Realisasi APBD Masih Minim

Riau Masuk Lima Provinsi Terendah

Riau Masuk Lima Provinsi Terendah

BOGOR (HR)-Hingga saat ini, realisasi APBD Riau tahun 2015 belum menunjukkan tanda-tanda menggembirakan. Bahkan, Kementerian Dalam Negeri menyebutkan Riau masuk dalam lima provinsi di Tanah Air, yang realisasi APBD paling rendah. Penyerapan anggaran di lima provinsi tersebut, masih berada di bawah angka 30 persen.

Dari catatan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk Provinsi Riau, dari total ABPD sebesar Rp10,7 triliun, yang terserap baru sebanyak 25 persen. Begitu pula untuk Dana Alokasi Khusus (DAK) sebesar Rp70 miliar, sejauh ini belum terserap sama sekali.

Data tersebut, menurut Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri, Reydonnyzar Moenek, adalah berdasarkan perhitungan hingga akhir Juli lalu.  (selengkapnya lihat tabel, red)


Donny menjelaskan, ada sejumlah hal yang membuat penyerapan anggaran rendah. Salah satu yang paling mencolok adalah ketakutan para aparatur pemerintahan di daerah diseret ke ranah hukum saat melaksanakan suatu kebijakan.

"Kenapa Riau rendah? Karena tiga gubernur bermasalah semua dengan hukum. Secara psikologis bisa dipastikan mereka khawatir melakukan kebijakan," ujar pria yang akrab disapa Donny ini, usai rapat bersama Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Senin (22/8).

Selain Riau, kondisi serupa juga terjadi di Banten. Ratut Atut Chosiyah yang sebelumnya memimpin Banten tersandung kasus korupsi bantuan sosial hingga membuatnya menjadi narapidana. Posisi Atut kemudian digantikan oleh Rano Karno.

"Banten sekarang lihat tuh hanya 30,2 persen (peringkat tujuh terendah) Kenapa? Pasti takut kejadian seperti kemarin yang kena Atut," tambahnya.

Donny menambahkan, realisasi belanja APBD hingga Juli 2015 mencapai 36,74 persen. Daerah yang tercatat paling tinggi belanja anggarannya adalah Kalimantan Tengah dengan 56 persen.


Masalah Internal

Sementara itu, Plt Gubri Arsyadjuliandi Rachman, yang juga ikut dalam pertemuan itu menuturkan, masih rendahnya serapan APBD Riau disebabkan masalah internal. Salah satunya akibat pergantian seluruh kepala satuan kerja pada awal tahun kemarin.

"Karena baru selesai untuk pelantikan kepala dinas April, habis itu kita penunjukan KPA (Kuasa Pemegang Anggaran), sampai ke bawah organisasi pengguna anggaran," jelasnya.

Beberapa tender proyek yang tadinya sudah dimulai pada awal tahun, akhirnya tertunda. Menurutnya, uang muka untuk pelaksanaan proyek belum dicairkan sebanyak Rp 1,6 triliun. "Ada kontraktor sekitar Rp1,6 triliun yang belum cairkan uang muka," tambahnya.

Selain itu, para pemegang kuasa pengguna anggaran memang ada ketakutan akan dikriminalisasi untuk menjalankan program dan kegiatan. Meskipun hanya di beberapa kasus. "Mungkin kasus per kasus ya," tegasnya.

Untuk sisa waktu yang tinggal empat bulan hingga akhir tahun, Andi Rachman mengatakan pihaknya menggenjot penyerapan anggaran sampai dengan 80 persen. Sedangkan sisa dana yang belum bisa digunakan, akan disimpan di bank, baik daerah maupun nasional.
 

Susun Sanksi

Sementara itu, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pemerintah sedang menyusun sanksi bagi pemerintah daerah yang lambat menyerap dana transfer ke daerah. Sanksi ini disiapkan guna mempercepat penyerapan sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi.

Bambang mengatakan, pemberian sanksi ini merupakan instruksi langsung dari Presiden Joko Widodo.

Dia menjelaskan, setidaknya ada beberapa contoh sanksi yang sedang disiapkan. Pertama, pemerintah akan memberikan dana transfer ke daerah dari tunai menjadi nontunai ke dalam bentuk surat utang negara (SUN) bertenor tiga bulan bagi yang serapannya minim. "Tapi SUN itu tidak bisa diperdagangkan oleh Pemda," ujar Bambang.

Selain itu, ada juga sanksi berupa pemotongan, penghentian sementara penyaluran dana transfer ke daerah. "Nanti juga dibuatkan kriteria-kriteria Pemda seperti apa yang patut diberikan sanksi," terangnya lagi.,

Bambang mengatakan, upaya pemberian sanksi ini dilakukan menyusul besarnya dana menganggur milik pemda yang disimpan di bank sebesar Rp273 triliun per Juni 2015. Dana itu adalah dana transfer dari pemerintah pusat ke daerah yang seharusnya digunakan untuk keperluan pembangunan ataupun kepentingan masyarakat.

"Uang itu uang rakyat. Jadi jangan hanya diendapkan di bank. Harus segera disalurkan dan dimanfaatkan untuk rakyat," kata Bambang.

Dari Pekanbaru, Wakil Ketua I Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Riau, Alfiandri, membenarkan pernyataan Plt Gubri yang menyebut masih banyak kontraktor belum mencairkan uang muka proyek.

" Ada benarnya, tapi hanya berapa persen, dan berapa jumlah kontraktor serta berapa pula nilai proyeknya. Namun kami melihat dari kacamata LPJK yang terjadi justru karena infrastruktur yang tidak berjalan. Kalaupun berjalan, itu hanya sedikit sekali, karena banyak faktor yang menyebabkan, yang jelas sekarang ini adalah masalah hukum," ujarnya.

LKPJ melihat dibidang jasa konstruksi, masih ada kerancuan menerapkan regulasi. Secara hirarki hukum, kontrak adalah undang- undang dari yang menandatangani. Artinya dengan  kontrak menjadi acuan hukum untuk pekerjaan yang dikerjakan.

Sementara, praktik di lapangan ada hukum lain, ada hukum pidana, tipikor yang harus dijadikan acuan pemerintah. Sekarang muncul persoalan dilapangan, banyak kontraktor yang tiarap, karena tidak sanggup.

"Contoh kasus terjadinya dugaan menyimpang dari spek, menurut sisi hukum benar, tapi ada undang- undang lain dibidang konstruksi, yang perlu diperhatikan, yakni kontrak. Jadi sebenarnya undang- undang mana yang harus diikuti, sampai sekarang masih jadi persoalan dibidang jasa konstruksi. Ini juga menjadikan kontraktor tidak berani untuk mengambil proyek," kata Alfiandri. (bbs, her, dtf, kom, rol, mel)