Dirjen PHL KLHK: Uni Eropa Harus Konsisten Inplementasikan Lisensi FLEGT

Dirjen PHL KLHK: Uni Eropa Harus Konsisten Inplementasikan Lisensi FLEGT

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Sistem Verifikasi Legal Kayu (SVLK) yang diterapkan Indonesia sudah diakui dunia internasional, seperti Uni Eropa dalam kerangka perjanjian kemitraan sukarela untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan (VPA FLEGT). SVLK disetarakan sebagai lisensi FLEGT 2016.

“Artinya, sistem kita ini sudah teruji kredibiitasnya, sehingga sejumlah negara sudah mencontoh SVLK kita. Sebelumnya kita berhasil atasi ilegal loging dengan SVLK dan sekarang kita dorong melalui SVLK untuk kelestarian hutan,” ujar Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK, Agus Justianto dalam keterangan tertulis dari COP26, Glasgow, Inggris, Selasa (9/11/2021).

Agus mengungkapkan, dalam sesi diskusi di Paviliun Indonesia, Senin, Indonesia mendapat dukungan dari negara-negara lain, terutama yang memiliki hutan tropis karena mereka menganggap Indonesia sudah memiliki sistem lebih awal.

"Ternyata tidak mudah mendapatkan pengakuan negara konsumen. Dalam forum diskusi itu kita juga menuntut negara konsumen yang menerima kayu kita harus dievaluasi karena selama ini kita yang dievaluasi. Sekarang kita balik menuntut, karena ada pasal 13 dari perjanjian FLEGT, kita bisa mendapatkan insentif untuk premium price dan sampai saat ini kita belum peroleh. Jadi kita tuntut sistem mereka juga. Kita sudah ikuti aturan tapi faktanya belum mendapatkan harga premium yang dijanjikan karena mereka masih menerima kayu-kayu yang belum memperoleh  lisensi FELGT,” jelas Agus.

Jika Uni Eropa dan Inggris tidak serius, Indonesia mengancam akan mengangkat masalah ini ke tingkat global. Karena SVLK Indonesia sudah mendapatkan lisensi FLEGT, tapi Uni Eropa tidak konsisten dalam menerapkan lisensi FLEGT.

FoLU Net Sink 2030

Agus Justianto menegaskan, Indonesia tidak setuju dengan sebutan zero deforestation. Akhirnya kesepakatannya adalah halt and reverse forest lost and land degradation by end 2030.

Padahal Indonesia sudah mempunyai program yang disebut Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030 atau net karbon melalui sektor kehutanan dan lahan jangan diartikan sebagai zero deforestation. Tetap ada emisi dari hutan, tapi menyerap lebih banyak, jadi net.

“Ini yang yang diusung dan disampaikan oleh Presiden Jokowi . Ini juga jadi bahan bargaining kita. Sebab kita didorong untuk bebas emisi 2030. Artinya sektor kehutanan yang siap dan berani menjanjikan untuk mencapai Net Sink. Dan ini yang tidak dipahami dan bahkan sengaja disesatkan karena  definisi deforestasi antara kita dan Inggris atau Uni Eropa dan banyak negara negera berbeda,” papar Agus.

Bagi Indonesia kata Agus, deforestasi akan tetap dilakukan sepanjang bisa mengurangi dari kegiatan-kegiatan lain. Sebab Indonesia bisa melakukan reforestasi dan tidak boleh dilarang untuk melakukan deforestasi. Tapi  tetap melarang deforestasi yang illegal.

"Definisi kita secara ilmiah diakui internasional. Ini bukti kita mampu mengurangi emisi dari sektor kehutanan atau deforestasi sehingga dapat pembayaran berbasis kinerja dari Bank Dunia untuk Kaltim sekitar 106 juta dollar AS, dari Green Climate Fund setujui REDD+ Results-Based Payment 103,8 juta dolar AS serta Norwegia yang kemudian malah dibatalkan," jelasnya.