Tergantung Selera

Tergantung Selera


Ketika ada yang “mengganggu tidur nyenyak” petinggi Polri, sepertinya penegakan hukum di negeri ini tergantung selera. Kalau  sebelumnya itu menghujam beberapa nama seperti Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Denny Indryana, dan Novel Baswedan. Hari ini pun kembali terulang. Dua komisioner Komisi Yudisial (KY), Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri yang dihujam.
Penetapan  Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri sebagai tersangka oleh Mabes Polri, memang pemberitaannya tidak seheboh ketika ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar ditetapkan sebagai tersangka. Padahal, bagi kalangan Hukum Tata Negara, penetapan tersangka terhadap ketua dan anggota KY ini bukanlah pemberitaan yang biasa-biasa saja, kendatipun dalam kasus yang berbeda dengan Akil Mochtar. Sebab KY ini mendapatkan kewenangan langsung dari UUD 1945. Kalau MA menghuni Pasal 24A, MK di dalam Pasal 24C, KY ini menghuni pasal antara MA dan MK, yaitu Pasal 24B UUD 1945.
Sulit Untuk Dibantah
Apa yang dialami oleh dua komisioner KY ini, sulit untuk tidak mengaitkannya dengan rekomendasi mereka kepada MA perihal skorsing terhadap Hakim Sarfin Rizaldi dalam kasus praperadilan salah seorang petinggi Polri Budi Gunawan yang hari ini menduduki posisi orang nomor dua di tubuh Polri.
Beberapa hari setelah keluar rekomendasi dari KY ini, Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri pun ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik terhadap Hakim Sarfin Rizaldi atas komentar-komentar mereka atas putusan hakim Sarfin Rizaldi. Sulit untuk dibantah bahwa menyentuh hakim Sarfin, menyentuh Budi Gunawan. Berarti “mengganggu tidurnya” Polri. Aduh, begitu mudahnya Polri menetapkan tersangka.
Penetapan tersangka ini patut disesalkan. Sebab komentar terhadap sebuah putusan hakim adalah sebuah keniscayaan. Yang tidak baik menjadi baik. Yang baik menjadi lebih baik. Terlebih lagi sebagai komisioner KY yang memberikan komentar atas pertanyaan-pertanyaan para media. Dan memang tugas mereka dalam rangka menjaga perilaku hakim.
Pasal 24B UUD 1945 meyebutkan bahwa: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
Dan lagi, terlalu mudahnya Polri menetapkan orang sebagai tersangka. Sebab komentar tehadap putusan hakim di lingkungan MA, bukanlah hal yang aneh. Putusan MK pun juga dikomentari orang. Terlebih lagi putusan MK belakangan ini, Putusan Nomor 33/PUU/XIII-2015 perihal dinasti poltik. Ada yabng mengatakan MK menyuburkan dinasti politik, MK melanggengkan politik dinasti. Banyak yang kecewa. Termasuk ketua MK periode 2003-2008, Jimly Asshiddiqie. Tapi walau bagaimanapun ya harus diterima.
Karena putusan MK diambil secara majelis, 9 orang hakim MK, maka imbasnya tentu tidak langsung ke individu-individu hakim MK. Namun langsung ke institusi MK itu sendiri. Banyaknya komentar negatif bukan berarti menghina hakim, tapi sebagai bentuk luapan ekspresi kekecewaan. Tentunya dalam batas kewajaran. Sadarilah bahwa yang menggaji hakim itu kan publik. Maka wajar kemudian kalau yang menggaji hakim itu kecewa dengan hakimnya bilamana tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya.
Harus diperhatikan juga, putusan MK berbeda halnya dengan putusan hakim Sarfin Rizaldi. Di mana putusan hakim Sarfin langsung bedampak ke dia. Sebab ketika praperadilan Budi Gunawan itu, hakimnya tidak majelis. Tapi hakim tunggal, yaitu hanya hakim Sarfin.
Untuk itu, seharusnya Polri lebih banyak berbenah diri. Mau mendengar masukan-masukan publik. Seperti halnya hakim, Polri juga digaji oleh publik. Tidak berbuat yang aneh-aneh lagi. Jangan ego.
Saya tidak mengatakan semua penyelidik dan penyidik Polri semuanya seperti itu. Tapi sayangnya ketika petinggi-petingginya yang bermain, citra anggota Polri yang lainpun ikut juga terseret.
Hentikan kriminalisasi. Berhukumlah dengan nurani. Jangan membungkus balas dendam ataupun memuaskan nafsu kekuasaan atas nama penegakan hukum. Terlebih lagi di bulan Ramadan ini. Ketika Ramadan saja tidak bisa mengubah kita, bagaimana pula dengan bulan-bulan yang lain. Petinggi Polri, “puasalah” untuk tidak mengkriminalisasi. Dan Pak Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri, semoga Allah menguatkan mereka. Semoga.***

(Oleh: Wira Atma Hajri, SH, MH)Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.