Semua Dilakukan demi Mengejar PAD
TERIAKAN pelaku usaha terkait banyaknya peraturan daerah (perda) yang ujung-ujungnya memperbanyak pungutan, retribusi, dan pajak daerah bukan baru-baru ini saja terdengar. Namun, teriakan itu akhirnya berhenti pada jawaban: Semuanya demi mengejar PAD!
Pendapatan Asli Daerah (PAD) selalu menjadi alasan semua pemerintah daerah, baik kabupaten atau kota, saat ditanya pemerintah pusat, mengapa begitu banyak menerbitkan perda yang berujung pada segala macam pungutan. Dengan dalih untuk mengejar target penerimaan PAD, berbagai pungutan "aneh-aneh" pun menjadi sah dan wajar bagi pemerintah daerah.
Semuanya berawal dari diberlakukannya Undang-Undang No 22/199 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Tujuannya desentralisasi pemerintahan ini semula adalah mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat agar bisa lebih cepat, efektif, dan efisien. Sebagai tujuan akhir, tentunya diharapkan akan tercapai percepatan pertumbuhan ekonomi, sehingga kesejahteraan masyarakat di daerah pun bisa meningkat.
Apa daya, setelah otonomi daerah justru setiap pemda berlomba-lomba untuk mencapai PAD yang setinggi-tingginya. Mereka melakukannya upaya itu dengan alasan untuk memperkuat basis keuangannya. Tindakan itu dilakukan karena tidak bisa lagi berharap sepenuhnya pada anggaran dari pemerintah pusat.
Seperti diketahui, konsekuensi dari otonomi daerah adalah pemda harus membiayai pemerintahannya dengan dana sendiri, yang bertumpu pada PAD. Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat lebih banyak digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin. Sementara pembangunan daerah justru terhambat karena anggarannya sangat kecil, dan harus dicari dengan cara memperbesar PAD.
Kondisi baru seperti itu sama sekali bukan masalah bagi daerah yang memiliki kekayaan alam melimpah. Dari hasil kekayaan alam seperti migas, hasil produksi pertanian, perkebunan, dan bahan tambang atau galian lainnya, daerah itu akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Bahkan, beberapa daerah justru memperoleh pendapatan yang lebih besar dari hasil alamnya. Hal ini dibandingkan saat masih menggantungkan hidup pada pemerintah pusat. Namun, bagaimana dengan daerah lain yang secara geografis dan ekonomis kurang diuntungkan dengan otonomi daerah? Jawabnya satu intensifikasi pajak daerah, serta berbagai pungutan dan retribusinya.
Oleh sebab itu, menurut penelitian SMERU Research Institute, Jakarta, besarnya target PAD yang ditetapkan oleh pemda umumnya berbanding terbalik dengan DAU yang diterimanya. Sebab, defisit anggaran belanja pemda murni harus ditutup dengan PAD.
Semakin kecil DAU yang diterima suatu daerah, semakin besar target PAD yang harus dikejar. Alhasil, pemda setempat menjadi begitu kreatif untuk menjadikan apa saja sebagai mesin pencetak uang. Mereka seolah berburu binatang di kebun binatang. Untuk itu tentu saja, mereka terlebih dahulu menerbitkan perda sebagai payung hukum.
Tidak heran, jika sejak diberlakukannya otonomi daerah, ribuan perda tiba-tiba bermunculan bak jamur di musim penghujan. Semua itu dibuat dengan motivasi tunggal, demi mengejar target PAD!
Ada banyak sekali contoh perda untuk memungut pajak daerah, yang sangat meresahkan pelaku usaha. Antara lain, adalah pajak diesel yang diberlakukan di Jawa Timur, di mana setiap diesel atau sumber energi listrik di luar PLN, dikenai pajak.
Ada pula pajak pemotongan hewan yang diberlakukan di Kabupaten Sidoarjo. Untuk setiap ekor ayam yang dipotong oleh peternak, dikenai pajak sebesar Rp 25-40. Produk pertanian dan perkebunan pun tak lepas dari jeratan pajak daerah. Setiap butir kelapa yang dijual di Sumatera Utara,
Sulawesi Utara, dan Jawa Timur dikenai pajak sebesar dua persen dari nilai jualnya. Dan masih banyak lagi pajak-pajak serupa, yang semuanya berbuntut pada semakin rendahnya posisi tawar petani, peternak, dan orang-orang kecil lainnya.
Kemunculan ribuan perda dari seluruh Nusantara yang memusingkan ini tak urung membuat semua orang keheranan, di mana letak pengawasan pemerintah pusat atau DPRD setempat akan hal ini. Namun ternyata, menurut Direktur Eksekutif KPPOD P Agung Pambudhi, kemunculan perda-perda aneh bin ajaib itu justru tak lepas dari ulah nakal DPRD setempat.
Menurut Agung, praktik pemerasan terselubung perda pungutan tersebut justru demi kepentingan anggota Dewan yang terhormat. Sebab, gaji anggota DPRD diperhitungkan dengan persentase dari PAD setempat.
"Sebagai pihak yang punya kepentingan terhadap besarnya PAD yang diterima, tentu saja DPRD diam saja ketika eksekutif membuat perda yang dapat menggelembungkan PAD. Toh nanti kalau PAD-nya besar, gaji mereka ikut besar," kata Agung prihatin.
Padahal, motivasi untuk mengejar PAD itu justru membuat investor takut. Kalau sudah begitu, maka cita-cita luhur otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat pun tak kesampaian. Mana ada pertumbuhan perekonomian bisa terjadi tanpa ada investor yang masuk?***