Riaumandiri.co - Pemerintah Jepang mulai mengambil langkah tegas untuk meningkatkan transparansi kepemilikan real estat oleh warga negara asing. Mulai tahun 2026, setiap pembeli properti akan diminta mencantumkan kewarganegaraannya sebagai bagian dari regulasi baru.
Kebijakan tersebut merupakan bagian dari aturan yang tengah dirumuskan pemerintah dan direncanakan berlaku sepenuhnya pada tahun fiskal 2027, dilansir dari Tribun.
Seorang pejabat pemerintah menyampaikan bahwa aturan baru ini tidak langsung diterapkan sekaligus, tetapi akan diberlakukan secara bertahap.
Dalam keterangannya kepada Tribunnews.com pada Senin (1/12/2025), pejabat tersebut menjelaskan, “Mulai tahun fiskal 2027 akan ditanyakan kewarganegaraan pemilik properti di Jepang, namun kemungkinan penerapan bertahap sudah dimulai pada 2026.”
Selama ini, pembeli asing dapat memperoleh properti di Jepang tanpa perlu mencatatkan kewarganegaraan mereka. Namun meningkatnya pembelian oleh warga China dan Taiwan di berbagai wilayah seperti Hokkaido hingga Fukuoka mendorong pemerintah untuk memperketat sistem pemantauan.
Sebagai respons, pemerintah kini mengembangkan sebuah basis data nasional yang akan digunakan untuk memetakan dan mengawasi kepemilikan properti oleh warga asing. Sistem ini diharapkan dapat memberikan data yang lebih komprehensif tentang kepemilikan real estat oleh investor luar negeri, dikutip dari Tribun.
Database tersebut dirancang untuk menampung informasi dari beragam jenis aset, termasuk tanah, kondominium, lahan pertanian, kawasan hutan, hingga area strategis seperti pulau perbatasan dan fasilitas militer.
Pencatatan kewarganegaraan nanti akan dilakukan melalui Registri Berbasis Real Estat yang dikelola oleh Badan Digital. Pelaksanaannya akan melibatkan koordinasi dengan Sekretariat Kabinet, Kementerian Kehakiman, dan kementerian lain yang relevan.
Saat ini kewajiban mencantumkan kewarganegaraan baru diberlakukan pada transaksi lahan pertanian. Untuk kondominium dan jenis properti lain, aturan tersebut belum diberlakukan.
Dengan pengembangan sistem baru ini, pemerintah menargetkan terciptanya mekanisme pelaporan yang lebih seragam dan mudah diawasi. Pendataan tersebut juga diharapkan memperlancar proses pemantauan aktivitas pembelian oleh warga asing di seluruh Jepang.
Aturan baru ini tidak hanya menyasar individu, tetapi juga perusahaan Jepang yang menggunakan modal asing dalam pembelian properti. Dalam kondisi seperti itu, kewarganegaraan pemegang saham utama serta para pejabat perusahaan juga akan dicatat, terutama bila transaksi melibatkan lahan yang luas atau aset yang dinilai memiliki nilai strategis.
Hingga saat ini, ketentuan pelaporan kepemilikan asing masih terbatas pada pembelian yang digolongkan sebagai investasi di bawah Undang-Undang Valuta Asing. Pemerintah kini mempertimbangkan perluasan cakupan aturan agar transparansi kepemilikan dapat meningkat.
Langkah ini juga dipicu oleh kekhawatiran masyarakat mengenai maraknya pembelian lahan oleh warga asing, termasuk kekhawatiran terkait pemanfaatan sumber air hingga praktik spekulatif yang turut menaikkan harga properti, terutama apartemen.
Apabila pendataan kewarganegaraan diterapkan sepenuhnya, data yang terkumpul bisa menjadi dasar pemerintah untuk merumuskan kebijakan perpajakan yang berbeda antara warga Jepang dan pembeli asing.
Selain pajak, data itu juga dapat menjadi landasan pembentukan regulasi pembatasan kepemilikan properti oleh WNA di masa depan.
Rancangan aturan tersebut dijadwalkan masuk dalam prioritas kebijakan luar negeri mulai Januari mendatang, dilansir dari Tribun.(MG/FAI)