DPR Desak Freeport Penuhi Hak Karyawan yang Dirumahkan Sejak 2017

DPR Desak Freeport Penuhi Hak Karyawan yang Dirumahkan Sejak 2017

RIAUMANDIRI.CO - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mendesak manajemen PT. Freeport Indonesia (PTFI) membayar hak-hak karyawan yang dirumahkan. Persoalan ini sudah berlangsung sejak 2017 dan apalagi keuangan perusahaan tambang emas terbesar di Indonesia itu sudah membaik.

"Kini saat yang tepat bagi PTFI untuk menyelesaikan PR yang sudah berlangsung lebih dari lima tahun tersebut. Pemerintah juga harus segera ambil tindakan untuk memfasilitasi penyelesaian masalah ini. Jangan dibiarkan berlarut-larut. Apalagi sekarang ini kondisi PTFI sedang bagus-bagusnya," kata Mulyanto kepada media ini, Rabu (11/5/2022).

Wakil Ketua FPKS DPR RI itu menyebut ada beberapa hal mendasar yang memungkinkan PTFI menuntaskan masalah ini.

Pertama terkait dengan implementasi UU No.4/2009 tentang Minerba yang diperbaharui melalui UU No.3/2020, boleh dibilang telah mencapai kemajuan. 

Saat ini PTFI sudah tunduk pada rejim perijinan, padahal sebelumnya berbentuk kontrak karya pertambangan. 

Kemudian, divestasi saham PTFI secara bertahap sebanyak 51 persen kepada Pemerintah Indonesia sudah terlaksana dengan baik. Artinya, kini PTFI adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara), dimana Pemerintah adalah pemilik saham mayoritasnya.

Terakhir terkait dengan pembangunan smelter tembaga. Progres pembangunan smelter ini sudah terlihat dan diperkirakan akan beroperasi di tahun 2023.

Selain itu, yang juga penting, di tahun 2021 diperkirakan PTFI sudah kembali meraup untung. Menteri BUMN, Erick Thohir, menyebut angka sekitar Rp. 40 triliun keuntungan pada tahun 2021. Dari keuntungan tersebut dilaporkan telah dibayarkan deviden kepada Pemerintah, dalam hal ini PT Inalum, sebesar Rp. 15 triliun.

"Dengan atmosfer PTFI yang kondusif ini diharapkan dialog yang lebih konstruktif, untuk mencari jalan keluar soal buruh yang sudah terkatung-katung lama ini, dapat dilakukan secara lebih cair," imbuh Mulyanto.

Sebelumnya diinformasikan ribuan buruh PTFi di Papua menggelar aksi mogok kerja sejak 1 Mei 2017. Dalam lima tahun pemogokan ini, lebih seratus orang meninggal dunia karena depresi atas terkatung-katungnya nasib mereka. Pemerintah dinilai gagal mengambil langkah penyelesaian. 

Pemogokan yang dimulai pada 1 Mei 2017 ini dipicu oleh langkah PT Freeport menerapkan kebijakan ketenagakerjaan, seperti furlough atau merumahkan karyawan. Langkah itu diambil karena ketika itu, PT Freeport ragu-ragu dengan masa depan operasional dan investasinya di Papua.

Langkah perusahaan disikapi ribuan buruh dengan melakukan pemogokan kerja. Sejak saat itu, perselisihan buruh dan PT Freeport tidak menemukan titik temu, dan ribuan buruh itu kehilangan pendapatan tanpa ada kejelasan mengenai gaji ataupun pesangon yang menjadi hak meraka.

Fraksi PKS menyesalkan lalainya dan ketidakpedulian pemerintah dalam penanganan kasus mogok kerja sehingga berlarut-larut selama 5 tahun sampai hari ini.

Dari awal seharusnya pemerintah sensistif dan tanggap untuk menyelesaikan perselisihan ini. Apalagi ini menyangkut perbedaan penafsiran hukum dari masing-masing pihak dalam memahami pasal-pasal dalam UU Ketenagakerjaan sehingga kehadiran Pemerintah sangat dibutuhkan untuk menjelaskan perbedaan ini.

Fraksi PKS mendesak pemerintah untuk saat ini segera turun tangan menuntaskan masalah ini mengingat PT Freeport Indonesia sudah menjadi BUMN di bawah MIND ID yang sahamnya sebesar 51% sudah dimiliki Pemerintah. Hal ini agar hak-hak karyawan Freeport bisa dipenuhi sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Pemerintah untuk tegas dalam menegakkan UU Ketenagakerjaan dan memfasilitasi proses sesuai dengan hukum yang berlaku agar hak-hak karyawan Freeport dipenuhi. Putusan kasasi MA dapat dijadikan rujukan dalam menyelesaikan persoalan ini.

Fraksi PKS meminta pemerintah mengevaluasi isi Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di perusahaan Freeport agar tidak bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan peraturan perundangan lainnya sehingga kejadian seperti ini tidak terulang lagi di masa depan. (*)



Tags DPR RI