Fahri Hamzah: Pejabat Jangan Terlalu Dangkal Sikapi Kritikan Oposisi

Fahri Hamzah: Pejabat Jangan Terlalu Dangkal Sikapi Kritikan Oposisi

RIAUMANDIRI.CO - Wakil Ketua Umum DPN Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah meminta semua pihak, khususnya di lingkaran kekuasaan agar jangan terlalu dangkal meyikapi dan menanggapi kritik yang disampakan oposisi.

“Presiden Jokowi sendiri menjawab enteng (setiap kritikan yang diarahkan ke dirinya), dengan mengatakan, ‘itu soal kecil!’ Terus kenapa yang lain menganggap besar? Aneh?” kata Fahri Hamzah melalui keterangan tertulisnya, Ahad (6/8/2023).

Hal tersebut disampaikan Fahri Hamzah, terkait kritik yang dilontarkan akademisi yang juga pengamat politik Rocky Gerung ke (Presiden) Joko Widodo beberapa waktu lalu.

Karenanya lanjut Fahri Hamzah, aneh kalau ada pejabat publik yang seharusnya menjadi jubir pemerintah menjawab kritik, malah mengambil pribadi kritik sebagai penghinaan, lalu melaporkan ke polisi.

“Lah, sampeyan digaji sebagai pejabat negara malah kerja melayani sentimen pribadi. Nggak paham mana wilayah pribadi dan mana publik,” sindir mantan Wakil Ketua DPR RI Periode 2014/2019 ini.

Menurut Fahri, ini termasuk bagian yang sulit dilakukan karena secara umum orang tidak bisa membuat perbedaan dan cenderung mencampuradukan. Padahal, ada beda kritik dengan laporan penghinaan kepada pejabat publik.

“Kalau kritik Itu harus dijawab dengan jawaban. Itu tugas mereka sebagai pejabat. Sementara penghinaan nggak usah dibesar-besarkan sesuai permintaan yang dianggap terhina,” ujar calon legislatif (Caleg) dari Partai Gelora Indonesia untuk Dapil Nusa Tenggara Barat I itu lagi.

Ia sendiri melihat beberapa kritik yang diajukan kepada pemerintah tidak terlalu kuat argumennya. Karena sebenarnya membantah kritik itu dapat menciptakan suasana yang lebih mendidik bangsa ini, daripada membelokan dalam pasal-pasal penghinaan dan pencemaran.

Dicontohkan Fahr, kritik tentang proyek infrastruktur misalnya, jika tidak memiliki data-data dan keahlian yang memadai, maka kritik kepada program pembangunan infrastruktur itu bisa akan sangat mudah dibantah. Kecuali kalau yang memberikan kritik memiliki data yang lebih akurat yang membuat argumen yang lebih kuat.

Termasuk kritik tentang Ibu Kota Negara (IKN) misalnya, juga tidak bisa hanya sekedar mempertimbangkan argumen teknis (lahan, lokasi, biaya, waktu dll), karena perpindahan Ibukota bukanlah perpindahan biasa tapi mengandung argumen-argumen historis, filosofis dan strategis yang seharusnya di jurubicarai oleh para pejabat pemerintahan.

“Saya pernah membela pendirian IKN, tapi juga pernah mengeritik nya yang menurut saya sekarang kedua-duanya dapat diletakkan dalam satu argumen yang solid bahwa bangsa Indonesia memerlukan monumen perpindahan dari abad pertama ke abad kedua. Itulah IKN,” katanya.

Begitu pula terkait kritik terhadap investasi asing dan lain lainnya, yang menurut dia sudah pernah terjadi di negara Indonesia. Bahkan pada masa Orde Baru pernah menjadi pemicu munculnya peristiwa kerusuhan yang disebut Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari atau Malari), adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

“Tetapi faktanya sekarang, sedang ada pertarungan antara pemain ekonomi lama yang disebut sebagai kapitalisme lama dengan pemain baru yang kita sebut sebagai kapitalis baru yang dipimpin oleh negara Tiongkok yang menawarkan investasi yang lebih gampang dan mudah serta transfer teknologi yang terbukti dianggap lebih baik,” sebut Fahri.

Sehingga ketika presiden memilih mitra investasi untuk berbagai proyek besar tentu mempertimbangkan juga kemudahan-kemudahan dalam realisasi dan tindak lanjut dari pada investasi itu.

“Argumen ini cukup kuat selain harus memikirkan efek-efek strategis dan politik serta geopolitik dari  sebuah pemilihan mitra ekonomi negara,” demikian Fahri Hamzah. (*)



Tags Politik