Ramadan, Instalasi Renungan

Ramadan, Instalasi Renungan


Dan orang-orang yang berpuasa, sebagaimana orang-orang yang mendirikan salat, zakat dan haji, pada hakikatnya sedang memperjuangkan keselamatan alam semesta dan kehidupan seluruh umat manusia.
Sejenak saja, beranjaklah ke depan cermin, tataplah wajahmu, badanmu, serta seluruh penampilanmu. Setidaknya satu yang patut disadari: bahwa potongan rambutmu, jenis dan warna pakaianmu, juga seluruh benda yang menempel di badanmu–semuanya–adalah sesuatu yang engkau pilih sesuai dengan kesenangan dan seleramu. Kemudian kalau masih sempat beranjak, pandangilah seluruh perabot-perabot, barang-barang, hiasan di setiap sudut rumahmu. Semuanya engkau pilih dan dibeli atas dasar kesenanganmu. Pertanyaannya, berapa besar peran kesenangan di dalam kehidupanmu? Dan akhirnya coba renungkan bagaimana sesungguhnya sikap batinmu, sikap pikiran dan jiwamu terhadap kesenangan dan ketidak-senangan.
Rasa Senang dan Tidak Senang
Maka Ramadan; sebuah renungan terhadap senang dan tidak senang, lalu mengantar kita kepada kenyataan tentang seberapa jauh kita terikat pada kesenangan pribadi serta seberapa jauh kita cenderung menolak ketidak-senangan hati. Apakah engkau menjadi guru, menjadi pedagang, menjadi petani karena engkau menyenanginya? Apakah engkau melakukan salat dan puasa karena engkau menyenanginya? Apakah Rasulullah Muhammad menjadi utusan terakhir Allah karena beliau menyenangi perannya? Apakah beliau menikahi janda perang yang tidak cantik dan tidak jelita itu karena menyenanginya?
Marilah bersama-sama kita menjawab pertanyaan: apakah kita melaksanakan kehidupan berdasarkan senang dan tidak senang, ataukah ada nilai lain yang lebih mendasar? Kalau kita digerakkan dan didorong oleh rasa senang dan tidak senang, kita adalah bayi. Bayi menangis, tertawa, mengambil apa saja yang dimainkan oleh tangannya, memakan apa saja, semata-mata didorong oleh kesenangannya. Untuk melakukan kesenangan kita tidak memerlukan kualitas atau mutu kepribadian apa pun. Kecuali ketika kesenangan itu memerlukan teknologi, ilmu dan bakat. Dan itu tidak memerlukan kerja mental.
Kegiatan puasa adalah sebuah metode dan disiplin agar kita melatih diri untuk melakukan apa yang pada dasarnya tidak kita senangi serta tidak melakukan apa yang pada dasarnya kita senangi. Sehingga puasa melatih bermental pejuang. Pada dasarnya kita tidak senang lapar dan menyenangi kenyang. Sebab dalam hidup ini ada yang lebih sejati sebagai nilai dibanding senang atau tidak senang. Ialah baik dan wajib. Kita melakukan sesuatu tidak terutama karena kita senang, tetapi karena hal itu baik, sehingga wajib kita lakukan. Jadi, letak kedewasaan dan kematangan kepribadian dalam Islam adalah kesanggupan untuk menjalani hidup tidak terutama atas dasar senang atau tidak senang, tetapi berdasarkan baik atau tidak baik, wajib atau tidak wajib.
Sebagai khalifatullah dan makhluk sosial, yang dibutuhkan dari kita terutama daya juang untuk sesama manusia, rela berkorban untuk orang lain, dan membela orang-orang tertindas. Sehingga kewajiban sosial semacam itu membawa kepada derajat yang lebih tinggi di mata Allah. Sebab sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain.
Maka, itulah manfaat puasa. Melatih untuk menjadi manusia yang mampu menaklukkan kesenangannya. Mampu lebih besar dan mengatasi kesenangannya. Mampu lapar dan haus. Mampu mengorbankan kesenangannya demi kewajiban dari Allah dan kebaikan bagi sesama manusia.
Rasa Memiliki
Memasuki bulan Ramadan, bulan yang mewah dalam kehidupan umat manusia. Bahkan juga mewah bagi Allah SWT sendiri. Sehingga terhadap ibadah puasa hamba-hamba-Nya di bulan Ramadan, Allah memendam rasa memiliki. Salat, zakat, haji itu untuk (kembali pahalanya kepada) manusia, tapi “puasa untuk-Ku!” firman-Nya. Maka momentum Ramadan sangat suci, bulan di mana para hamba membuktikan cinta terlapar dan terhaus kepada-Nya.
Kalau kita dari dahulu sampai kelak adalah sepenuhnya milik Allah dan sama sekali tidak pernah memiliki diri kita sendiri, mungkinkah kita bersungguh-sungguh untuk memiliki diri ini, alam ini, tanah dan air ini, harta dan tahta ini, rekening dan kekuasaan ini? Maka kata hak milik yang tertera dalam pasal-pasal hukum, dalam kehidupan sosial dan kebudayaan manusia pastilah sekadar anggapan subjektif. Bukan benar-benar milik. Menggunakan akal sehat sebelah mana sehingga aku dan engkau pernah merasa memiliki diri sendiri, sehingga kita merasa bebas melakukan semau kita?
Apakah kita memiliki alis dan rambut di kepala, sementara kita tak pernah ciptakan sehelai bulu pun? Marilah masuk ke arasy Ramadhan yang suci dan jernih. Ramadan bagaikan kolam suci yang Allah sengaja sucikan karena disediakan untuk proses penyucian jiwa. Setidaknya setahun sekali kita memerlukan hari demi hari perenungan untuk memperoleh kejernihan pikiran dan keteguhan hati. Kita sudah memasuki kesucian ini, belajar untuk tahu diri. Di mana sesunguhnya pada bulan Ramadan; seluruh hamba Allah diam-diam sedang melakukan proses penyembuhan atas sakitnya melakoni kehidupan di alam semesta ini.
Hanya Allah yang mampu mempunyai “rasa memiliki” terhadap manusia. Yang dengan setia Allah tetap menerbitkan matahari tanpa peduli apakah manusia mensyukuri atau tidak.
Doa dan harapan; Semoga dengan Ramadan tahun ini, ke-khusyuk-an dan perenungan pemimpin dan pejabat-pejabat Negara tidak punya rasa memiliki terhadap jabatan dan kekuasaanya, serta sadar akan hak dan kewajibannya. Sehingga pulau-pulau dan hutan-hutan tidak menjadi korban kekuasaan, dan kehidupan rakyat semakin harmonis-sejahtera menuju masyarakat Indonesia Baldatun toyyibatun warabbun ghafur. Amin.***

Oleh: Nada Indana Zulfa(Guru di Sekolah Dasar Islamic Natural School De Green Camp Tanjungpinang).