Subsidi Listrik Dicabut, Rakyat Menjerit

Senin, 02 November 2015 - 07:49 WIB
Pekerja memperbaiki jaringan listrik tegangan tinggi di Pulau Jawa, belum lama ini. Rencana PLN mencabut subsidi listrik dikhawatirkan akan semakin menambah penderitaan rakyat.

JAKARTA (HR)-Rencana pemerintah mencabut subsidi listrik golongan 450 VA dan 900 VA dan dipindahkan ke golongan 1.300 VA, mulai 1 Januari 2016 mendatang, terus mendapat sorotan. Rencana itu diyakini bakal menimbulkan banyak dampak. Mulai dari inflasi, terganggunya harga barang pokok di pasaran, menurunnya daya beli masyarakat hingga dampak kemiskinan. Akibatnya, rakyat akan menjerit.

Tidak hanya itu, rencana pemerintah mengalihkan pelanggan listrik hingga minimal pada 1.300 VA, juga dinilai sebagai kedok untuk menggiring masyakarat masuk ke mekanisme pasar.

Rencana pemerintah tersebut, dinilai sangat luar biasa. Sebab, pelanggan listrik golongan 450 VA hingga 900 VA,
Subsidi
hingga saat ini masih berjumlah sebanyak 23,3 juta pelanggan. Karena itu, rencana itu akan berpengaruh terhadap perekonomian secara umum. Terutama pada komponen pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Menurut pengamat ekonomi dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI), Riyanto, dampak dari kebijakan itu jika benar-benar diterapkan, adalah inflasi langsung sebesar 1,74 persen. Sehingga inflasi total di tahun 2016 bisa mencapai 6 persen.

"Dampak inflasi langsung 1,74 persen, jadi tahun depan dengan asumsi APBN 2016 sebesar 4,7 persen, jadi 5-6 persen  total inflasinya," ujarnya, dalam seminar Energi Kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (1/11).

Di samping itu, ada dampak yang tidak langsung pada komponen kebutuhan pokok. Sehingga pemerintah harus berusaha lebih keras agar harga kebutuhan pokok bisa stabil. "Kalau pemerintah tidak serius, inflasi bisa lebih tinggi," imbuhnya.

Sementara untuk pertumbuhan ekonomi, kata Riyanto akan turun 0,59 persen dari asumsi makro ekonomi yang sebesar 5,3 persen. Sebab, kebijakan untuk menghilangkan subsidi listrik tersebut akan memukul daya beli masyarakat. Padahal selama ini, daya beli masyarakat adalah komponen pendorong pertumbuhan ekonomi paling besar di Tanah air.

"Dengan begitu maka angka kemiskinan bisa bertambah 0,14 persen. Karena ada risiko yang rentan miskin juga terkena dampak perubahan asumsi ekonomi makro," papar Riyanto.

Sementara itu dampak untuk PLN sendiri, tunggakan dari pelanggaran diprediksi akan semakin membengkak. "Ada risiko tunggakan lebih besar, kemungkinan besar biasanya Rp 100 ribu per bulan, naik 250 persen. Cukup besar untuk masyarakat. Apalagi ada 23 juta pelanggan yang akan mengalami itu," ujarnya.

"PLN harus antisipasi, biasanya di lapangan yang akan menanggung risiko besar kantor-kantor PLN. Jadi ini yang harus diantisipasi. Siapkan cara yang lebih smooth daripada harus langsung begitu," pungkasnya.
Jebakan
Sementara itu, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, pihaknya menolak rencana pemerintah tersebut. Pasalnya, langkah itu dinilai sebagai kedok menggiring masyakarat masuk ke mekanisme pasar.

"Rencana ini sebenarnya kedok untuk mengenakan tarif listrik yang market mechanism," ujarnya.

Ditambahkannya, saat ini, tarif listrik golongan 1.300 VA sudah menggunakan skema perhitungan yang mengikuti kurs rupiah, harga minyak dunia, dan inflasi.

Bahkan Tulus menyebut cara-cara yang dilakukan pemerintah sudah mengarah ke neoliberalisme listrik, semua diserahkan ke mekanisme pasar.

Sejak beberapa tahun lalu, tambahnya, masyarakat pengguna listrik 450 VA dan 900 VA sudah mendapatkan penggiringan untuk beralih ke golongan 1.300 VA.

Dari hasil laporan yang diterima YLKI, PLN mengiming-imingi masyakarat yang mau beralih ke golongan 1.300 VA dengan menambah daya. "Mereka (masyarakat) senang kan karena gratis tambah daya. Padahal setelah masuk mereka masuk jebakan Batman," ucapnya.

Tulus mengakui tarif listrik 450 VA dan 900 VA tidak naik sejak 2003. Tetapi dia mengatakan tak setuju apabila pemerintah melakukan penggiringan pengguna listrik 450 VA dan 900 VA ke 1.300 VA.

YLKI mengusulkan apabila ada kenaikan tarif maka kenaikan harus bertahap. Tujuannya satu agar masyakarat tak terbebani.

Selama ini pelanggan 450 VA dikenaikan tarif listrik Rp 400 per kWh dan 900 VA sebesar Rp 600 per kWh. Sementara, tarif keekonomian atau nonsusidi pelanggan 1.300 VA yang akan diberlakukan pada pelanggan 450 dan 900 VA, mencapai Rp 1.352 per kWh.

Dengan demikian, ada kenaikan 238 persen bagi pelanggan 450 VA dan 125 persen untuk pelanggan 900 VA.


Riyanto juga mengaku sangsi PT PLN (Persero) mampu menyisir 23,3 juta pelanggan golongan 450 VA dan 900 VA yang dianggap tidak layak mendapatkan subsidi listrik mulai 1 Januari 2016 tersebut.

Dikatakan, bila pun dilakukan penyisiran, itu harus dilakukan dengan tepat. Jangan sampai masyarakat yang kategori tidak mampu atau rentan miskin, malah justru terkena pencabutan subsidi.

"Data yang ada kan hanya nama dan alamat, Tapi nggak ada ID pelanggan PLN, jadi PLN mampu tidak?," ujarnya.


Menurut Riyanto, PLN juga harus melakukan sosialisasi secara menyeluruh sebelum pencabutan. Sebab banyak masyarakat yang dikhawatirkan tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Sehingga berisiko timbulnya kegaduhan.
"Ini reformasi yang cukup berdampak besar ya, pemerintah harus sosialisasi lebih banyak di dalam. Saya takut banyak yang salah tanggap," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Utama PLN Sofyan Basir menyatakan, PLN mau tak mau pasti akan menerima banyak protes dari masyarakat, karena adanya pencabutan subsidi yang berimbas pada kenaikan tarif listrik sampai 3 kali lipat. Konflik antara PLN dengan masyarakat pun pasti terjadi, PLN harus siap menghadapinya.

"Konflik pasti ada, 20 juta pelanggan yang dicabut (subsidi listriknya). Kalau ada konflik ya kita hadapi," ujarnya, beberapa waktu lalu.

Sofyan menambahkan, pihaknya siap diprotes masyarakat demi kepentingan yang lebih besar, yakni supaya subsidi benar-benar dinikmati oleh masyarakat miskin.

 (bbs, kom, dtc, sis)

Editor:

Terkini

Terpopuler