat tatapan keamanan. Benar bahwa pendekatan keamanan tak bisa dilepaskan dari kebutuhan legalitas formal guna menegakkan keadilan bagi pihak-pihak yang menjadi korban, seperti umat Islam dalam kasus Tolikara. Namun, dalam perspektif penegakan toleransi dan kerukunan umat beragama, kerja-kerja dan pola-pola budaya jauh lebih produktif dan representatif bagi harmonisasi umat beragama.
Upaya ini secara kolektif bisa dimulai dengan pembentukan duta toleransi (tolerance ambassador) yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat yang dikenal karena integritas dan kredibilitasnya, bukan karena kontroversinya. Figur-figur yang menjadi bagian dari duta toleransi ini seyogianya merupakan perpaduan antara mereka yang memiliki ketokohan secara lokal dan nasional. Perpaduan ini amat krusial sebab tokoh-tokoh lokal mempunyai legimitasi kultural yang lebih berakar mengingat posisinya sebagai tokoh yang dimunculkan (syakhsiyah barizah) dari masyarakat. Sementara, figur-figur nasional lebih melakoni peran sebagai juru bicara dan juru kamera toleransi dengan kelebihan jaringan dan media yang dimilikinya.
Lewat dukungan pemerintah, organisasi keagamaan, dan media massa, duta toleransi perlu mengonsentrasikan diri melakukan kulturalisasi. Pendekatan ini setidaknya berbasiskan tiga hal penting yang dilakukan secara integral, yakni komunikasi lintas budaya, pelibatan masyarakat adat, dan penempaan kearifan lokal. Komunikasi lintas budaya amat operasional untuk mencegah terjadinya prasangka dan stereotip terhadap warga atau budaya tertentu. Asumsi yang mereduksi orang-orang Papua sebagai masyarakat primitif, suka berperang, dan main bakar, sesungguhnya terbit dari absennya pemahaman antarbudaya sebagai orang yang menjunjung tinggi etos kitarang basudara. Lewat internalisasi komunikasi lintas budaya tersebut, benih-benih kesalahpahaman dan ketegangan agama, sosial, dan budaya dapat diminimalisasi karena seseorang akan melihat orang lain dari perspektif budaya sasaran, bukan lewat kacamata tamu asing atau pengamat luar.
Adapun pelibatan masyarakat adat menjadi tak terelakkan mengingat mereka adalah pelaku paling krusial jatuh bangunnya solidaritas dan kerukunan di unit-unit masyarakat paling dominan, terutama di pedesaan dan kawasan pinggiran perkotaan. Para duta toleransi mesti menyambangi dan berbaur dari hati ke hati dengan masyarakat adat terkait dengan kemampuan afektif dan psikomotorik yang ada pada mereka. Dua kemampuan ini menjadi kunci yang menjelaskan kesiapan atau penolakan masyarakat untuk hidup dengan keragaman yang bersandar pada adagium bekerja sama dalam ihwal yang disepakati dan bertoleransi dalam hal yang diperselisihkan. Masyarakat adat yang selama ini dipersepsikan sebagai kelompok yang gampang digoreng oleh isu-isu agama, pada hakikatnya adalah kelompok yang paling siap untuk bertenggang rasa sepanjang penghormatan terhadap identitas kultural secara praktis menempati prioritas utama.
Tak kalah pentingnya, penegakan toleransi ini tak bisa dilepaskan dari penegakan kearifan lokal. Karakter asli masyarakat Papua sangat toleran. Antarpenganut agama yang berbeda sudah saling menghormati. Pemeluk Nasrani dan Islam, misalnya, bisa hidup rukun berdampingan di Bumi Cenderawasih ini selama bertahun-tahun. Konflik mulai muncul tatkala sejumlah pendeta-pendeta yang bersikap radikal dan membahayakan kerukunan umat beragama mulai menjalankan misi mereka di Papua, terutama di Papua Barat. Pengarusutamaan kearifan lokal, baik di Papua maupun di kawasan lain di nusantara ini, bisa dilakukan dengan memperhatikan tatanan nilai dan institusi lokal dalam setiap pengambilan keputusan dan pelaksanaan ajaran agama, semisal pendirian rumah ibadah dan penyiaran agama. Resistensi terhadap penyebaran agama bakal menyurut manakala kearifan lokal menyangga sistem keyakinan masyarakat. Inilah inti dari pribumisasi keberagamaan.
Para duta toleransi bukanlah brand ambassador atau ratu kecantikan yang bergerak dan bekerja sesuai dengan pesan sponsor atau terkait dengan rating. Mereka adalah orang-orang yang bukan saja berwawasan luas dan berhati bening, tapi juga aktivis yang siap siaga mendarmabaktikan hidupnya untuk menghidupkan kembali hikmah-hikmah yang selama ini berceceran, semisal tenggang rasa, persaudaraan, dan gotong-royong. Keberhasilan mereka tidak ditentukan oleh popularitas aksi yang mereka jalankan, tapi oleh kebolehan mereka bekerja dalam sepi tanpa hiruk pikuk serta apresiasi media dan publik. (rol)
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas ( Oleh: Donny Syofyan)