Mengkhawatirkannya Kejahatan Cyber di Indonesia

Mengkhawatirkannya Kejahatan Cyber di Indonesia

JAKARTA (RIAUMANDIRI.co) - Sikap mudah berpuas diri dalam perilaku konsumen di Indonesia membuat mereka masih jadi target empuk bagi para dedemit maya.

Banyak dari konsumen di Indonesia yang sudah menyadari pentingnya menjaga keamanan data-data digitalnya. Namun banyak di antara mereka yang terlalu cepat berpuas diri dalam hal melindungi perangkat-perangkatnya, atau merasa tak perlu untuk meningkatkan keamanannya.

Dalam Norton Cyber Security Insights Report yang dirilis oleh Symantec, terungkap kalau 76% konsumen mengetahui bahwa mereka harus aktif melindungi informasi online mereka, karena sadar bahwa bahaya kejahatan cyber di dunia maya setara dengan risiko-risiko yang ada di dunia nyata.

Sayangnya kesadaran itu tak diikuti dengan perilaku untuk melindungi data-data digitalnya. Contohnya mereka masih berbagi password dan terlibat dalam perilaku berisiko lainnya.

Sebanyak 22% konsumen setidaknya memiliki satu perangkat yang tidak terlindungi yang menyebabkan perangkat-perangkat lainnya menjadi rentan terhadap ransomware, situs-situs berbahaya, serangan zero days dan phishing.

Belum lagi kebiasaan menggunakan akses internet dari WiFi di area publik tanpa menggunakan VPN, yang sebenarnya berbahaya karena ada celah bagi peretas untuk mencuri data dari pengakses yang menggunakan jaringan WiFi yang sama.

Para konsumen masih mau mengklik tautan-tautan dari pengirim yang tidak mereka kenal atau membuka lampiran-lampiran berbahaya. Ketika ditunjukkan dengan email penipuan dan yang benar, lebih dari satu dari empat konsumen (28%) tidak dapat mendeteksi sebuah email phishing.

"Temuan kami menunjukkan bahwa masyarakat kini semakin menyadari kebutuhan untuk melindungi informasi pribadi mereka saat online, namun mereka tidak termotivasi untuk mengambil langkah-langkah pencegahan agar tetap aman," ujar Chee Choon Hong, Director, Asia Consumer Business, Norton by Symantec.

Survei Symantec ini dilakukan terhadap sekitar 20 ribu pengguna yang berusia 18 tahun ke atas, dan dilakukan di 21 negara yang berbeda, Indonesia salah satunya. Di Indonesia sendiri, ada sekitar seribu pengguna yang dijadikan sampel untuk survei yang diadakan dari 14 September hingga 4 Oktober 2016 ini. (dtk/ivn)*