Agama untuk Membangun Moralitas

Sabtu, 18 Februari 2017 - 07:31 WIB

(riaumandiri.co)-”Jika kita percaya kepada Tuhan, tidak hanya dengan kepandaian kita, tetapi dengan seluruh diri kita, maka kita akan mencintai seluruh umat manusia tanpa membedakan ras atau kelas, bangsa ataupun agama, kita akan bekerja untuk kesatuan umat manusia” Menurut saya, apa yang dikatakan Gandi diatas merupakan kalimat yang tepat untuk memulai tulisan sederhana ini, mengingat negara Indonesia yang saat ini tengah dilanda fenomena intoleransi. Kaum mayoritas seolah mendeskriminasi kaum minoritas. Dan ini tentu berseberangan dengan sejarah negara Indonesia yang berdiri diatas dasar nilai-nilai kemajemukan dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika”.

Gandi memberikan pandangan bahwa setiap manusia itu bersaudara, kulit putih atau kulit berwarna, manusia itu tetaplah bersaudara, dan tujuan dari adanya agama adalah untuk membangun moralitas. Disinilah letak permasalahan yang tengah dialami Indonesia saat ini, masalah agama menjadi sentimen yang mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan, mengancam kebhinekaan dan melumuti setiap sendi-sendi pancasila.

Kaum agama saling berbenturan, bahkan tidak jarang pula saling hina dan saling menebar kebencian terhadap orang-orang yang beda agama. Bahkan pula, seagama pun saling hina dan saling merendahkan. Tudingan “sesat, kafir, komunis, sosialis, dadjal” begitu mudah terlontar dari sesama manusia, bahkan dari saudara seagama.

Bahaya Fanatik
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, “fanatik” memiliki arti “teramat kuat kepercayaannya (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama, dan sebagainya), sementara dalam bahasa Arab disebut dengan “Ta’ashub” adalah anggapan yang diiringi sikap yang paling benar dan membelanya dengan membabi buta. Sikap fanatik atau yang disebut juga dengan fanatisme dapat memunculkan berbagai dampak negatif yang memberi kerugian terhadap kepentingan umum. Sebab fanatik dapat menyebabkan seseorang yang meyakininya memejamkan mata dari argumen yang kuat dan berpegang dengan argumen yang rapuh.

Dan inilah yang tengah terjadi di Indonesia saat ini, golongan fanatik ini seolah bermekaran tanpa ada yang mempu meluruskan. Apapun yang dikatakan oleh orang yang mereka ikuti, mereka akan menurutinya tanpa terlebih dahulu mentelaah kebenaran apa yang dikatakan.

Bahkan hal ini telah menimbulkan polemik yang mengancam kebinekaan dan nilai-nilai kesatuan negara Indonesia. Beda agama sudah pasti akan saling hina, seagama pun juga akan saling hina. Sehingga pada akhirnya, agama bagi orang-orang fanatik hanya akan dijadikan alat untuk melegalkan SARA.

Konflik Keagamaan
Benturan antar keyakinan seolah menjadi polemik berkepanjangan yang tidak kunjung teratasi. Seolah tidak ada jalan lain lagi, kecuali saling lempar dan mengumbar kebencian. Mulai dari pidato keagamaan, pidato politik dan media sosial.

Saat pidato keagamaan, tidak jarang seorang penceramah mendeskriminasi agama lain. Namun ini dapat lah diterima, sebab dilakukan di tempat-tempat suci agama tersebut. Kemudian pidato politik yang tidak jarang mengedepankan SARA sewaktu kampanye. Hal ini tentu menyebabkan deskriminasi terhadap kaum minoritas.

Dan yang terakhir, mengumbar kebencian melalui media sosial. Begitu banyak kita jumpai akun-akun media sosial yang di dalamnya berisi ujaran kebencian terhadap golongan tertentu. Mendeskreditkan kaum minoritas dan mengampanyekan agar oran-orang membencinya. Bagi yang berbeda pandangan, siap-siap saja di benci dan diangap “sesat, Syi’ah, kafir, komunis, atau sosialis”.

Bila kita merujuk kepada konsep agama-agama besar dalam membangun kasih sayang sesama manusia, maka tidak satu pun agama yang kita temukan memerintahkan manusia untuk saling membenci satu dengan yang lainnya. Lalu, mengapa kini masalah keyakinan selalu dijadikan alasan untuk menciptakan pertikaian.

Konsep “Bhineka Tunggal Ika” seolah sirna karena keegoisan sekelompok orang yang menghujat dan menyuarakan kebencian dengan membabi buta. Kini, perbedaan tidak lagi menjadi perekat kehidupan berbangsa, namun merupakan nilai yang melatar belakangi sebuah perpecahan.

Hal ini tentu menjadi masalah bersama, dan harus dicerdasi secara bersama pula. Sebab konflik yang disebabkan masalah keyakinan bisa jadi terus menghantui bangsa Indonesia. Hal ini tentu berlawanan dengan sejarah bangsa yang memiliki nenek moyang bangsa beradap dan menghargai perbedaan.

Belajar dari Yamin
Dalam sejarahnya, bangsa Indonesia memiliki sosok Muhammad Yamain, seorang bapak republik yang senantiasa menghormati dan menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme di Indonesia. Gagasan kebhinekaan yang dimiliki Muhammad Yamin dapat kita temui dengan mudah dalam catatan sejarah bangsa.

Mulai dari gagasan dalam merumuskan dasar negara Indonesia, hingga ketegasannya dalam menolak dan menentang PRRI. Sikap yamin yang memusuhi PRRI yang terjadi di kampung halamannya, yaitu Sumatera Barat. Ini merupakan cerminan kecintaanya terhadap Indonesia, dan tentunya merupakan perwujudan dari rasa keindonesian.

Yamin yang kecil di kota tambang Sawah Lunto memang sudah hidup dalam keberagaman sejak kecil. Sebab di kota ini hidup berbagai suku, agama dan ras semenjak belanda mengekpolitasi sumber daya alam yang terdapat di daerah ini. Hal inilah yang menjadi salah satu latar belakang mengapa yamin begitu mencintai kemajemukan, sebab hidup dalam keberagaman itu sangatlah indah. Saling menghargai dan saling membesarkan satu sama lain.

Kekayaan Bangsa
Kehidupan yang majemuk merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tidak ternilai. Dalam keberagaman itu, kita tumbuh dan berkembang menuju negara yang besar dalam upaya mewujudkan cita-cita kesejahteraan bersama.

Namun, bila dalam keberagaman itu selalu saja terjadi konflik, tentu akan menghambat tujuan bersama yang di cita-citakan. Terlebih dalam situasi seperti sekarang, kita justru semakin terbawa arus perpecahan. Bahkan Pancaslia yang telah mengamanahkan nilai-nilai kehidupan bernegara cenderung terabaikan.

Sebagaimana yang terdapat pada sila ke-2 dan ke-3, yang merupakan dasar utama untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang berkeadilan, beradap dan saling menghargai. Dapat pula kita simpulkan bahwa setiap perbedaan yang ada itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan bangsa Indonesia, walaupun berbeda-beda, kita tetap satu dan saling menghormati.

Untuk itu, marilah kita bersama-sama merawat dan menjaga tali silahturahmi antar agama demi kelangsungan kehidupan bernegara yang damai. Kunci untuk menjaga kehidupan yang majemuk dari konflik adalah penyinergian antara pondasi spritual, pendidikan, dan penyelenggaraan poltik yang baik dari penguasa.

Bila pondasi spiritual dan pendidikan ditanamkan dengan baik, maka konflik-konflik yang berlandaskan keyakinan atau agama tentu dapat pula di minimalisir, sebab masyarakat yang cerdas tidak akan terjebak dalam permainan politik yang mengatasnamakan agama. Kesadaran beragama pun harus dibangun dengan cinta dan kasih sayang, sebab tujuan dari beragama adalah untuk membangun moralitas dan menjadi pemersatu umat manusia.

Penulis Anggota Penuh Unit Kegiatan Mahasiswa Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas
 

Editor:

Terkini

Terpopuler