Hutan Riau Dihegemoni Korporasi

Potensi Karhutla Sangat Besar

Potensi Karhutla Sangat Besar

SIAK (HR)-Hampir seluruh wilayah provinsi Riau, baik dalam bentuk hutan atau pun wilayah perkebunan dikuasai oleh korporasi. Ini sebuah potensi besar penyumbang bencana kebakaran, diprediksi musibah kabut asap akan rutin menyiksa masyarakat disaat musim kemarau.

Hal ini terungkap dalam diskusi yang digelar oleh Gerakan Mahasiswa Peduli Kabupaten Siak (GMPKS) bersama 5 organisasi di Water Front City Siak, Minggu malam (13/12).

Diskusi dipimpin oleh Ketua GMPKS Gusfahmi, Ketua Forn Mahasiswa Nasional (FMB) Alil, Korwil Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Andri Saputra, Ketua Serikat Pemuda Riau Randi, Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria Aditya Setya Yendra dan Pimpinan Regilayah Riau Serikat Perempuan Indonesia Helda Khasmi.

Helda Khasmi menegaskan bahwa dampak dari mono poli lahan baik di hutan dataran tinggi dan lahan gambut adalah faktor penyebab kebakaran, sebagai aktivis yang fokus memperhatikan kesehatan anak dan kaum hawa, ia menuturkan kaum ibu dan anak usia dini menjadi sasaran korban dari musibah ini.

"Ada kezoliman di sini, jumlah mereka hanya 5 persen dari seluruh masyakat, namun masyarakat tidak bisa berdaulat. Parahnya, saham perusahaan dikuasai oleh negara adikuasa," tegas Helda Khasmi.

Kehadirannya di Siak bersama organisasi lain kali ini bermaksud untuk penyadaran kaum perempuan, sama-sama berteriak menolak kezaliman atas hegemoni hutan yang terjadi di Siak. "Selain memberikan pelayanan kesehatan geratis, dalam rangkaian kegiatan kali ini kami juga melakukan kampanye anti asap dan yang menyebabkan asap itu terjadi," kata Helda Khasim.

Penolakan terhadap hegemoni hutan juga disampaikan oleh Ketua Aliansi Gerakan Reforma Agraria Aditya Setya Yendra. Mahasiswa Universitas Muhammadiyaah Riau ini menyampaikan hegemoni hutan yang dilakukan oleh perusahaan telah membatasi hak petani untuk mengembangkan usahanya. Lebih parah lagi, areal perizinan perusahaan banyak yang mengklaim tanah masyarakat petani, sehingga kehidupan petani semakin tertindas.

"Kami menolak segala bentuk perampasan, upah dan tanah yang dilakukan korporasi terhadap masyarakat. Ada 70 persen masyarakat Indonesia hidup di kelas terbelakang secara umum mereka adalah petani," tegas Aditya Setya Yendra.

"Petani tidak mendapat hak-hak dasar dari negara, petani tidak kuat dibidang politik, tidak kuat dibidang politik. Mereka semakin terjebak dalam kemiskinan yang diakibatkan oleh kebijakan oleh negara," tegas Aditya.

Yendra menjelaskan bahwa dalam konstitusi ditegaskan bumi, air dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kepentingan rakyat. Mengacu undang-undang pokok agraria tahun 1960 seharusnya kepemilikan tanah bisa dikuasai oleh petani untuk peningkartan produksi.

"Walaupun masyarakat berada di kawasan hutan, ataupun hutan lindung, namun itu tanah hutan yang dikuasai untuk rakyat adalah milik negara, di sini rakyat punya hak," tuturnya. (lam)