UGM: Mudik Tak Dicegah, Puncak Corona Usai Lebaran

UGM: Mudik Tak Dicegah, Puncak Corona Usai Lebaran

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Pemerintah pusat tak membuat aturan tegas soal larangan mudik dari Ibu Kota dan sekitarnya. Tanpa ketegasan, aliran mudik ke berbagai kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, sampai Jawa Timur sulit dibendung di tengah kondisi merebaknya COVID-19.

Organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah menyoroti sikap yang diambil pemerintahan Joko Widodo itu. Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan ormas keagamaan sudah meminta masyarakat tak mudik. Seharusnya pemerintah punya sikap lebih tegas terkait kebijakan mudik tersebut.

"Jangan sampai ormas dan tokoh agama diminta meyakinkan warga untuk tidak mudik, sementara pemerintah sendiri membolehkan dan tidak melarang warga untuk mudik," ujar Haedar pada Minggu (5/4).


Lalu seperti apa dampak tradisi mudik ini bagi kota-kota yang dituju dalam situasi adanya penyebaran penyakit akibat virus Corona ini? Satuan Tugas COVID-19 Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, membuat sebuah model simulasi yang menggambarkan dampak tersebut.

Koordinator Tim Satgas COVID-19 UGM Riris Andono Ahmad memaparkan model yang dipakai mensimulasikan mobilitas atau interaksi individu dan bagaimana interaksi tersebut menyebabkan terjadinya transmisi atau penularan COVID-19.

Parameter individu sendiri dibagi dalam empat kelompok dengan karakteristik dewasa pekerja nonformal, dewasa pekerja formal, dewasa dan tua tidak bekerja, serta anak sekolah.

"Pekerja nonformal ini paling banyak mobilitasnya, baik secara durasi, frekuensi, maupun jarak," kata Andono dalam sebuah diskusi virtual yang berjudul 'Prediksi dan Antisipasi Dampak Mudik terhadap Penyebaran COVID-19', Senin (6/4/2020).

Andono menjelaskan, berdasarkan model tersebut, saat ini transmisi di DKI Jakarta sedang mengalami penurunan. Kalaupun ada penambahan jumlah kasus seperti yang diumumkan pemerintah, lebih disebabkan oleh peningkatan kapasitas deteksi.

Namun yang kemudian menjadi persoalan baru, menurut Andono, jika dalam situasi masih ada transmisi atau proses penularan ini, berlangsung pergerakan orang keluar dari wilayah DKI Jakarta dan kota-kota penyangganya, yang merupakan episentrum COVID-19.

"Ini bisa menyebabkan terjadinya wabah di kota-kota lain yang mendapatkan kunjungan dari pemudik. Besarannya tergantung berapa besar populasi yang mudik," kata doktor ilmu epidemiologi dan kesehatan masyarakat dari Erasmus University, Rotterdam, Belanda, itu.

Dalam perhitungan simulasi, jika para pemudik intensitasnya mulai meningkat pada akhir bulan April, bisa diramalkan akan ada puncak penularan atau transmisi penyakit COVID-19 di sejumlah daerah di Jabar, Jateng, dan Jatim setelah perayaan Idul Fitri mendatang. Idul Fitri diperkirakan jatuh pada akhir Mei.

Puncak transmisi ini sekitar sepekan kemudian akan diikuti peningkatan kemunculan kasus klinis. "Ini yang perlu diantisipasi oleh pemerintah daerah setempat," ujar Andono, yang juga Course Director, Field Epidemiology Training Program (FETP) UGM.

Karena itu, pilihannya ada beberapa skenario. Pertama, menutup jalan keluar Jabodetabek untuk meminimalkan arus mudik seperti yang diharapkan sejumlah pemerintah daerah.

Skenario lain, daerah menutup pintu masuk bagi para pemudik. "Tapi ini tidak mungkin bisa dilakukan karena bertentangan dengan kebijakan nasional," kata Andono.

Alternatif yang paling membantu mengurangi kasus, menurut Andono, pemerintah daerah harus memberi perintah kepada masyarakat untuk melakukan protokol menjaga jarak sekaligus meningkatkan kapasitas deteksi mencari orang-orang yang telah terjangkit.

"Dalam pemodelan, perintah social distancing tanpa delay dan meningkatkan deteksi sampai 5 persen sangat membantu mengurangi kasus sampai 70 persen," ujar pengajar pada Departemen Biostatistik, Epidemiologi dan Kesehatan Populasi, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM itu.



Tags Corona