KPK (Di) Kalah (kan) Lagi

KPK (Di) Kalah (kan) Lagi

Patut disesalkan dan sungguh disayangkan putusan Hakim Siswandi yang mengabulkan gugatan praperadilan yang dilayangkan oleh Hadi Poernomo (HP) atas penetapannya sebagai tersangka oleh KPK. Di mana sang hakim melalui Putusan Nomor 36/Pid.Prap/2015/ PN.Jkt.Sel tersebut  menyoalkan status penyelidik dan penyidik KPK di dalam pertimbangan hukumnya. Bagi sang hakim, penyelidikan dan penyidikan atas HP adalah tidak sah. Sebab penyelidik dan penyidik yang diturunkan KPK untuk HP itu adalah tidak berasal dari Polri. Artinya, penyelidik dan penyidik mandiri yang diangkat langsung oleh KPK.
Sekilas, memang tidak ada soal pertimbangan hukum Hakim Siswandi mengatakan bahwa penyelidik dan penyidik itu mestilah berasal dari dari Polri. Pasal 1 Butir (1) dan (4) Undang-Undang (UU) 8/1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa, Butir (1), “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”, Butir (4), “Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan”.
Harus dipahami, membaca sebuah pasal atau ketentuan UU tidaklah sesederhana itu. Hanya melihat dari satu ketentuan belaka. Ketika penyelidik dan penyidik KPK yang bukan berasal dari Polri dapat dikatakan sebagai penyelidik dan penyidik yang tidak sah. Lihat juga aturan mengenai penyelidik dan penyidik di dalam UU KPK.
Di dalam Pasal 43 Ayat (1) UU 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, “Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”. Pasal 45 Ayat (1) meyebutkan bahwa, ”Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”.
Jadi secara kasat mata jelas berbeda definisi penyelidik dan penyidik di dalam UU 8/1981 dengan UU 30/2002. Karena penyelidik dan penyidiknya adalah bekerja di KPK, maka berlaku ketentuan UU 30/2002 yang mengatur tentang KPK. Bukankah di dalam Pasal 43 Ayat (1) KPK dapat mengangkat penyidik, termasuk penyidik mandiri?
Kendatipun demikian, bukan berarti ketika KPK punya UU sendiri, UU yang lain termasuk UU 8/1981 tidak berlaku bagi KPK. Ketentuan lain tetap berlaku, namun rujukan utamanya tetaplah UU 30/2002. Inilah yang dinamakan dengan asas lex specialis derogat legi generali, di mana di dalam menafsirkan sebuah ketentuan pasal hukum, aturan yang khusus menyampingkan aturan yang umum. Ketika ketentuan khusus tidak mengaturnya, maka yang menjadi rujukan adalah ketentuan umum.
Dalam kasus KPK versus HP ini, ketentuan khususnya itu adalah UU yang mengatur mengenai KPK, yaitu UU 30/2002. Sedangkan ketentuan umumnya adalah UU yang mengatur hukum acara pidana pada umumnya, yaitu UU 8/1981.
Pasal 39 Ayat (1) UU 30/2002 menegaskan bahwa, “Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini”. Karena UU 30/2002 mengatur hal yang lain perihal penyelidikan dan penyidikan, maka yang berlaku adalah UU 30/2002. Jadi bukan “hukum acara pidana yang berlaku”, UU 8/1981.
Sebagai perbandingan, contoh lain perihal  lex specialis derogat legi generali ini. Di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Pasal 18 Ayat (4) menyebutkan bahwa, “Gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Asal dipilih, baik melalui DPRD maupun rakyat secara langsung, maka itulah demokratis. Begitu juga dengan UU Pemda 2014 (dulu 2004) dan UU Pilkada 2014.
Nah, bagaimana dengan Yogyakarta? Bukankah gubernurnya diangkat secara turun-temurun? Bukankah gubernurnya tidak dipilih secara demokratis? Bukankah itu bertentangan dengan Pasal 18 (4) UUD 1945 dan UU Pemda 2014 dan UU Pilkada 2014?
Sekilas jawabannya adalah ya. Namun membaca sebuah pasal, kita tidak boleh terhenti pada pada Pasal 18 Ayat (4) tersebut.
Pasal 18 B Ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa, “Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang”. Berdasarkan UU 13/2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta adalah dikategorikan sebagai daerah istimewa. Pasal 18 Ayat (1) Hurup (c) UU 13/2012 disebutkan  bahwa, “Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi syarat: bertakhta sebagai Sultan Hamengku Buwono untuk calon Gubernur dan bertakhta sebagai Adipati Paku Alam untuk calon Wakil Gubernur”.
Jadi ketentuan umumnya itu untuk level konstitusi adalah Pasal 18 Ayat (4). Sedangkan ketentuan khususnya adalah Pasal 18 B Ayat (1) UUD 1945. Di level UU, ketentuan umumnya adalah UU Pemda. Sedangkan ketentuan khususnya adalah UU 13/2012.
Jadi ketika ketentuan pasal yang umum dan ketentuan pasal yang khusus sama-sama mengatur persoalan yang sama, maka yang berlaku adalah ketentuan pasal yang khusus. Ketika ketentuan pasal umum mengatur, sedangkan ketentuan khusus tidak mengatur, maka ketentuan umumlah yang diberlakukan.
Peninjauan Kembali
Di dalam kajian ilmu hukum juga dikenal asas hukum res judicata proveritate habetur, semua persoalan yang telah diputuskan hakim dianggap benar. Kendatipun demikian, bukan berarti asas ini diterima begitu saja. Apalagi ketika putusan hakim yang nyata-nyatanya berangkat dari argumentasi yang salah atau sengaja salah. Sebab sebelumnya sang hakim ini juga menyidangkan kasus Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum, namun sama sekali tidak membantah penyelidik dan penyidik mandiri KPK itu. Untuk itu tepat kalau kemudian KPK melakukan “perlawanan”.
Karena putusan praperadilan itu adalah putusan berkekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijs), maka tidak bisa dilakukan upaya hukum banding maupun kasasi sebagaimana yang diutarakan di dalam Pasal 83 UU 8/1981 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (MA) 8/2011 tentang Perkara Yang Tidak Memenuhi Syarat Permohonan Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum yang ditempuh adalah PK ke MA.
Pasal 24 Ayat (1) UU 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang”. Salam anti pelemahan pemberantasan korupsi.***
 Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Riau

(Oleh: Wira Atma Hajri)