Jamiluddin Ritonga: Poros Oposisi untuk Langgengkan Demokrasi

Jamiluddin Ritonga: Poros Oposisi untuk Langgengkan Demokrasi

RIAUMANDIRI.CO, JAKARTA - Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga menilai pertemuan sejumlah tokoh oposisi seperti Rizal Ramli dan Gatot Nurmantyo dengan Ketua DPD RI LaNyalla Mahmud Mattalitti, di Sekolah Insan Cendekia Madani, Serpong, pada Jumat (7/5/21),
pasti bernuansa politis.

Setidaknya menurut penulis buku Riset Kehumasan itu, ada upaya menghimpun kelompok oposisi untuk mengoreksi jalannya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi).

"Adanya kesadaran memperkuat kelompok oposisi ini tentu menggembirakan. Sebab, oposisi yang diperankan Partai Demokrat dan PKS saat ini belum cukup kuat untuk 'melawan' kekuatan raksasa partai pendukung pemerintah," kata Jamil kepada Riaumandiri.co, Sabtu (8/5/2021).

Dengan bersatunya kelompok oposisi, ulasnya, dengan sendirinya menambah amunisi bagi Partai Demokrat dan PKS untuk bersama-sama mengkritisi pemerintah.

"Hal ini tentu akan lebih menyehatkan demokrasi di Indonesia yang belakangan tampak meriang. Kehadiran mereka diharapkan dapat memperkuat poros oposisi. Partai Demokrat dan PKS selayaknya merespon kehadiran mereka dengan tangan terbuka," kata Jamil.

Dikatakan, kalau kelompok oposisi bersatu, diharapkan dapat menjaga demokrasi tetap bersemi di Indonesia. Poros ini dapat menjadi kelompok penekan yang efektif untuk mengawasi jalannya pemerintah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Bahkan menurut Jamil, kalau semua kekuatan oposisi bersatu, ada kemungkinan terbentuknya poros baru pada Pilpres 2024.

Namun untuk sampai ke sana, pengajar Metode Penelitian Komunikasi melihat banyak jalan terjal yang merintanginya.

Pertama, belum ada tokoh yang dapat mempersatukan semua kekuatan oposisi. Rizal Ramli, Gatot Nurmantyo, dan La Nyalla belum memenuhi kriteria yang dapat mempersatukan kelompok opisisi.

Kedua, adanya keinginan dari tokoh-tokoh oposisi untuk mencalonkan diri pada pilpres 2014. Kalau mereka tidak ada yang mengalah, maka koalisi kelompok oposisi akan seperti bunga yang layu sebelum mekar.

Ketiga, sulit mencapai presidential threshold 20 persen kalau hanya mengharapkan dari Partai Demokrat dan PKS.

Sementara itu, pemerintah dan DPR sudah menutup pintu untuk merevisi UU Pemilu. Hal ini dengan sendirinya akan mempersulit kelompok oposisi mengusung calon pada pilpres 2024.