Menjadikan Bahasa sebagai Media Tamadun

Jumat, 05 Februari 2016 - 10:45 WIB
i

Tahun lalu di salah satu  ruang pertemuan di Jakarta, ada pertemuan beberapa Rektor universitas dalam organisasi  Muhammadiyah dengan Tan Sri Rais Yatim, Rektor Universitas Antar Bangsa Kuala Lumpur, Malaysia.

Adapula pengurus Yayasan Indonesia Malaysia yang bergerak dalam bidang kebudayaan. Muncul masalah  bagaimana menjadikan  bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu.

Pada kesempatan itu, Rais Yatim menyambut positif. Berjanji akan mencari langkah lanjut. Terutama dalam kaitan jurnal ilmiah untuk kandidat  guru besar yang hanya mengharuskan bahasa  Inggris.  Artinya mungkinkah bahasa Melayu  menjadi bahasa ilmu yang dianggap setara dengan  bahasa Inggris. Sementara kalangan ilmuwan kawasan Melayu ada yang kurang menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa ilmu. Akibatnya promosi guru besar, dengan  syarat tulisan ilmiah di Jurnal Bahasa Inggris, menjadi hambatan. Hal itu menjadi persoalan yang belum terjawab.

Pemikir asal Malaysia  Hasan Ahmad (2002), berpendapat tidak ada halangan apapaun suatu bahasa untuk dijadikan bahasa ilmu, jika itu lahir dari pemikiran yang bernas. Maksudnya  bahasa itu sebagai bahasa utamanya. Bagi Hasan Ahmad, hal itu tidak masalah. Karena bahasa adalah  sebagai penjana (media) tamadun. Steven  Pinter (1994), seorang ahli bahasa asal Belanda menyampaikan pendapat senada, karena bahasa diciptakan oleh minda, alam pikiran manusia. Setiap kali manusia berpikir dia mencipta makna dan makna ini boleh disampaikan melalui perbendaharaan makna  bahasa utamanya.

Berdasar dari dua paparan di atas, bahasa Melayu dapat menjadi bahasa ilmu seperti adanya bahasa Inggris. Hanya saja terletak ada tidaknya perkembangan ilmu dikawasan ini. Artinya adakah wujud penemuan, hasil riset dan kajian teori baru yang  berbobot.

Permasalahannya kemudian, bagaimana program untuk melahirkan jurnal ilmiah yang setara internasioanl keriteria, juga mengembangkan penelitian andalan sebagai bentuk pengembangan ilmu dan sains dimaksud. Persoalan di atas tak mudah dijawab, mengingat hal itu sebagai tugas peradaban besar dan perlu ada kesungguhan banyak pihak. Kita akan mencoba memberi jawab sebagai berikut, pertama, tentang pembentukan jurnal. Agaknya ini dapat dilakuan dengan kerja sama antar universitas kawasan ASEAN misalnya  Indonesia, Malaysia, Brunei dan Thailand. Jurnal dimaksud dengan diregister oleh universitas resentatif dari negara yang bersangkutan.

Kedua, untuk kontens seperti yang diharapkan dari jurnal dapat dilakukan studi penelitian andalan yang diprogram secara  sinergik. Tujuannya agar isi jurnal memuat kajian modern. Memenuhi asas  standar secara keilmuan.  Ketiga, kontens jurnal  dapat pula digali dari  kahasanah Melayu  masa lalu. Seperti kesusteraan, filsafat dan tasawuf. Apa maksud kandungannya, kajiannya bukan hanya kajian masa kini, melainkan  dapat digali dari butiran kandungan  pemikiran lama, namun kualitas yang tak lapuk oleh lintasan  masa.  Itu juga bagian dari butir hikmah  atau  warisan  kearifan  lokal.

Jadi. kontesn publikasi  keilmuan baru dan klasik dirangkum dalam  kepaduan sistemik. Ikhtisar yang saya angkat pada uraian di awal, membawa  kita pada kesadaran demi memajukan tamadun. Idealisme tersebut haruslah diwujudkan bahasa bagi keilmuan. Artinya karya keilmuan yang wujud sebagai  hasil   intelektual dikomukasikan  lewat bahasa Melayu.

Saya sependapat dengan Dato Hasan Ahmad yang  berkata, bahasa Melayu dapat menjadi bahasa ilmu, karena fungsi bahasa adalah penjana ilmu. Tetapi saya ingin menambahkan, itu  terwujud jika ada karya dalam arti temuan dari intelektual rantau ini yang menonjol. Kebalikannya, Bahasa Melayu tidak akan  berwujud sebagai bahasa sains, bahasa bidang ilmu kemanusiaan jika tidak ada karya hasil pemikiran dan studi dari anak rantau ini secara terus menerus. Soalan rantau bertamadun dan perkasa, diakui bukan masaalah  yang simpel. Terkait dengan bagimana rantau yang beragama, rantau yang berbudaya, rantau dengan sumber daya insani yang berkualitas serta ekonomi yang berkemajuan.

Tetapi, yang tidak boleh dilupakan, yakni menjadikan bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu. Karena itu, gagasan  Tan Sri Rais Yatim mencanangkan rantau ASEAN yang bertamadun identik juga memajukan bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita harus mendukung  gagasan  dimaksud. Kita memimpikan temuan, penelitian, keilmuan  diwujudkan dalam bahasa Melayu. Sehingga dunia melirik kepada rantau Melayu lantaran kontribusinya dalam  karya kelimuan yang mendunia. ***
Dosen Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA), Jakarta.

Editor:

Terkini

Terpopuler