Kasus Pemalsuan Akta Perjanjian

Sakit, Eksekusi Notaris di Pekanbaru Tertunda

Sakit, Eksekusi Notaris  di Pekanbaru Tertunda

PEKANBARU (riaumandiri.co)-Pihak Kejaksaan akhirnya melakukan eksekusi terhadap Neni Sanitra, salah seorang notaris di Pekanbaru. Ia divonis bersalah dalam kasus dugaan pemalsuan akta perjanjian. Kasus ini juga telah memiliki kekuatan hukum yang tetap atau inkrah, setelah adanya putusan dari Mahkamah Agung RI.
Namun demikian, hingga Kamis (30/6) sore, proses eksekusi terhadap yang bersangkutan belum dilaksanakan. Sakit menjadi alasan Jaksa Penuntut Umum menunda eksekusi terhadap terpidana 1 tahun penjara tersebut
Saat dikonfirmasi, JPU dari Kejaksaan Tinggi Riau, Ermindawati, enggan memberikan keterangan kepada awak media. Menurutnya, pihaknya masih melengkapi administrasi eksekusi.

Sakit
"Tunggu dulu. Kami masih bekerja," ujarnya.

Saat dicoba dikonfirmasi ulang pada petang harinya, Minda yang turut mengawal dan mendampingi terpidana, tidak bersedia lagi mengangkat sambungan telepon yang ditujukan kepada dirinya. Begitu juga pesan singkat yang dikirimkan, tidak diresponnya.

Sementara, dari informasi yang diterima, JPU menunda eksekusi terhadap Notaris yang beralamat di Jalan Tuanku Tambusai Pekanbaru tersebut, karena alasan sakit dari terpidana.

Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Pekanbaru, Adi Kadir, membenarkan hal tersebut. Dikatakan Adi Kadir, setelah menerima salinan putusan perkara tersebut, pihak kejaksaan langsung melayangkan surat panggilan terhadap Neni.

Pada Kamis sore kemarin, Neni akhirnya mendatangi Kejaksaan Negeri Pekanbaru, untuk selanjutnya dilengkapi proses administrasi eksekusi. Namun dengan alasan sakit, Neni kemudian dibawa ke Rumah Sakit Awal Bross Pekanbaru untuk dilakukan pengecekan kesehatan. Hingga petang hari, dipastikan Neni masih berada di rumah sakit tersebut.

"Masih di UGD (Unit Gawat Darurat,red) RS Awal Bros Pekanbaru. Dia (Neni Sanitra,red) masih dirawat," ungkap salah seorang dari pihak kejaksaan yang turut mengawal dan mendampingi proses eksekusi.

"Info dari dokter, dia tekanan darah tinggi. Sampai 190/100 yang berpotensi stroke. Jadi ditunda eksekusinya," tambahnya.

Dengan demikian, Neni Sanitra dipastikan belum menghuni penjara di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan dan Anak Pekanbaru, untuk menjalani proses hukuman.

Untuk diketahui, pada sidang putusan yang digelar di PN Pekanbaru, Kamis (19/3) lalu, majelis hakim yang diketuai Yuzaida, menyatakan melepaskan Neni Sanitra dari tuntutan hukum. Selain itu, Majelis Hakim juga memerintahkan JPU memulihkan hak-haknya dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabat.

Sementara dalam kasus ini, JPU Silpia Rosalina dan Minda, menuntut Neni Sanitra dengan pidana penjara selama dua tahun. Menurut JPU, perbuatannya mengubah isi perjanjian secara sepihak, bertentangan dengan Pasal 264 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Tidak terima dengan putusan majelis hakim tersebut, JPU kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hasilnya, majelis hakim MA merubah isi putusan pengadilan tingkat pertama tersebut, dan memutuskan Neni Sanitra dihukum selama satu tahun penjara.  

Untuk diketahui, kasus ini berawal saat PT Bonita Indah (BI) dengan direkturnya bernama Daniel Freddy Sinambela, akan mengikuti tender jasa penyediaan kendaraan berupa mobil tanpa jasa pengemudi di PT Chevron Pasific Indonesia.

Karena modalnya terbatas, Daniel pun mencari pemodal agar dapat mengikuti lelang itu. Sebab, salah satu syaratnya adalah harus memiliki uang sedikitnya Rp5 miliar di bank. Daniel akhirnya pun menemui dua pengusaha yakni Bonar Saragih dan Mangapul Hutahaean. Keduanya bersedia menjadi pemodal pada proyek PT BI.

Keduanya sepakat bekerja sama dan membuat perikatan dalam Akta Perjanjian Kerjasama Nomor 149 dan 150 tanggal 30 Maret 2014 di Kantor Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Neni Sanitra. Lalu, PT BI pun menang dalam lelang di PT CPI itu.

Namun, usai lelang dimenangkan, Bonar berselisih dengan Daniel. Buntutnya, Bonar menarik uang Rp5 miliar dari bank secara sepihak. Atas tindakan itu, Daniel pun mengutus kuasa hukumnya untuk meminta salinan akta perjanjian dari notaris Neni. Namun saat itu, Neni tak bersedia memberikan salinannya.

Setahun kemudian, PT BI curiga ada kejanggalan dalam isi perjanjian itu. Daniel merasa, isi perjanjian yang dijadikan Bonar saat menggugatnya, tak sama dengan isi perjanjian semula ketika sama-sama menghadap Notaris Neni. Daniel akhirnya meminta salinan Akta itu kepada Neni.

Ternyata, dari akta itu terungkap bahwa isi perjanjian itu memang diubah sepihak. Sebab, sesuai aturan, untuk mengubah akta harus dilakukan bersama-sama oleh kedua belah pihak di hadapan notaris (renvoi). Akta yang diubah itulah yang diduga dijadikan Bonar menggugat PT BI di peradilan perdata.

Atas temuan itu, pada 10 Juli 2012, PT BI pun mengadukan aksi Neni itu kepada Majelis Pengawas Wilayah (MPW) Notaris Provinsi Riau. Dan Neni dinyatakan telah melanggar Pasal 48 ayat 1 UU Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

MPW menjatuhkan sanksi teguran lisan kepada Neni karena menghapus, menindih dan mengganti dengan yang lain terhadap Pasal 4, 6, 7, 8 dan 9 pada Akta Perjanjian nomor 149 tanggal 30 Maret 2011 itu. Hingga akhirnya PT BI mengajukan gugatan secara pidana, dan pada 12 Desember 2013 lalu Polda Riau menetapkan Neni Sanitra sebagai tersangka.(Dod)