Benteng Terakhir Suku Sakai

Jati Diri yang Dipinggirkan

Jati Diri yang Dipinggirkan

Pekanbaru (HR)-Masih banyak keunikan dari kehidupan masyarakat adat di pedalaman Sumatera yang menjadi sebuah misteri dan menunggu untuk diungkap, salah satunya adalah Suku Sakai di Provinsi Riau. Sebuah rumah adat di tepi belantara menjadi "benteng" terakhir untuk mempertahankan budaya Sakai dari perubahan zaman.

Perjalanan melalui jalan darat pada awal Januari sejauh 180 kilometer dari hiruk-pikuk Kota Pekanbaru menuju Desa Kusumbo Ampai Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, dipenuhi oleh pemandangan tanaman kelapa sawit dan instalasi tambang perusahaan minyak bumi. Permukiman Sakai Desa Kusumbo Ampai, yang kerap disebut warga setempat dengan daerah Sebanga atau Sebango, relatif mudah diakses karena berada di jalur Jalan Lintas Timur Sumatera.  

   Meski begitu, jalan masuk ke perkampungan suku asli Riau itu hanya sebagian kecil yang sudah diaspal, dan itu pun kini sudah banyak berlubang. Hingga kini tidak ada transportasi umum yang menjangkau tempat itu, dan begitu juga sinyal telepon, sehingga begitu masuk ke wilayah itu membuat kita terputus dari kehidupan modern.

Pada ujung jalan aspal itu berdiri Rumah Adat Suku Sakai dilahan seluas sekitar 1,3 hektare, yang berbatasan langsung dengan hutan (rimbo) adat. Bangunan megah berbentuk rumah panggung itu terlihat kontras dengan permukiman warga disekitarnya yang terbuat dari kayu dengan jalan tanah berlumpur.
 
Meski begitu, mayoritas warga Suku Sakai di Desa Kusumbo Ampai kini sedang bersuka cita merayakan rumah adat mereka yang baru rampung dibangun untuk menggantikan bangunan lama yang rusak berat. Restorasi rumah adat itu merupakan hadiah dari perusahaan industri kehutanan APP-Sinar Mas Forestry yang wilayah kerjanya berbatasan dengan permukiman Suku Sakai di sana.

Rumah adat Suku Sakai terdiri dari beberapa bangunan yang terpisah. Di sebelah kiri dari pintu masuk terdapat balai adat tanpa dinding yang disebut "Bubung Lantik Olang Monai", sedangkan di sebelah kanannya terdapat bangunan serupa yang dinamai "Bangsal Pisang Sekikek".

Bangunan utama terletak di tengah, berupa rumah panggung paling besar berukuran sekira 9 x 11 meter dengan jendela bulat dan deretan anak tangganya yang berwarna kuning membuatnya terlihat unik. Rumah utama terdiri dari tiga bagian, yang paling luas untuk aula pertemuan induk bernama "Gajah Menohun".

Di dua sudutnya terdapat lantai yang lebih tinggi bernama "Anjung Si Timbal Balik" untuk pernikahan dan orang yang dituakan. Bagian depan bangunan utama itu terdapat beranda yang disebut "Peyapah Jatuh", sedangkan di bagian belakang disebut "Gajah Monusu", yakni ruangan lebih kecil yang digunakan untuk dapur.

Sementara itu, sebuah menara setinggi sekitar 10 meter berdiri di muka bangunan utama, yang disebut "Moligai Payung Sekaki". Di pucuk menara terdapat hiasan patung berbentuk burung yang disebut "Puan Saleh".

"Moligai payung sekaki dari masa nenek moyang digunakan untuk kaum perempuan untuk melihat kegiatan di rumah adat dari atas," kata Pimpinan Adat Suku Sakai (Bathin), M. Yatim, dikutip dari Antarariau.Com.
Pagaruyung Hingga Jepang

Suku Sakai merupakan salah satu suku asli di Provinsi Riau yang menyebar  di sejumlah kabupaten, yaitu  Bengkalis, Kampar, Indragiri hulu, serta Siak yang totalnya ada 13 bathin. Permukiman warga Sakai terbanyak berada di wilayah Desa Kesumbo Ampai, yakni mencapai sekitar 300 kepala keluarga. Bathin M. Yatim sendiri merupakan pimpinan dari delapan Bathin Suku Sakai yang ada di Kabupaten Bengkalis.

Suku Sakai termasuk dalam suku Melayu (proto) Melayu, dan Bathin Yatim menyatakan garis keturunan mereka erat kekerabatannya dengan Kerajaan Pagaruyung di Provinsi Sumatera Barat. Nenek moyang mereka bereksodus ke wilayah Sumatera bagian tengah pada 600 tahun lalu, ketika Kerajaan Pagaruyung berkecamuk perang besar.

Karena itu, tidak mengherankan apabila bahasa Sakai dan beberapa budayanya seperti pencak silat dan bentuk atap bangunan adat, sangat identik dengan tradisi Minangkabau. Bahkan, pimpinan adat seperti sultan dan datuk dari Kerajaan Pagaruyung juga hadir pada peresmian rumah adat Suku Sakai di Desa Kesumbo Ampai.  

Lalu, apabila Sakai sebenarnya adalah para perantau dari tanah Minang, mengapa di Riau mereka dipanggil Sakai?

Bathin Yatim menceritakan kisah yang diwariskan turun-temurun mengenai asal nama Sakai. Orang-orang tua Sakai percaya nama tersebut merupakan pemberian dari orang Jepang saat menjajah Nusantara selama tiga tahun sejak 1942.

Menurut dia, masyarakat adat tersebut termasuk yang ditakuti oleh tentara Jepang karena kekuatannya. Masyarakat adat tersebut justru terus melawan Jepang, dan seringkali para penjajah kerepotan melawan orang kebathinan karena ilmu gaib yang mereka miliki.

Karena itu, pihak penjajah tidak berani memaksa mereka untuk ikut kerja paksa atau "Romusha".
"Ada kisah, saat masyarakat kebathinan ditembak oleh Jepang, namun tidak mati. Tapi itu bukan berarti kita tahan tembak, tapi bisa jadi orang Jepangnya tidak tepat untuk menembak sebab ada juga suku kebathinan yang tewas akibat samurai (pedang) Jepang," kata Bathin Yatim.

Mungkin karena kebingungan untuk menyebut lawan kuatnya, lanjut Bathin Yatim, maka Jepang memanggil masyarakat kebathinan dengan Sakai yang konon karena bentuk fisik mereka mirip dengan orang Sakai di Jepang. Cerita Bathin Yatim kemungkinan besar terkait dengan Klan Sakai yang merupakan samurai terkuat pada zaman Kekaisaran Tokugawa abad ke-14.

"Sakai itu berasal dari orang-orang  Jepang yang artinya kuat tahan banting dan sejenisnya. Itulah kenapa alat-alat berat buatan Jepang ada merek Sakai," katanya.

"Lalu peneliti ada yang mengaitkan Sakai adalah singkatan dari kata-kata Sungai, Air, Kampung, Anak dan Ikan. Katanya itu menggambarkan kehidupan kami, jadi ya itu tidak jadi masalah juga buat kami," lanjut Bathin Yatim.

Ia berharap rumah adat baru itu bisa mengukuhkan kembali identitas Suku Sakai, karena itu bangunan utama juga digunakan seperti museum yang berisikan sejarah Sakai tempo dulu. Peninggalan keris pusaka Sakai tersimpan rapi di dalam kotak kaca di sudut ruangan itu. Selain itu, ada juga alat musik tradisional, perlengkapan hidup seperti kapak perimbas, tombak, parang, keranjang anyaman rotan (ago), lentera (pelito dama) hingga pakaian dari kulit kayu yang dahulu digunakan nenek moyang mereka.

Pada dinding kayunnya dipenuhi dengan penjelasan tentang silsilah 13 bathin Suku Sakai yang tersebar di Kabupaten Bengkalis dan Siak. Kemudian ada foto rumah adat yang lama, foto hitam putih tentang orang Sakai zaman dulu yang menggunakan baju dari kulit kayu, serta peta wilayah adat Sakai yang dibuat oleh orang Belanda.

"Peta wilayah adat Sakai ini saya dapatkan dari mahasiswa Belanda yang meneliti Suku Sakai di sini. Ternyata orang Belanda pada masa penjajahan membuat petanya dan disimpan di museum di Leiden, Belanda," kata Bathin Yatim.

Miss Identitas
Sebagai besar hidup Bathin Yatim adalah menjadi saksi hidup mengenai betapa sulitnya kehidupan Suku Sakai yang telah kehilangan identitasnya.  Ia mengungkapkan ada perasaan senang bercampur kepedihan melihat rumah adat Suku Sakai yang baru. Rumah adat itu memang terlihat kokoh dengan dinding kayu yang dipernis hingga coklat mengkilap, tiang pancang besi warna merah, dan atap seng antibocor berwarna hijau tua. Namun, ada kesedihan yang dipendamnya karena rumah adat itu sudah jauh berbeda dari yang sebelumnya dibuat menggunakan bahan baku yang berasal dari hutan alam.

“Kalau dari bentuknya masih sama seperti yang lama, tapi sudah jauh berbeda karena rumah adat yang lama tak pakai besi dan atap seng. Tapi mau bagaimana lagi karena sekarang hutan hampir habis tinggal 300 hektare hutan adat yang tersisa, kayu dan rotan makin sulit dicari," katanya.  

Bathin Yatim masih ingat bagaimana uniknya rumah adat Suku Sakai yang lama dibuat dari bahan baku pilihan mulai dari kayu kulim dan meranti untuk tiang pancangnya, dinding dari kulit kayu, atap dari daun rumbia dengan hiasan buah pinang dipucuknya, hingga lantai kayu yang dilapisi jalinan rotan di atasnya.  

Butuh musyawarah adat yang cukup lama untuk menerima tawaran perusahaan untuk membangun ulang rumah adat dengan bahan baku yang modern. Karena pertimbangan bahan baku yang langka, akhirnya para pemuka adat menyetujui pembangunan tersebut supaya rumah adat bisa bertahan lebih lama.

"Bagaimana pun juga kita harus maju ke depan, sudah jadi tanggung jawab masyarakat kita agar budaya tidak hilang," katanya.

Ia menjelaskan, Suku Sakai "dipaksa" kehilangan akar budayanya pada saat pemerintah Indonesia pada masa Orde Baru mulai memberikan izin usaha kepada perusahaan kehutanan. Hutan yang menjadi sumber hidup dan identitas mereka mulai dikapling-kapling untuk para pebisnis. Tradisi ladang berpindah Suku Sakai dicap sebagai tindakan merusak lingkungan, dan mereka dipaksa menempati rumah permanen bantuan Kementerian Sosial agar tidak lagi hidup nomaden.***
Naskah: FB Anggoro
Wartawan LKBN Antara