Memajukan Perbankan Syariah

Memajukan Perbankan Syariah

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Desember ini akan menerbitkan buku Kodifikasi Produk dan Aktivitas Perbankan Syariah. Tujuan penerbitan buku ini memacu dan mendorong industri perbankan syariah agar bisa melayani berbagai kebutuhan masyarakat.

Stimulus ini diharapkan mampu memajukan industri perbankan syariah di Indonesia. OJK juga akan membuat aturan dibolehkannya bank syariah membuka layanan di semua kantor cabang dan kantor kas bank konvensional. Syaratnya, harus ada kantor cabang bank syariah di enam daerah operasional OJK, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan, dan Makassar.

Mencermati kedua hal di atas, sebagai pelaku di bank syariah menyambut baik upaya OJK tersebut. Meski diakui, sebelumnya Bank Indonesia (BI) juga telah mengeluarkan buku Kodifikasi Produk Bank Syariah pada Agustus 2007. Lalu, apa bedanya?
Inilah yang ingin kita ketahui bersama. Terlepas dari itu, saya melihat ini adalah bagian dari strategi stimulus mempercepat kemajuan perbankan syariah di Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana mengukur efektivitas stimulus itu? Inilah yang coba saya kupas perspektifnya dari dua sudut pandang: pelaku dan nasabah.

Harus diakui, sampai detik ini saya melihat perkembangan perbankan syariah di Indonesia masih sebatas "bungkus", bukan "isi". Hal ini bisa dijelaskan dari hubungan antara semangat (ghirah) masyarakat dalam berbusana Muslim (Muslim fashion), pola makan (halal foods), banyaknya film religi, dan wisata syariah, misalnya, tidak berbanding lurus dengan peningkatan aset perbankan syariah.

Mari kita baca data, per Juni 2015 aset perbankan syariah masih tidak beranjak dari lima persen, yaitu 4,61 persen atau Rp 273,5 triliun. Inilah paradoks bank syariah di Indonesia.

Kenyataan ini juga disadari semua pihak. Kemajuan di dunia Muslim fashion, kesadaran akan makanan halal, merebaknya film religi, meningkatnya wisata syariah ternyata tidak membuat masyarakat juga memilih bank syariah sebagai bank pilihan. Berdasarkan riset kecil-kecilan yang saya lakukan ketika hunting nasabah deposito, misalnya, mereka lebih memilih bank konvensional karena akses dan keamanan. Padahal, menyimpan uang di bank syariah juga aman karena dijamin oleh OJK maksimal Rp 2 miliar sama dengan bank konvensional.

Menurut saya, untuk memajukan perbankan syariah di Indonesia saat ini, tidak hanya dari sisi layanan produk an sich. Karena, banyak sekali yang bisa lebih dikembangkan dan jadi prioritas utama seperti disinggung dalam buku First Things First karya Stephen R Covey (1994): "dahulukan yang utama". Masalah modal dan SDI (sumber daya insani), misalnya, jauh lebih mendesak untuk dicarikan solusinya.

Nah, struktur modal perbankan syariah inilah yang semestinya menjadi PR utama kita saat ini. OJK dan kita semua hendaknya berfokus terkait hal ini. Terbatasnya teknologi informasi yang menjadikan terbatasnya akses ke perbankan syariah juga disebabkan kecilnya modal. Karena itu, industri perbankan syariah tanpa dukungan modal yang besar sudah dipastikan akan kesulitan untuk maju dan berkembang.

Saat ini, diakui atau tidak, bank syariah, baik bank umum syariah (BUS), unit usaha syariah (UUS), maupun bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS) kesulitan mencari dana murah. Berbeda sekali dengan bank konvensional sehingga harga jual produknya pun juga lebih tinggi dibanding harga jual di bank konvensional.

Dari sini saja, bank syariah sudah "kalah" oleh bank konvensional. Belum lagi yang lainnya. Jadi, jika struktur modal bank syariah ini besar, maka bank syariah akan lebih leluasa bergeraknya di pasar keuangan. Demikian sebaliknya.

Niatan pemerintah membentuk "Bank BUMN Syariah" pun masih juga belum terwujud sampai saat ini. Ini perlu kita push bersama termasuk juga peran media agar bisa segera diwujudkan. Menurut informasi akan direalisasikan pada 2017.

Sebagai pelaku bank syariah, keluarnya stimulus OJK ini tidak akan berdampak signifikan. Namun, bagi masyarakat deposan atau penabung, akan semakin terlayani kebutuhannya, terkait dengan produk-produk bank syariah. Bank syariah akan dengan mudah mengeluarkan produknya sesuai dengan kebutuhan pasar. Manajemen bank syariah pun akan terbantu untuk bisa lebih cepat menyediakan semua produk yang dibutuhkan nasabah. Inilah beberapa manfaat dari stimulus OJK tersebut.

Bagi saya, keberadaan bank syariah saat ini sebaiknya diletakkan dalam semangat melayani secara profesional. Di mana ada produk bank konvensional di situ pula bank syariah bisa menyediakannya. Dalam bahasa umum disebut "palugada", artinya apa yang lu mau gue ada.

Dari sini nanti akan lahir persepsi yang baik bagi perbankan syariah di masa akan datang. Bukankah marketing is the battle of perception, artinya pemasaran adalah perang persepsi, bukan hanya perang produk dan harga saja.

Jika persepsi terhadap bank syariah terbentuk dengan kuat, nasabah akan dengan sendirinya memilih bank syariah secara rasional bukan lagi emosional. Nah, untuk bisa mendapatkan nasabah rasional, perlu suntikan modal besar. Tanpa itu, tampaknya masalah klasik bank syariah akan terus ada.

Mari kita buktikan sebagai Muslim-Muslimah ambil keputusan untuk menjadi nasabah bank syariah. Ini jihad sederhana di tengah gurita berbagai kemudahan yang ditawarkan bank konvensional. Bank syariah membutuhkan kita bukan yang lain. Kalau bukan kita, siapa lagi yang menjadi nasabah bank syariah. Bagaimana menurut Anda? (rol)