Freeport dan Ironi Komunikasi

Freeport dan Ironi Komunikasi

PT Freeport Indonesia (PTFI) kembali menjadi perdebatan publik. PTFI ingin melanjutkan kontrak karya (KK) yang habis pada 2021. Di samping emosi publik yang ingin PTFI dihentikan, rencana ini juga berbenturan dengan regulasi.

PP No 77/2014 menyatakan, bila perpanjangan kontrak hanya bisa dilakukan dua tahun menjelang kontrak lama habis, yaitu pada 2019. UU Minerba No 04/2009 juga mensyaratkan banyak hal yang tidak sesuai dengan ajuan PTFI.

Kontroversinya sudah terlihat. Hampir seluruh komunikator politik bersuara. Mulai dari wakil presiden, menteri, politisi Senayan, Ketua DPR, LSM, media, sampai masyarakat umum. Ditambah dengan terungkapnya transkrip antara dirut PTFI dan Ketua DPR, makin keras suara aktor politik.

Lalu, apa yang kita dapatkan dari riuhnya komunikasi politik ini? Adakah kejelasan yang kita dapatkan? Tergambarkah nasib PTFI di Indonesia ke depan?

Mengutip Meadow dan Nimmo, Cangara menyebutkan, "Political communication refers to any exchange of symbols or message that to a significant extent have been shaped by or have consequences for political system". Sementara, Brian McNair dalam bukunya, Introduction to Political Communication, menyebutkan, "Political communication as pure discussion about the allocation of public resources (revenues), official authority (who is given the power to make legal, legislative and executive decision), and official sanctions (what the state reward or punishes)."

Adapun unsur komunikasi politik adalah komunikator, pesan, media, penerima, dan efek. Komunikator adalah pemberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik, seperti presiden, menteri, DPR, partai politik, media, atau LSM.

Adapun pesan politik adalah pernyataan yang disampaikan secara tertulis, tidak tertulis, verbal, nonverbal, tersembunyi, terang-terangan, disadari, tidak disadari. Media ialah sarana para komunikator untuk menyampaikan pesan-pesannya. Sementara, efek komunikasi politik adalah terciptanya pemahaman terhadap sistem pemerintahan dan partai-partai politik.

Dalam kasus PTFI ini, hampir tidak ada komunikator politik yang tidak bersuara. Mulai dari presiden, wakil presiden, menteri koordinator, menteri, ketua DPR, politisi, media, semuanya bersuara memakai seluruh media yang tersedia. Bahkan, PTFI sendiri meski seperti diam,  transkrip yang mereka ungkap adalah amunisi ampuh memicu silang sengketa.

Namun, seluruh pesan yang disampaikan komunikator politik, tidak satu pun pesan yang bisa menjadi pegangan publik. Selain tidak jelas, antara satu pesan politik dan pesan politik lainnya berbenturan. Bahkan, benturan informasi berasal dari pemerintah sebagai sumber informasi utama.

Menurut UU Minerba, yang selama ini disebut-sebut menjadi pegangan, di sana tidak disebutkan adanya kontrak karya. Dari 38 poin yang ada dalam Bab 1, Pasal 1 tentang Ketentuan Umum, tidak satu pun menyinggung istilah kontrak karya. Ini bermakna kontrak karya tidak pernah menjadi alternatif pola kerja sama pengelolaan sumber daya mineral kita. Di sana hanya disebutkan adanya berbagai macam bentuk izin usaha pertambangan.

Tetapi, dalam perbincangan publik, baik politisi, eksekutif, maupun media memperkenalkan istilah renegosiasi kontrak karya atau perpanjangan kontrak karya. Istilah yang sama sekali tidak ada rujukannya dalam UU Minerba. Perdebatan makin bengkok ketika publik membicarakan layak tidaknya perpanjangan kontrak karya (KK).

Pada kesempatan lain, akhirnya pemerintah merevisi pernyataannya. Kantor Kementerian ESDM menyatakan, status Indonesia dengan PTFI bukanlah KK, melainkan izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Ada perbedaan prinsipil antara KK dan IUPK. Bila KK adalah keseteraan antara pemerintah dan PTFI, dalam IUPH pemerintah berada di atas karena dia adalah pemberi izin.
Ironisnya, meski hukum menempatkan pemerintah dalam posisi lebih tinggi, pemerintah justru menunjukkan sikap inferior di hadapan PTFI. Mestinya, pemerintah bisa mendiktekan aspirasi publik terhadap PTFI.

Ketika komunikasi politik dalam pemerintah suram, perdebatan di legislatif tidak menunjukkan titik terang. Ketimbang mengarahkan bagaimana seharusnya parlemen mengawal pelaksanaan UU Minerba, sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) hanya menjadi momentum saling gusur dan intrik politik antarkoalisi partai demi kursi pimpinan.

Tidak hanya sampai di sini, pola seperti ini pun berimbas ke publik. Residu pilpres yang belum hilang menjadikan publik warga partisan yang saling berhadapan ketimbang memosisikan diri sebagai warga negara yang bersatu.

McNair mengingatkan lima fungsi dasar komunikasi politik. Dua di antaranya adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat apa yang sedang terjadi serta mendidik masyarakat terhadap arti dan signifikansi fakta yang ada.

Mengutip Goran Hedebro, Changara menambahkan, fungsi komunikasi politik untuk memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan guna menghindari konflik dan ancaman berupa tindakan separatis yang mengancam persatuan nasional. Komunikasi politik juga akan menciptakan iklim perubahan dengan mengubah struktur kekuasaan melalui informasi untuk mencari dukungan masyarakat luas terhadap gerakan reformasi dan demokratisasi.

Inilah ironi komunikasi politik kita. Semua komunikator politik bersuara dan pesan politik berhamburan, tapi efek dan fungsi komunikasi politiknya tidak ada. Tidak ada informasi yang bisa didapat, apalagi sampai mendidik masyarakat akan arti dan signifikansi fakta yang ada. Ketimbang memberikan informasi pada masyarakat tentang bagaimana nasib PTFI di hadapan bangsa Indonesia, komunikasi politik yang ada lebih menjelaskan bagaimana nasib bangsa Indonesia di hadapan PTFI.

Karena itu, demi membentuk diskursus publik yang konstruktif dan mendorong iklim perubahan terhadap gerakan reformasi dan demokratisasi, pemerintah mesti memperbaiki dahulu pesan politik berkaitan dengan PTFI. Merujuk UU, maka IUP-lah yang menjadi pesan politik pemerintah. IUP inilah yang mesti disatukan di internal pemerintah sehingga tidak menimbulkan perdebatan antarpemerintah di publik.

Bila pesan politiknya IUP, pemerintah mesti berlaku sebagaimana layaknya pemberi izin. Berada di atas, bukan sejajar apalagi di bawah PTFI. Sebagaimana selama ini ditunjukkan pemerintah bila berhadapan dengan warganya sendiri.

Bila negara menyejajarkan diri dengan PTFI, negara mengulang kesalahan sama ketika negeri ini jatuh pada penjajahan. Yaitu, ketika raja-raja nusantara menyejajarkan dirinya dengan VOC membuat perjanjian dagang. VOC adalah kongsi dagang Belanda yang mempunyai lisensi membentuk pasukan sendiri. Kita tahu, setelah kerja sama dengan VOC inilah kekayaan alam kita dieksploitasi dan kita menjadi bangsa terjajah.(rol)
Alumni Fikom Unpad, Pemerhati Komunikasi Politik.