Revisi UU KPK Ditunda

Selasa, 23 Februari 2016 - 07:37 WIB
Presiden Joko Widodo menyalami Ketua DPR Ade Komarudin, saat memberikan keterangan terkait penundaan revisi UU KPK, di Istana Merdeka.

JAKARTA (riaumandiri.co)-Makin gencarnya penolakan dari berbagai elemen masyarakat terkait revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, akhirnya berbuah manis. Presiden Joko Widodo bersama DPR, akhirnya sepakat untuk menunda revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Penundaan tersebut berlaku tanpa memandang batasan waktu. Meski demikian, penundaan itu tak berarti menghapus rencana revisi UU KPK tersebut dari daftar prioritas program legislasi nasional (Prolegnas) yang telah dicanangkan DPR.
Permintaan untuk menunda revisi UU KPK tersebut disampaikan Presiden Jokowi dalam pertemuan dengan Revisi
jajaran pimpinan DPR beserta beberapa ketua fraksi, di Istana Negara, Senin (22/2) kemarin.

“Setelah berbicara banyak mengenai rencana revisi Undang-Undang KPK tersebut, kita bersepakat bahwa revisi ini sebaiknya tidak dibahas saat ini, ditunda. Saya memandang perlu adanya waktu yang cukup untuk mematangkan rencana revisi Undang-Undang KPK dan sosialisasinya kepada masyarakat,” ujar Presiden Jokowi.

Permintaan Presiden pun disanggupi Ketua DPR, Ade Komarrudin. Namun, menurutnya, penundaan itu tidak serta-merta membuat revisi UU KPK dihapuskan dari daftar prioritas Prolegnas.

"Menyangkut Revisi UU KPK, kami bersepakat bersama pemerintah untuk menunda membicarakan sekarang ini tapi tidak menghapus dalam daftar Prolegnas,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Ade Komaruddin mengatakan, pihaknya dan pemerintah sama-sama sepakat dengan empat poin yang akan dimasukkan dalam revisi UU KPK. Yaitu, pembentukan dewan pengawas, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), perekrutan penyelidik dan penyidik oleh KPK dan pengaturan kewenangan penyadapan.

“Revisi itu, tujuannya untuk menguatkan. Misalnya, soal SP3. Kalau orang yang meninggal statusnya masih tersangka, itu kan melanggar hak asasi manusia. Nah, hal-hal seperti ini kan menguatkan, menyempurnakan supaya undang-undang itu melanggar hak asasi manusia,” kata Ade.

Terkati batas waktu penundaan, Ade mengatakan tidak ada batasannya. “Penundaannya itu tentu tergantung pada masa nanti, apakah publik sudah mengerti benar dengan niat untuk merevisi itu,” terangnya.

Yang Kedua
Penundaan revisi UU tentang lembaga antirasuah tersebut, merupakan yang kedua kalinya terjadi. Yang pertama, terjadi pada Oktober 2015 lalu. Ketika itu, pemerintah menyatakan
menunda pembahasan revisi UU KPK, karena ingin fokus pada masalah ekonomi.

Namun sebulan kemudian, revisi UU KPK dialihkan menjadi inisiatif DPR. Hal itu sesuai hasil rapat antara Baleg DPR dan pemerintah. Bahkan, pada pertengahan Desember 2015 lalu, DPR memasukkannya ke dalam Prolegnas.

Badan legislasi (Baleg) DPR memulai tahapan awal pembahasan revisi UU KPK pada 1 Februari lalu. Sebelum Presiden Jokowi memutuskan untuk kembali menunda, awalnya revisi UU KPK akan dibahas dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (23/2) hari ini.

Tunggu IPK 50
Sementara itu, Ketua KPK, Agus Rahardjo, menyambut baik ditundanya revisi UU KPK tersebut. Meski rencana revisi masih dapat diajukan lagi, Agus menilai, sebaiknya revisi dilakukan saat indeks korupsi Indonesia sudah lebih baik.

"Kalau Bapak Presiden sudah menunda, harapan kami di DPR juga menunda sampai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mencapai 50," ujarnya di Gedung KPK.

Menurut Agus, keputusan Presiden untuk menunda revisi UU KPK adalah respon terhadap masukan dan saran yang disampaikan Pimpinan KPK dalam pertemuan di Istana Negara, pada Senin pagi. Dikatakan, pihaknya ketika itu tidak meminta Presiden membatalkan rencana revisi UU KPK. Sebab, Pimpinan KPK menyadari bahwa Undang-undang belum sempurna.

Untuk itu, para Pimpinan KPK hanya meminta agar revisi tidak dilakukan pada bidang-bidang yang justru menghambat kerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Misalnya, pengaturan soal penyadapan dan pembentukan dewan pengawas. "Kita beri masukan sebaiknya yang direvisi jangan yang itu. Jadi, kalau tidak sama sekali itu juga tidak benar," ujarnya lagi.


Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata. Dikatakan, saat pimpinan KPK bertemu dengan Presiden Jokowi, telah dibicarakan tentang berbagai poin tentang revisi UU KPK. Alex menyebut tak ada kesepakatan tertentu dengan Presiden Jokowi.

"Kita hanya kasih masukan sesuai dengan kesepakatan kita terkait dengan penyadapan kalau kita sudah prudent, penyadapan kita sudah dilakukan audit itu sudah sesuai dengan ketentuan UU KPK sendiri," ucapnya.

"Lalu masalah SP3 itu bisa kita nanti kan dalam kondisi tertenu seperti sakit berat dan meninggal bisa minta penetapan hakim atau pada saat penuntutan kita bisa limpahkan ke kejaksaan untuk mengeluarkan SP3, jadi masih ada cara untuk mengeluarkan SP3 tapi tidak oleh KPK," imbuh Alex.


Gerindra dan Demokrat Menolak
Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman, ketika ditemui usai pertemuan, mengungkapkan, masing-masing fraksi DPR diberi kesempatan bicara dalam rapat konsultasi dengan Presiden Joko Widodo. Menurutnya, hanya Gerindra dan Demokrat yang menolak revisi UU KPK.

"Jadi kesepakatan pemerintah dengan DPR sama saja, hanya proses pembahasan pengesahannya yang diminta Presiden untuk ditunda kemudian dilakukan sosialisasi kepada seluruh lapisan masyarakat," ujar politisi Gerindra itu.

Menurut sekretaris Fraksi Gerindra, Fary Djemi Francis, dalam rapat bersama Presiden Jokowi, fraksinya secara langsung meminta Presiden menolak revisi UU KPK.

"Kita minta Presiden agar mendengar suara rakyat, karena kita sejak awal konsisten dalam pembahasan di Baleg sebagai satu-satunya fraksi yang menolak revisi UU Pilkada. Tadi saya mewakili pimpinan fraksi menyampaikan langsung ke Presiden. Jadi kita bersyukur (dengan penundaan revisi UU KPK)," imbuh ketua Komisi V DPR itu.

Bom Waktu
Meski banyak yang menyambut gembira dengan penundaan itu, namun ada juga pihak yang merasa kecewa. Seperti dituturkan Koordinator Bidang Hukum dan Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho, yang dibutuhkan masyarakat adalah penolakan dari Jokowi, bukan sekadar penundaan.

"Kalau ditunda kan seperti bom waktu. Pastinya akan dibahas lagi," ujarnya.

Ia meminta Jokowi untuk menunjukkan sikap tegasnya untuk menolak pembahasan revisi UU KPK. Emerson menduga, keputusan penundaan merupakan kompromi Jokowi dengan dua belah pihak yang ingin melanjutkan maupun menolak revisi.

"Langkah yang dilakukan Jokowi nampaknya kompromi terhadap tekanan pihak yang menolak dan pihak yang tetap melanjutkan," ujar Emerson.

Ia menambahkan, dorongan penolakan akan tetap diberikan karena dengan menunda revisi UU KPK, sikap Jokowi masih bisa berubah. Penundaan juga tidak jelas hingga kapan.

Pihaknya pun akan terus mendorong dan memastikan agar jangan sampai pembahasan revisi UU KPK dilakukan di era pemerintahan Jokowi. Salah satu alasannya karena hingga kini belum ada alasan yang masuk akal dibalik keharusan merevisi Undang-Undang tersebut. (bbs, cnn, kom, dtc, ral, sis)

Editor:

Terkini

Terpopuler