Peringatan Hardiknas Ke-65, Abdul Fikri Soroti Kontroversi Dunia Pendidikan

Peringatan Hardiknas Ke-65, Abdul Fikri Soroti Kontroversi Dunia Pendidikan

RIAUMANDIRI.CO - Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyoroti maraknya kegelisahan di masyarakat sebagai dampak kebijakan di dunia pendidikan dalam beberapa waktu terakhir.  

“Momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional ke-65 saat ini harusnya menjadi bahan evaluasi Kemendikbudristek, khususnya dalam menyikapi kontroversi yang muncul,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (2/5/2024).

Salah satunya adalah soal penerapan Kurikulum Merdeka sebagai kurikulum resmi nasional, yang tertuang dalam Permendikbudristek nomor 12 tahun 2024. Kurikulum Merdeka diklaim lebih unggul daripada Kurikulum 2013, dan Kurikulum 2013 yang disempurnakan (2015), kendati Kurikulum Merdeka merupakan modifikasi dari kurikulum darurat yang diluncurkan selama pandemi Covid-19 pada tahun ajaran 2020/2021.  

“Beberapa pakar menilai, Kurikulum Merdeka belum layak dijadikan kurikulum nasional, karena belum dilengkapi dengan naskah akademik yang memuat filosofi pendidikan dan kerangka konseptual yang menjadi dasar pemikiran kurikulum merdeka,” imbuh politisi PKS ini.

Sehingga, kurikulum merdeka belum teruji secara akademis menjadi solusi atas hilangnya pembelajaran (learning loss) selama pandemi Covid-19.  “Lalu perlu dievaluasi apakah daerah secara merata mampu dan siap melaksanakan kurikulum baru ini?,” tanyanya.

Kendati demikian, Hasil PISA (Programme for International Student Assessment) tahun 2022 diklaim sebagai kesuksesan Kemendikbudristek menerapkan kurikulum darurat selama pandemi covid-19. Peringkat PISA Indonesia tahun 2022 naik 5 hingga 6 peringkat dibanding hasil PISA 2018 lalu.

“Namun, fakta lain menyebutkan skor PISA Indonesia tahun 2022 di bidang literasi membaca, matematika, dan sains juga menurun dibanding tahun 2018, jadi sudut pandang kesuksesan PISA relatif dilihat dari mana,” sela Fikri.

Nuansa penerapan kurikulum baru ikut diramaikan narasi di media sosial soal kewajiban seragam baru bagi siswa sekolah dasar hingga menengah. “Padahal ini akibat kurang sosialisasi. Sebenarnya aturan seragam masih seperti yang lama sesuai Permendikbudristek 50 tahun 2022,” kata Fikri.

Masih terkait Kurikulum Merdeka, munculnya narasi penghapusan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah menimbulkan polemik. Kendati, Kemendikbudristek membantah hal itu, dan menegaskan ekskul Pramuka tetap disediakan sekolah, hanya kepesertaannya menjadi sukarela bagi siswa.  

Fikri tetap menyayangkan hal itu, karena Pramuka berkontribusi positif untuk mengembangkan pendidikan karakter bangsa.   “Secara historis, pramuka berperan besar dalam perjalanan bangsa sejak era kemerdekaan,” tegasnya.

Isu kesejahteraan profesi pendidik, seperti guru, dosen, dan tenaga kependidikan tak luput menjadi komplain di masyarakat. “Dua Isu, yakni kejelasan status sebagai ASN-PPPK dan juga kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan senantiasa menemani hari-hari kami sebagai legislator,” ungkapnya.

Ironisnya, Fikri mengaitkan kesejahteraan guru dan dosen dengan kemampuan menyekolahkan anak-anaknya di jenjang perguruan tinggi. “Sebagai pahlawan pendidikan, mereka dihadapkan pada inflasi pendidikan tinggi yang sangat besar, biaya UKT berlipat ganda seiring waktu,” urainya.

Contoh terbaru adalah soal kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Universitas Jenderal Soedirman (UnSoed) yang isunya melonjak hingga 100 persen, imbas penerapan Permendikbudristek Nomor 25 Tahun 2020 Tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri di Lingkungan Kemendikbud.   “Pada akhirnya Unsoed meralat keputusannya, setelah didemo masyarakat,” ujar Fikri.

Masih terkait biaya pendidikan tinggi yang kian tak terjangkau, Fikri menyoroti soal kerja sama provider pinjaman online (pinjol) dengan ITB. “Meski terlihat sebagai solusi pintas, namun pembayaran UKT melalui pinjol ini cenderung merugikan karena bunganya terlampau besar,” ujarnya.

Solusi yang paling tepat adalah mengatasi kesenjangan antara kebutuhan operasional perguruan tinggi negeri dengan pendapatan PTN, khususnya di luar APBN.   “Sumber-sumber pendanaan PTN ini sebisa mungkin via kerja sama sponsor ketimbang membebani biaya pada mahasiswa, dan itu tanggung jawab pemerintah sebagai pengampu PTN di Indonesia sesuai amanat undang-undang,” katanya.

Entah berhubungan atau tidak, FIkri menyinggung fenomena pinjol ilegal yang banyak menjerat para guru. Menurut data OJK, 43 persen korban pinjol ilegal adalah guru, sungguh memprihatinkan.

Ia mendesak pemerintah untuk memberi solusi komprehensif untuk meningkatkan kesejahteraan guru, termasuk memberi keleluasaan kepada kalangan guru untuk dapat mengakses pembiayaan jangka pendek yang legal, ringan, dan mudah. (*)