Satu Demi Satu Mundur dari Mahkamah Pidana Internasional

Rabu, 18 Januari 2017 - 07:27 WIB

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) menghadapi tantangan paling serius baru-baru ini. Empat negara Afrika yakni Gambia, Afrika Selatan, Burundi dan Kenya telah mengumumkan niat mereka menarik keanggotaannya dari mahkamah itu.

ICC yang belakangan dipandang negara-negara di benua itu sebagai alat politik kekuatan-kekuatan dunia mulai berfungsi pada 1 Juli 2002, tanggal Statuta Roma diberlakukan. Statuta Roma adalah perjanjian multilateral yang merupakan dokumen ICC sebagai dasar untuk melakukan kegiatannya. Negara-negara yang meratifikasi Statuta Roma otomatis menjadi anggota ICC.

Banyaknya tuntutan akan keadilan bagi kejahatan yang luar biasa kejam (heinous crime), seperti genosida (genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes) yang telah menimbulkan korban manusia yang sangat besar menjadi latar belakang pembentukan ICC.

Kejahatan-kejahatan ini sering terjadi dan dilakukan oleh para rezim penindas dan otoriter di berbagai belahan dunia antara lain Idi Amin Dada tokoh yang muncul di pucuk kekuasaan Uganda pada tahun 1971. Tokoh lainnya adalah Pol Pot yang telah membantai rakyat Kamboja. Di Cile, ada Jenderal Augosto Pinochet yang telah membunuh lawan politiknya, dan ribuan orang disiksa serta dipaksa melarikan diri ke luar negeri. Selain tokoh-tokoh tersebut, masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang telah memerintah dengan tangan besi dan dengan mudah mengorbankan rakyatnya.

Salah satu kendala besar yang telah menjadikan para pelaku kejahatan besar mampu berkelit dari jerat hukum yang ada selama ini adalah impunitas. Impunitas merupakan sebuah fakta yang secara sah memberikan pembebasan atau pengecualian dari tuntutan atau hukuman atau kerugian kepada seseorang yang telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Ini adalah kendala besar yang dihadapi dalam menerapkan hukum internasional pada saat ini. Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan dunia internasional yang lebih adil, khususnya untuk memutuskan rantai impunitas para pelaku kejahatan yang luar biasa, lembaga peradilan kriminal internasional diperlukan.

Untuk pengunduran diri dari keanggotaan di ICC, negara-negara di Afrika tersebut menjalani prosedur legislatif. Keputusan Afrika Selatan untuk mundur, misalnya, dipandang pukulan bagi ICC karena negara itu merupakan salah satu pendukung terbesarnya. Afrika Selatan menyatakan mahkamah itu sudah tak lagi kompatibel dengan kemampuannya untuk menyelesaikan konflik politik di Afrika.

Dalam pidato pelantikannya sebagai presiden Uganda yang dihadiri banyak pemimpin Afrika di Kampala, Yoweri Museveni melukiskan mahkamah itu sebagai grup dari orang-orang yang tak berguna.

Uni Afrika menyatakan rasa tidak senangnya terhadap ICC dan memintanya membantu menyelesaikan masalah-masalah Afrika termasuk kasus Darfur di Sudan sesuai slogan African solution for African problems tetapi ICC yang didukung oleh Dewan Keamanan PBB menganggap sepi seruan-seruan itu. Hal ini menimbulkan eskalasi kekerasan di Afrika dan para pemimpin politik Afrika yakin bahwa ICC tak adil menyasar rakyat Afrika.

Dalam jumpa pers setelah konferensi tingkat tinggi AU, Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn selaku ketua KTT menyatakan bahwa para pemimpin Afrika sampai pada simpulan bahwa proses ICC yang dilakukan di Afrika memiliki cacat. Maksudnya ialah menghindari impunitas tetapi sekarang level proses itu telah berubah menjadi perburuan suku daripada perjuangan terhadap impunitas.

"Kami punya perasaan bahwa mahkamah itu (ICC) mengejar Afrika", kata Presiden Benin Boni Yayi pada tahun 2009.
Standar Ganda
Para pengamat menilai bahwa ICC telah memberlakukan standar ganda dengan menerapkan secara cepat antara lain peradilan ala Barat untuk mengadili kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan di Afrika. Timbul pertanyaan-pertanyaan seperti: Mengapa ICC mempermasalahkan kekerasan pascapemilu di Kenya atau rekrutmen tentara anak-anak di Republik Demokratik Kongo, tetapi tidak mempersoalkan masalah-masalah lain seperti pembunuhan dan penyiksaan di Irak atau permukiman ilegal di Tepi Barat atau pembunuhan jutaan orang di Irak, Afghanistan. Bahkan ICC dianggap sebagai alat politik yang digunakan kekuatan-kekuatan besar terhadap negara-negara yang kecil.

Sebagian besar kekuatan dunia di DK PBB seperti Amerika Serikat, China, Rusia bukan negara yang meratifikasi Statuta Roma.

Negara-negara Afrika memiliki cara-cara untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Misalnya the Convention for a Democratic South Africa (Codesa), yang berhasil dengan diakhirinya apartheid pada tahun 1990-an. Menurut Thabu Mbeki, alternatif yang paling jelas bagi model Nuremberg sejak peradilan-peradilan (tokoh-tokoh Nazi berakhir) pada 1949 (setelah Perang Dunia II) adalah Codesa, serangkaian negosiasi yang kompleks yang melibatkan Partai Nasional yang berkuasa, Kongres Nasional Afrika dan berbagai organisasi politik. Thabo Mbeki adalah Presiden Republik Afrika Selatan sejak 14 Juni 1999-25 September 2008.

Partai-partai di Afsel tersebut sukses membuat sebuah konstitusi yang kemudian menjadi dasar orde politik baru pascaapartheid. Pelajaran yang bisa dipetik dari Codesa ialah, bahwa menangguhkan masalah tanggung jawab kejahatan kadang dapat lebih disukai sampai masalah politik teratasi. Warga kulit putih dan hitam Afrika Selatan hidup bersama di sebuah negara, juga seperti warga etnis Hutu dan Tutsi tinggal bersama setelah genosida Rwanda dan orang-orang di Darfur, mereka semua hidup berdampingan dengan harmoni setelah persetujuan Doha dicapai.

Seperti di Afrika Selatan pada awal 1990-an, kekerasan yang terjadi di Kenya, Kongo, Sudan dan Sudan Selatan saat ini merupakan gejala dari perpecahan yang dalam. Peradilan-peradilan ala Nuremberg tak dapat mengobati perpecahan-perpecahan ini.

"Apa yang kami perlukan ialah sebuah proses politik yang didorong dengan keteguhan hati bahwa tak ada pemenang dan tak ada pecundang. Yang ada hanyalah penyintas (survivors)", kata Duta Besar Sudan untuk Indonesia Abd Alrahim Alsiddig Mohamed Omer dalam sebuah artikelnya berjudul Why Do African Countries Are Leaving International Criminal Court (ICC)?.
ICC dibangun atas model Nuremberg. Tetapi kekerasan massal lebih bersifat masalah politik daripada kriminal. Menurut Abd Alrahim, tidak seperti kekerasan kriminal, kekerasan politik memiliki konstituensi dan didorong oleh berbagai isu, tidak hanya para pelakunya.
Alasan keluar ICC
Lebih jauh Abd Alrahim menyebutkan salah satu alasan mengapa Afrika meninggalkan ICC adalah korupsi para pemimpin mahkamah itu. Ia merujuk kepada laporan surat kabar the London Evening Post pada 3 Juli 2016.

Diberitakan Presiden ICC hakim Silvia Alajendra Fernandez de Gurmendi dituduh telah menerima dana di rekening banknya untuk membeli para saksi untuk melawan Presiden (Omer Hasan Ahmad) Al Bashir. Dana yang tak dijelaskan di rekening banknya di Banco Popular di Virginia Islands dan the Congregation Bnai Israel senilai lebih 17 juta dolar AS dan diduga digunakan untuk menyuap para saksi yang memungkinkan ICC mendakwa pemimpin Sudan itu. Dugaan ada aliran dana tahun 2004-2015 melalui perusahaan-perusahaan finansial offshore sebesar 150.000-250.000 dolar AS masuk ke rekening hakim itu pada saat Presiden Bashir diselidiki dan ICC mencari bukti-bukti untuk mendakwanya.

Masih di artikel Dubes Sudan dan merujuk laporan surat kabar itu, dana-dana yang dikirim ke rekening de Gurmendi disalurkan oleh dia ke kelompok-kelompok di Darfur termasuk the Sudan Liberation Movement, sebelumnya bernama Darfur Liberation Front, yang dipimpin Abdul Wahid Al Nur dan lain-lainnya pada 2002.
Semua kasus yang sejauh ini ditangani oleh ICC terhadap Afrika merupakan bentuk afrikanisasi ICC. Sumber dari masalah mahkamah itu di benua tersebut.

Penulis Editor Antara.co.id

Editor:

Terkini

Terpopuler