Terlalu Persuasif, WNI Kerap Jadi Korban Sandera

Terlalu Persuasif, WNI Kerap Jadi Korban Sandera

JAKARTA (HR)-Sikap Pemerintah Indonesia yang cenderung terlalu persuasif, dinilai menjadi salah satu penyebab mengapa banyak Warga Negara Indonesia yang menjadi korban penyanderaan, yang dilakukan perompak.
Penilaian itu dilontarkan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, menyikapi aksi penyanderaan yang dialami tiga orang Warga Negera Indonesia (WNI), belum lama ini. Ketiganya diketahui bekerja di kapal penangkap ikan milik pengusaha Malaysia.

Terlalu
Dengan demikian, total saat ini ada 10 orang WNI yang masih menjadi korban penyanderaan yang diduga dilakukan kelompok militan Abu Sayyaf di Filipina.
"Kenapa selalu Indonesia yang diculik? Ini kapal-kapal Malaysia, mencari ikan di Malaysia, WNI kerja legal di sana. Diambil yang mempunyai passpor Indonesia, saya tanya ada apa ini? Saya katakan tadi mungkin kita terlalu persuasif. Mungkin alasan ekonomi atau alasan yang lain lagi. Ini harus kita analisa dengan benar," ujar Gatot, usai rapat di kantor Menko Polhukam Jalan Medan Merdeka Barat, Senin (11/7).

Panglima TNI menegaskan, penculikan terbaru terhadap tiga WNI di Lahad Datu, Sabah merupakan tanggung jawab Pemerintah Malaysia. "Yang jelas ini tanggung jawab Malaysia karena ini kapal berbendera Malaysia dan beroperasi di sana dan tenaga kerja kita kerja di sana dengan legal," sambung dia.

Menurut dia, tindakan persuasif menyebabkan kelompok bersenjata yang diindikasi adalah anggota kelompok Abu Sayyaf bisa semena-mena menjalankan kejahatannya. Jika diizinkan dilaksanakan operasi militer, pihaknya yakin kelompok tersebut akan mengurungkan niatnya.

"Persuasif itu kita tidak melakukan operasi militer di sana. Mereka tahu ada celah itu. Makanya mereka berani melakukan itu. Saya kira itu," tegas mantan KSAD itu.

Dikawal
Sementara itu, untuk mencegah kejadian serupa terulang lagi untuk kesekian kalinya, prajurut TNI siap melakukan pengawalan terhadap kapal-kapal milik Indonesia yang melayari rute yang dinilai rawan aksi perompak tersebut.

Walaupun sudah mendapat lampu hijau dari Pemerintah Filipina, pertemuan trilateral antar Menhan Indonesia-Filipina-Malaysia esok hari akan jadi penentunya.

"Pengawalan oleh TNI di kapal itu kita inginkan. Bisa 4 bisa 5 prajurit. (Pemerintah Filipina) sudah memberi lampu hijau. Tetapi pertemuan antar Menhan di Kuala Lumpur nanti yang menentukan," pungkas Gatot.

Dalam kesempatan itu, Panglima TNI juga menegaskan, tidak akan ada pembayaran uang tebusan kepada para perompak.

"Kita bayar? Lalu ketagihan dan menculik lagi? Saya tekankan bahwa sesuai arahan Presiden diutamakan keselamatan sandera tapi tidak menghendaki adanya pembayaran," tegasnya lagi.

Tidak Bisa Ditoleransi
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menegaskan, aksi penyanderaan tersebut sudah tidak dapat ditoleransi lagi.

"ini tidak bisa lagi ditoleransi. Oleh karena itu, upaya serius harus dilakukan segera, baik oleh Pemerintah Filipina maupun Pemerintah Malaysia," ujarnya.


"Pada pagi ini, saya juga telah melakukan komunikasi dengan Menlu Filipina dan Menlu Malaysia untuk meminta kembali perhatian kepada kasus baru (penyanderaan ABK) ini," ucap Menlu Retno.

Menlu Retno menegaskan bahwa Pemerintah Indonesia siap untuk bekerja sama dalam upaya pembebasan ABK yang disandera dalam waktu sesegera mungkin.

"Keselamatan sandera tetap merupakan prioritas utama bagi kita. Setelah ini akan dilakukan rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menkopolhukam (Luhut Pandjaitan) mengenai upaya selanjutnya untuk pembebasan sandera," ujar dia.

Terpisah, anggota DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem, Johnny G Plate, mendukung dilakukannya operasi militer oleh TNI terhadap para perompak tersebut. Ia pun meminta TNI tak ragu-ragu dalam mengambil aksi militer dalam mellindungi WNI mana pun termasuk di wilayah yuridiksi Filipina yang saat ini menjadi basis wilayah kelompok teroris Abu Sayyaf.

"Tindakan kriminal terorisme oleh kelompok Abu Sayyaf sudah sangat sistematis dan menjadikan WNI sebagai sasaran utama," kata Anggota Komisi XI DPR RI itu. (bbs, dtc, ant, kom, azw)