Sisi Lain Seputar Bono Teluk Meranti

Jalan Mengenaskan hingga Lahan Tergerus Ombak

Jalan Mengenaskan hingga Lahan Tergerus Ombak

PELALAWAN (riaumandiri.co)-Sejak gencar dipromosikan, pesona Ombak Bono di Sungai Kampar, Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan, terus tersebar ke seluruh penjuru dunia. Pengakuan para peselancar dunia. yang mengakui keindahan sekaligus keanehan Ombak Bono ini, membuat fenomena alam ini semakin tersohor dari hari ke hari.

Bono terbesar biasanya, terjadi ketika musim penghujan di mana debitJalan air Sungai Kampar mengalami peningkatan, tepatnya pada bulan November dan Desember.

Sebenarnya, fenomena alam ombak Bono bisa ditemukan di dua lokasi. Yakni di muara Sungai Kampar di Pelalawan serta muara Sungai Rokan di Rokan Hiir. Masyarakat setempat menyebut Bono di muara Sungai Kampar sebagai Bono Jantan karena lebih besar, sedangkan Bono di Kuala Rokan sebagai Bono Betina karena lebih kecil.

Sebenarnya, masih ada sektor pariwisata lain yang sebenarnya tak kalah menakjubkan dibanding Bono. Yaitu Sungai Kerumutan dan Sungai Serkap yang panjangnya mencapai 30 kilometer.

Berdasarkan hasil penelitian, pada bagian Sungai Serkap sering disinggahi burung-burung yang tengah terbang mengitari dunia. Selain itu, kondisi alam di dua aliran sungai itu yang cenderung masih perawan, juga menyajikan pemandangan indah dan eksotis.

Jalan tak MulusNamun di balik indahnya pesona Bono, ternyata ada beberapa hal yang seharusnya ikut diperhatikan pemerintah dan stake holder lainnya. Dalam perjalanan yang digelar AsosiasiJurnalis Independen (AJI) Pekanbaru dan lembaga Kemitraan Pembangunan Sosial Berkelanjutan Scale Up ke kawasan Teluk Meranti, Jumat (18/3), kondisi ruas jalan menuju kawasan itu, masih mengenaskan.

Sebenarnya, jarak dari Simpang Bunut menuju ke Teluk Meranti hanya sekitar 89 kilometer. Namun karena kondisi jalan yang tak mulus, jarak itu harus ditempuh selama tiga jam.
Kendaraan terpaksa harus berjalan merayap karena kondisi badan jalan yang umumnya masih berupa jalan tanah. Di beberapa titik ada batu-batu dan lobang serta gelombang, yang siap mengancam bagi pengendara yang lengah.

Selain itu, program pemerintah menggalakkan Bono, juga belum diiringi dengan kesadaran warga sekitar. Tidak sedikit warga yang menerapkan tarif parkir tinggi, bagi kendaraan yang hendak menuju kawasan Bono. Meski dipatok dengan tarif tinggi, keamanan pengunjung juga belum tampak diperhatikan dengan baik.

Tergerus Ombak
Tidak hanya itu, megahnya Ombak Bono juga belum sebanding dengan penderitaan warga di kawasan itu. Tanpa banyak diketahui, Bono juga telah banyak membuat lahan di sekitar pinggiran sungai, jadi tergerus.

Saat melakukan perjalan melalui sungai, tampak beberapa pohon tumbang akibat abrasi. Kondisi itu terjadi di Tanjuk Sesenduk dan daerah lain di sekitarnya.

"Dalam setahun ini, kurang lebih ada 50 meter daratan di Tanjung Sesenduk ini hilang akibat terkikis ombak Bono, bahkan dahulu daratannya di sini," ujar Pendi, terang salah seorang warga yang ikut mendampingi perjalanan para wartawan.

Selain itu, sengketa lahan perkebunan antara warga di kawasan itu dengan sejumlah perusahaan di kecamatan Teluk Meranti, sejauh ini terkesan masih luput sehingga belum terungkap.

Kondisi itu diakui Muhammad Yunus (57), yang merupakan saah seorang tokoh masyarakat setempat dan dikenal sebagai pejuang hak masyarakat yang terlibat konflik sengketa dengan pihak perusahaan.

Menurutnya, sejak dahulu masyarakat di daerah itu  bergantung kepada hasil hutan dan sungai. Namun saat ini, kehidupan mereka mulai terusik, karena terlibat konflik dengan perusahaan yang terus bermunculan di kawasan itu. Sejauh ini, warga merasakan perhatian dari pemerintah tidak seperti yang diharapkan.

"Kebutuhan pagan setiap tahunnya makin tinggi, sementara lahan untuk menanam sudah diambil alih perusahaan untuk perkebunan kelapa sawit," ungkap Yunus.

Betapa tidak, hutan yang ada saat ini sudah didominasi pihak perusahaan dan asing, serta limbah dari perusahaan tersebut, mengalir bebas ke sungai.

Pemerintah juga terkesan lebih memihak perusahaan dan asing dari luar Pelalawan, daripada warga suku Melayu Teluk Meranti yang sudah menempati daerah itu sejak dahulu kala.

"Padahal dahulu daerah Teluk Meranti dikenal dengan salah satu daerah penghasil jagung terbesar di Indonesia, bahkan sangat dikenal sebagai daerah lumbung padinya di Riau. Hingga mampu mengekspor hasil taninya keluar daerah. Namun sekarang, lahan dan hutan yang ada, sudah banyak yang berubah fungsi jadi lahan sawit. Kami pun mulai kesulitan memenuhi kebutuhan hidup," tambahnya. (mg3)