Anggota DPR Minta Penanganan Udara Buruk Disesuaikan dengan Kondisi Daerah

Anggota DPR Minta Penanganan Udara Buruk Disesuaikan dengan Kondisi Daerah

RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR Sartono Hutomo mengatakan, kualitas udara buruk saat ini bukan hanya terjadi di Jakarta, namun telah menyebar di berbagai daerah di Indonesia. Penanganan harus dilakukan Pemerintah sesuai dengan kondisi daerah masing-masing.

"Saya sangat prihatin terkait polusi udara saat ini. Tentunya ini menjadi pekerjaan yang harus cepat diatasi, karena menyangkut kesehatan manusia,” kata Sartono dalam rilis yang diterbitkan Biro Pemberitaan Parlemen DPR RI, Jumat (18/8/2023).

Menurut dia, berdasarkan situs pemantau udara IQAir, Selasa 16 Agustus 2023, urutan kota atau kabupaten paling berpolusi adalah Kalimantan Barat dengan kadar Particulate Matter (PM) 2,5 sebesar 191 ug/m3. Kemudian Tangerang Selatan (156 ug/m3), Kota Serang (150 ug/m3), Kota Tangerang (134 ug/m3), Jambi (119 ug/m3), Bandung (111 ug/m3), dan urutan ke tujuh Jakarta (109 ug/m3).

Dikatakannya, pemerintah sudah seharusnya memberi perhatian pada penanganan polusi ini karena sudah begitu menyebar ke berbagai wilayah dan sangat berdampak terhadap kesehatan masyarakat.

"Sudah menyebar di berbagai daerah. Jadi penanganan harus disesuaikan dengan masing-masing daerah. Dalam artian prioritasnya, jadi memang harus dipetakan,” kata legislator di komisi yang membidangi energi dan perindustrian itu.

Sartono juga meminta agar persoalan polusi dan lingkungan menjadi perhatian serius. Jika tidak, persoalan serupa akan terus terjadi di waktu yang akan datang.

Menurut dia, yang juga harus diperhatikan adalah beberapa sektor yang berkontribusi cukup besar pada persoalan polusi, di antaranya industri, PLTU, transportasi, kehutanan, dan lain-lain.

Semua sektor tersebut, harus meng-upgrade teknologi yang pro udara bersih, sehingga bisa meminimalisasi tingkat polusi. “Misalnya PLTU, juga harus sering meng-upgrade alat atau teknologi dengan perkembangan saat ini,” lanjutnya.

Dalam kaitan itu Sartono berpendapat, standardisasi teknologi memang bisa menjadi tolok ukur untuk mengatasi pencemaran,  termasuk juga pemberian izin pengelolaan yang harus memenuhi syarat ramah lingkungan.

“Harus ada pembinaan yang dilakukan sehingga perusahaan pembangkit lebih taat, hasil output/limbah udara yang dikeluarkan oleh PLTU juga harus sesuai regulasi standar Kementerian Lingkungan Hidup dan juga Kementerian ESDM sehingga bisa menekan tingkat polusi,” kata dia. (*)