Anggota DPR Fraksi PKS Nilai PSBB Kebijakan Cacat: Jokowi Tidak Siap

Anggota DPR Fraksi PKS Nilai PSBB Kebijakan Cacat: Jokowi Tidak Siap

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Anggota DPR RI Komisi V Fraksi PKS, Syahrul Aidi Ma'azat menilai kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diambil pemerintah terkait pandemi Covid-19, merupakan kebijakan cacat. Menurutnya, selain cacat dari segi ketatanegaraan, PSBB dinilai melanggar hak asasi manusia.

"Permenhub 25 Tahun 2020 yang ditandatangani plt Luhut B Panjaitan ini memang cacat dari awal, yaitu legal drafting ketatanegaraan, jalur koordinasi dengan mitra di Komisi V DPR RI," ujar Aidi kepada Riaumandiri.id, Kamis (30/4/2020).

"Dari segi ketatanegaraan, Permenhub ini seharusnya batal demi hukum karena inkonstitusional dan melanggar HAM. Dalam pasal 28 J UUD 1945, pembatasan hak harus menurut UU bukan Permenhub yang sifatnya turunan dan beleid. Kemudian pasal 27 ayat (2) UU 39 tahun 1999 Tentang HAM memberikan kebebasan warga negara untuk bergerak keluar masuk wilayah Indonesia," tambahnya.


Selain itu, Aidi juga mengatakan Presiden Joko Widodo tidak siap menghadapi bencana ini sejak awal. Termasuk kebijakan PSBB yang seharusnya tidak diambil. 

"Akar masalah yang utama adalah ketidakjelasan, ketidakcermatan, ketidaksiapan, ketidaksigapan dan kelalaian Presiden dalam menetapkan seperti apa dan bagaimana penanganan Covid-19 ini dari awal. Sehingga opsi PSBB dipakai dan dipilih tanpa analisa mendalam dan riset holistik. Padahal PSBB bukan poin yang dianjurkan dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Sebab akan membingungkan bagi negara sebesar Indonesia yang terdampak hampir di keseluruhan provinsi," ungkap legislator asal Riau ini.

Aidi mengungkapkan beberapa poin penting dalam penjelasannya, termasuk ketidakadilan di lapangan terkait larangan mudik.

"Permenhub ini tidak sinkron dengan peraturan yang lain seperti Permenkumham No. 11 tentang Pelarangan Sementara Orang Asing Masuk Wilayah Negara Republik Indonesia. Permenhub berjuang dalam repatriasi untuk menjemput WNI dan WNA, tapi di sisi lain Permenkumham mempermudah akses orang asing untuk masuk dengan alasan bisnis. Contohnya masuknya 500 TKA dari China. Hal ini membuat miris karena seluruh Infrastruktur di-hold dan banyak TKD yang mengganggur tapi TKA boleh masuk," ungkapnya.

Selain itu, menurut dia, publik terganggu dengan pernyataan Menteri Perhubunga Budi Karya terkait protokol pengaturan penerbangan untuk bisnis. 

"Tidak ada kata 'pebisnis' di Permenhub. Yang ada hanya kebutuhan logistik dan keperluan kenegaraan termasuk presiden, pejabat, stakeholder, alat medis dan tenaga medis. Jadi kesannya, kata 'bisnis' itu untuk siapa? Apa wong cilik cari makan yang dilarang itu bukan pebisnis? Jadi ada narasi diskriminasi dan lalai dalam protokol pencegahan dan penanganan. Kalau dilarang, ya dilarang. Semuanya sama rata."

"Satu lagi, BNPB sebenarnya tidak diberikan mandat yang kuat, tapi hanya diberikan masalah untuk diatasi tanpa diberi amunisi. Contoh, Pak Budi Karya gampang saja bilang soal aturan nanti diserahkan ke Pak Doni Monardo. Tapi pelegalan penerbangan khusus Lion Air Budi Karya yang buka. Ini namanya cuci tangan. Nanti semua kesalahan dalam mengatur protokol akan dilimpahkan ke BNPB. Sementara dalam mengatur protokol Kemenhub lebih kompeten karena kerjaan sehari-harinya terkait itu," tambahnya.

"Seharusnya anggaran Covid-19 ini diposisikan satu pintu ke BNPB agar dana yang disalurkan kompatibel dan tepat sasaran. Sebab seluruh mandat ada di BNPB," ungkapnya.

Dari amburadulnya PSBB yang melahirkan Permenhub setengah hati ini, lanjut dia, maka imbasnya PSBB jadi longgar dan bisa negosiasi dengan diskresi petugas di lapangan. 

"Di darat Kemenhub plin-plan. Mereka punya diskresi untuk memperbolehkan orang lewat dengan pertimbangan tiga instansi yaitu, Dishub, polisi, dan gugus tugas. Padahal presiden dalam kebijakannya melarang mudik. Hal ini menimbulkan preseden ada ketidakadilan, bahwa wong cilik yang sebenarnya sangat butuh mobilisasi untuk cari makan dan tidak mungkin WFH (work from hom) dilarang bepergian karena persepsi bisnis dan izin khusus hanya untuk orang-orang kaya," tambahnya lagi.

"Kalau kita bicara ketentuan hukum, maka semua harus hitam putih. Kalau dianalogikan kepada Permenhub, maka inkonsistensinya berawal dari isinya yang tidak seharusnya dibuat pada beleid di dalamnya. Sehingga implementasinya akan selalu salah dan tidak menemukan solusi di masyarakat," ujarnya.

Oleh karena itu, ujar dia, Fraksi PKS mengimbau Presiden Jokowi jangan hanya duduk di tahta kekuasaan dan mondar-mandir di sekitar Istana memberi bantuan yang tidak tepat sasaran. 

"Ayo turun ke bawah. Dengarkan segala keluhan dan lihat implementasi kebijakan setengah hati ini. Jangan hanya mendengarkan bisikan para pembantunya yang juga salah membuat aturan. Jangan membuat rakyat sengsara lagi dari tekanan mental kebijakan yang gagu ini. Cukup Covid-19 ini yang membuat mereka takut dan bingung," tutupnya.


Reporter: M. Ihsan Yurin