DPR Terpecah Sikapi Gelar Perkara Terbuka Kasus Ahok

DPR Terpecah Sikapi Gelar Perkara Terbuka Kasus Ahok
JAKARTA (RIAUMANDIRI.co)- Anggota Komisi III DPR terpecah menyikapi rencana gelar perkara terbuka kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta nonaktif, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ada yang meminta Polri dalam menangani kasus Ahok tersebut dilakukan secara tertutup dan ada pula yang mendukung dilakukan secara terbuka.
 
Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Benny K Harman dari Fraksi Partai Demokrat, mengingatkan bahwa proses hukum di kepolisian tidak pernah dibuka. "Itu melanggar azas due process of law. Yang terbuka untuk umum itu hanya sidang di pengadilan," kata Benny ketika diminta tanggapannya oleh wartawan, Senin (7/11).
 
Benny mengatakan, penyidikan yang terbuka tidak menghargai prinsip due process of law, artinya polisi telah mengambil alih kewenangan hakim di pengadilan. "Sama dengan rakyat yang mengadili Ahok dan kalau ini yang terjadi potensi disintegrasi bangsa akan terjadi. Jadi jangan pernah dilakukan terbuka," saran politikus Demokrat itu.
 
Dia mengingatkan, proses hukum terbuka untuk umum itu hanya sidang di pengadilan. Bila tetap dilakukan, kata Benny, polisi melakukan pelanggaran prinsip hukum. "Harus tertutup, tidak boleh terbuka untuk umum. Presiden jangan mengintervensi kepolisian. Publik juga harus tahan diri, jangan pengadilan rakyat. kasihan Ahok nanti," kata Benny.
 
Terpisah, Anggota Komisi III DPR dari PKS Nasir Djamil‎ berpendapat, niat Polri melakukan gelar perkara kasus itu secara terbuka disiarkan media massa perlu dipertimbangkan. Sebab, kata dia, berdasarkan aturan hukum acara, penyelidikan maupun penyidikan bersifat rahasia dan sangat independen saat gelar perkara. ‎"Yang dikhawatirkan ketika ini terbuka melibatkan banyak orang ditonton, penyidik bisa berubah jadi aktris, dan yang diperiksa bisa perankan dirinya sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat," ujar Nasir Djamil di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (7/11).‎
 
Karena itu, dirinya meminta Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk mempertimbangkan kembali niat melakukan gelar perkara secara terbuka. "Yang kami inginkan secara transparan bukan seperti itu. Transparan itu artinya tidak menutup-nutupi bukti yang ada. Jangan sampai yang seharusnya ada dihilangkan. Tidak ada malah dimunculkan, atau tidak berusaha dicari atau digali lebih dalam. Transparan itu bagaimana semua bukti yang sudah ada dihadirkan dalam gelar perkara," katanya.
 
Kendati demikian, politikus PKS ini mengapresiasi ‎Polri yang memenuhi janji untuk memeriksa Ahok dalam kasus dugaan penistaan agama terkait surat Al Maidah 51. "Kita harap proses ini berjalan secara transparan, objektif, penuhi keinginan masyarakat, artinya ada aspek keadilan di sana," pungkasnya.
 
Berbeda dengan apa yang disampaikan Anggota Komisi III DPR Fraksi Nasdem, Teuku Taufiqulhadi. Dirinya menilai dalam asas hukum diperkenankan dilakukan gelar perkara secara terbuka. Termasuk dalam konteks dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. "Jadi bertentangan dengan teori dalam hukum. Tapi, kalau dilihat dari asas masih diperkenankan, asas hukum. Asas itu masih lebih tinggi dari teori dalam hukum. Jadi, kami persilakan pada kapolri mau terbuka atau tertutup. Itu landasannya ada semua," kata Taufiqulhadi di Gedung DPR.(sam)
 
Selengkapnya di Koran Haluan Riau edisi 08 November 2016
 
Editor: Nandra F Piliang