Korupsi Proyek Jalan di Bengkalis, Giliran Kasir PT WIKA Sumindo Jo Diperiksa KPK

Korupsi Proyek Jalan di Bengkalis, Giliran Kasir PT WIKA Sumindo Jo Diperiksa KPK

RIAUMANDIRI.CO - Komisi Pemberantasan Korupsi kembali melanjutkan pemeriksaan saksi di Kota Pekanbaru untuk melengkapi berkas M Nasir. Kali ini, penyidik antirasuah memanggil seorang pegawai PT WIKA Sumindo Jo.

Adapun perkara yang tengah disidik itu terkait dugaan korupsi proyek jalan di Kabupaten Bengkalis. Saat rasuah terjadi, M Nasir menjabat sebagai Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Bengkalis.

M Nasir sendiri diketahui telah dilakukan penahanan. Dimana sebelumnya, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Dumai itu terseret kasus korupsi proyek  Jalan Batu Panjang-Pangkalan Nyirih, dan telah dinyatakan bersalah.


"Hari ini (kemarin,red) pemeriksaan  saksi TPK (Tindak Pidana Korupsi,red) proyek pembangunan Jalan lingkar Barat duri (multiyears) di Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau Tahun Anggaran (TA) 2013 s/d TA 2015 dengan tersangka MNS (M Nasir,red)," ujar Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara KPK, Ali Fikri, Senin (25/10).

Saksi dimaksud atas nama Lina. Dia adalah Kasir PT WIKA-Sumindo Jo, dan diperiksa di Kota Pekanbaru.

"Pemeriksaan dilakukan di Kantor Direktorat Reskrimsus Polda Riau, Jalan Pattimura Nomor 13 (Kelurahan) Cinta Raja, Kecamatan Sail, Kota Pekanbaru," pungkas Ali Fikri.

Pada pekan kemarin, KPK telah memeriksa sejumlah saksi untuk perkara yang sama di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta.

Mereka adalah Maumani Ismet selaku Direktur Utama (Dirut) PT Harapan Bunda Sejati, Bintang Bimono dan Aminudin Azis. Untuk dua nama yang disebutkan terakhir adalah karyawan PT Wijaya Karya (Persero) dengan jabatan masing-masing Surveyor dan Drafter.

Sementara dua saksi lainnya adalah ahli konstruksi. Mereka adalah Prof Dr Ir Iswandi dari LAPI Ganesha ITB, dan Ali Awaludin PhD dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Kelimanya diperiksa pada Jumat (22/10) kemarin.

Sehari sebelumnya, KPK memeriksa 6 orang saksi. Yaitu, Jeffri Revli Sela, Operation Manager PT Wira Penta Kencana, Eryc Winarda, Direktur CV Riau Ananda, dan Edy Mulyono, Direktur PT Kawasan Dinamika Harmonitama.

Lalu, Efrinaldi, pemilik izin galian C No 545/D.P.E IUP/2011/52, Agus Lita Tokiman, Direktur PT Total Kinerja Mandiri atau mantan Direktur PT Kampar Utama Konstruksi, dan terakhir saksi Dwi Prokoso Mudo, Quantity Surveyor PT Wijaya Karya (Persero).

Selain M Nasir, KPK telah menetapkan dua orang tersangka lainnya. Mereka adalah Melia Boentaran, Direktur PT Arta Niaga Nusantara (ANN), dan Handoko Setiono, Komisaris PT ANN.

Pasangan suami istri itu sudah dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru dengan penjara masing-masing 4 tahun dan 2 tahun.

Selain itu, kedua terdakwa juga dihukum membayar denda masing-masing sebesar Rp300 juta subsider 4 bulan kurungan. Hanya saja, Melia selaku 
terdakwa pertama dihukum membayar uang pengganti kerugian negara Rp10,5 miliar lebih subsider 1 tahun penjara.

Hukuman itu jauh lebih ringan dari tuntutan JPU pada KPK yang menginginkan keduanya dihukum 8 tahun penjara, dan denda masing-masing Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Keduanya juga dituntut membayar uang 
pengganti kerugian pada negara secara tanggung-renteng sebesar Rp110.551.000.181. Dengan ketentuan bila tidak dibayar, diganti pidana kurungan badan selama 2 tahun.

Sebelumnya, JPU KPK dalam dakwaannya menyebutkan, kedua terdakwa memiliki tugas masing-masing. Terdakwa Melia menjabat sebagai Direktur PT ANN, sementara Handoko bertugas melobi pejabat untuk mendapatkan proyek.

Kedua terdakwa telah merugikan negara dengan total sebesar Rp114 miliar. Para terdakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp110,5 miliar. 

Kemudian, memperkaya orang lain sebesar Rp13,5 miliar yang dibagikan kepada sejumlah pejabat di Dinas PUPR Bengkalis. Uang itu dibagikan, agar proyek senilai Rp265 miliar itu dapat dimenangkan oleh perusahaan terdakwa.

Adapun pejabat yang dibagikan itu diantaranya, M Nasir (Kadis PUPR Bengkalis) sebesar Rp850 juta, Syarifuddin alias H Katan (Ketua Pokja ULP) bersama Adi Zulhemi dan Rozali sebesar Rp2.025 miliar.

Kemudian, Maliki Rp7,5 juta, Ribut Susanto Rp700 juta, Tarmizi Rp8 juta, Syafrizan Rp7 juta, Wandala Adi Putra Rp5 juta, Raffiq Suhanda Rp5 juta. Lalu, Edi Sucipto Rp5 juta, Islam Iskandar Rp267 juta, Edi Kurniawan Rp5 juta, Yudianto Rp25 juta, Ardian Rp16 juta, Raja Deni Rp17,5 juta berikut sebuah sepeda motor KLX, Ridwan sebesar Rp 20 juta.

Selanjutnya, Ngawidi sebesar Rp15 juta, Ardiansyah Rp10 juta, Agus Syukri Rp10 juta, Lutfi Hendra Kurniawan Rp6 juta, Lukman Hakim Rp6 juta, Safari sebesar Rp6 juta dan Muhammad Rafi sebesar Rp 6 juta. Total merugikan keuangan negara sebesar Rp114.594.000.180 sebagaimana hasil audit yang dilakukan tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Disebutkan, perusahaan terdakwa akhirnya memenangkan kontrak dengan total sebesar Rp291.515.703.285. Uang itu bahkan telah dibayarkan dengan 100 persen.

Namun kenyataannya di lapangan, progres pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak. Bahkan, perusahaan telah melampaui batas waktu pengerjaan.

Akibatnya, perusahaan harus membayar addendum karena kelalaian pekerjaan yang tidak sesuai kontrak. Tidak tanggung-tanggung, pihak PUPR telah melakukan 8 kali addendum kepada perusahaan terdakwa.

Meskipun telah dilakukan addendum berupa penambahan waktu dan pengurangan volume pekerjaan, namun realisasi pekerjaan PT ANN atas proyek tersebut berdasarkan dimensi dan spesifikasi yang terpasang ternyata tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam kontrak. Sehingga volume pekerjaan yang terpasang tidak sesuai dengan prestasi pembayaran, atau terdapat selisih yang merupakan kerugian keuangan negara sebesar Rp114.594 miliar.



Tags Korupsi