IKN Sebagai Ibu Kota Politik 2028, Prof Djo: Antara Ambisi dan Realitas Anggaran
RIAUMANDIRI.CO – Presiden Prabowo Subianto menetapkan Ibu Kota Nusantara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, sebagai Ibu Kota Politik pada tahun 2028. Ketetapan ini dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2025 yang diundangkan pada 30 Juni 2025.
Salah satu syarat utama dalam Perpres tersebut adalah pembangunan Kawasan Inti Pusat Pemerintahan (KIPP) yang mencakup area seluas 800 hingga 850 hektare. "Namun, apakah target ambisius ini realistis diwujudkan?" kata Guru Besar IPDN sekaligus pakar otonomi daerah Prof. Dr. Djohermansyah Djohan kepada media ini, Sabtu (20/9/2025).
Menurut Prof. Djohermansyah, istilah Ibu Kota Politik sejatinya identik dengan Ibu Kota Negara. Keduanya sama-sama merujuk pada pusat pemerintahan yang menaungi presiden, para menteri, lembaga legislatif, yudikatif, dan badan-badan pemerintahan lain.
“Kalau saya membacanya, Ibu Kota Politik itu sama saja dengan pusat pemerintahan. Di sanalah presiden dan para pembantunya berkantor, DPR, DPD, MPR, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, serta lembaga-lembaga negara lainnya,” jelas Djohermansyah.
Ia mencontohkan Putrajaya di Malaysia yang menjadi pusat pemerintahan, sementara Kuala Lumpur tetap menjadi pusat ekonomi. Demikian pula Washington DC di Amerika Serikat atau Canberra di Australia, yang sepenuhnya berfungsi sebagai pusat politik dan administrasi negara.
2026 Jadi Tahun Penentu
Meski konsep Ibu Kota Politik jelas, Djohermansyah menyoroti aspek paling krusial, yaitu ketersediaan anggaran. “Kalau targetnya 2028, berarti tahun 2026 harus sudah ada alokasi anggaran yang jelas. Tahun 2027 pembangunan berlanjut, dan pada 2028 harus sudah siap pindah. Persoalannya, APBN kita saat ini sudah berat, bahkan sampai harus mengurangi transfer ke daerah (TKD),” ungkapnya.
Hingga kini, pembangunan KIPP baru mencapai sekitar 20% untuk gedung perkantoran, dan hunian ASN sekitar 50%. Padahal, kebutuhan pembangunan sangat besar, termasuk kantor DPR, MPR, DPD, dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya.
“Kalau kita bedah APBN 2026, harus terlihat jelas berapa alokasi untuk IKN. Sekarang baru sekitar Rp100 triliun dan itu pun baru menyelesaikan sebagian kecil. Janjinya dulu 80 persen dari investor swasta, tapi mana realisasinya? Hampir tidak ada,” tegasnya.
Risiko “Political Statement”
Prof. Djohermansyah juga menilai penetapan 2028 sebagai tahun resmi IKN menjadi Ibu Kota Politik bisa jadi hanya bersifat pernyataan politik semata.
“Saya agak meragukan target itu realistis. Bisa saja Perpres ini diterbitkan hanya untuk menunjukkan bahwa pembangunan IKN tidak mangkrak. Kalau mangkrak, itu bisa jadi temuan BPK dan menimbulkan masalah hukum bagi pemerintahan sebelumnya,” ujarnya.
Selain persoalan anggaran, jarak antara Jakarta dan IKN juga menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Salah satunya terkait akses masyarakat dalam menyampaikan aspirasi politik.
“Kalau DPR dipindah ke IKN, bagaimana rakyat bisa melakukan demonstrasi? Masa harus jauh-jauh ke Kalimantan Timur? Itu bentuk keresahan publik yang perlu dipikirkan,” tambahnya.
Prof. Djohermansyah menegaskan, sebuah Ibu Kota Politik harus ditopang oleh sarana dan prasarana yang lengkap serta ekosistem kota yang matang. Termasuk pula penyiapan pemindahan sekitar 1 juta ASN beserta keluarganya dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
“Ini bukan hanya soal kantor, tapi juga tempat tinggal, fasilitas sosial, pendidikan, kesehatan, sampai gaya hidup masyarakat yang akan terbentuk di sana,” katanya.
Perlu Roadmap yang Jelas
Prof. Djohermansyah menekankan perlunya roadmap yang transparan, apa yang akan dibangun pada 2026, bagaimana kelanjutan di 2027, dan bagaimana target pemindahan di 2028 benar-benar bisa terlaksana.
“Jangan sampai hanya sekadar dokumen politik. Otorita IKN harus menjawab dengan rencana yang jelas, berapa anggaran yang tersedia, apa yang akan diselesaikan, dan bagaimana mekanisme pemindahan ASN dalam skala besar. Kalau tidak, 2028 hanya akan menjadi jargon, bukan realitas,” tutupnya. (*)