Merasa Udara Panas dan Gerah Akhir-akhir Ini? Begini Penjelasan BMKG

Merasa Udara Panas dan Gerah Akhir-akhir Ini? Begini Penjelasan BMKG

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA – Akhir-akhir ini banyak masyarakat di berbagai daerah yang merasa gerah dan mengeluhkan cuaca panas. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) punya penjelasannya.

"Suasana gerah secara meteorologis disebabkan suhu udara yang panas disertai dengan kelembapan udara yang tinggi," kata Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal melalui keterangannya, Selasa (26/5/2020).

Kelembapan udara yang tinggi terkait dengan jumlah uap air yang terkandung pada udara. Makin banyak uap air yang terkandung dalam udara akan makin lembap udara tersebut, dan apabila suhu meningkat akibat pemanasan matahari langsung karena berkurangnya tutupan awan, suasana akan lebih terasa gerah.


Herizal menjelaskan, laporan meteorologis mencatat suhu udara di beberapa daerah, termasuk Jabodetabek, pada siang hari berkisar 34 hingga 36 derajat Celsius. Dia mengatakan umumnya wilayah perkotaan, terutama di kota-kota besar, memiliki suhu udara yang lebih panas dibandingkan dengan wilayah non-perkotaan.

"Laporan pencatatan meteorologis suhu maksimum udara (umumnya terjadi pada siang atau tengah hari) di Indonesia dalam 5 hari terakhir ini berada dalam kisaran 34-36°C. Beberapa kali suhu udara >36°C tercatat terjadi di Sentani, Papua. Di Jabodetabek, pantauan suhu maksimum tertinggi terjadi di Soekarno-Hatta 35°C, Kemayoran 35°C, Tanjung Priok 34,8°C, dan Ciputat 34,7°C. Demikian juga wilayah lain di Jawa, siang hari di Tanjung Perak suhu udara terukur 35°C," jelasnya.

"Wilayah perkotaan terutama di kota besar umumnya memiliki suhu udara yang lebih panas dibandingkan bukan wilayah perkotaan. Sementara itu catatan kelembapan udara menunjukkan sebagian besar wilayah Indonesia berada pada kisaran >80-100%, yang termasuk berkelembapan tinggi," sambung Herizal.

Selain itu, kata Herizal, udara gerah merupakan fenomena biasa yang terjadi pada saat memasuki musim kemarau. Secara statistik berdasarkan historis, wilayah Jabodetabek pada April hingga Mei memiliki suhu udara yang cukup tinggi selain bulan Oktober dan November.

"Fenomena udara gerah sebenarnya adalah fenomena biasa pada saat memasuki musim kemarau. Untuk Jabodetabek, periode April-Mei adalah bulan-bulan di mana suhu udara secara statistik berdasarkan data historis memang cukup tinggi, selain periode Oktober-November. Pada musim kemarau, suhu udara maksimum di Jakarta umumnya berada pada rentang 32-36°C," tuturnya.

Herizal mengungkapkan, udara panas dan gerah akan makin terasa saat menjelang hujan. Sebab, udara yang lembap melepas panas laten dan panas sensibel sehingga menambah suhu menjadi panas.

"Udara panas gerah juga lebih terasa bila hari menjelang hujan, karena udara lembap melepas panas laten dan panas sensibel yang menambah panasnya udara akibat pemanasan permukaan oleh radiasi matahari," ungkapnya.

Hingga pertengahan Mei ini, dikatakan Herizal, sebanyak 35 persen wilayah Zona Musim (ZOM) sudah masuk musim kemarau. Daerah-daerah tersebut, termasuk Jakarta bagian Utara, Bekasi bagian utara, dan daerah Jawa.

"Perkembangan musim kemarau hingga Pertengahan Mei 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 35% wilayah Zona Musim (ZOM) sudah memasuki musim kemarau, di antaranya: sebagian besar wilayah di NTT dan NTB, sebagian Jawa Timur bagian selatan, sebagian Jawa Tengah bagian utara dan timur, sebagian Jawa Barat bagian utara dan timur, serta Bekasi bagian utara, Jakarta bagian utara, serta sebagian daerah Papua dan Maluku," ucapnya.

Herizal mengimbau masyarakat agar tidak panik menyikapi suasana gerah dan suhu panas yang terjadi. Dia juga mengimbau untuk mengkonsumsi buah-buahan, memakai tabir surya dan banyak minum air mineral agar tetap terjaga kesehatan kulit serta terhindar dari dehidrasi.

"Banyak minum dan makan buah segar sangat dianjurkan, termasuk memakai tabir surya sehingga tidak terpapar langsung sinar matahari yang berlebih dan lebih banyak berdiam di rumah pada saat pemberlakuan PSBB," pesan Herizal.