Buka Data Pribadi Pasien Covid-19 Berpotensi Diskriminasi

Buka Data Pribadi Pasien Covid-19 Berpotensi Diskriminasi

RIAUMANDIRI.ID, JAKARTA - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) meminta kepada pemerintah agar mengedepankan perlindungan data pribadi saat membuka data pasien positif virus corona (SARS-CoV-2). Salah satu yang disorot adalah riwayat perjalanan pasien untuk melakukan pelacakan (tracing) penyebaran virus corona.

Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar mengatakan, meski dinilai mampu mencegah penularan masif, pembukaan data pribadi berpotensi melahirkan diskriminasi dan peluang identifikasi keluarga dan orang terdekat pasien.

"ELSAM menilai setiap tindakan pemrosesan data pribadi pasien Covid-19, apalagi pembukaannya, harus sesuai dengan prinsip perlindungan data pribadi dan selaras dengan etika medis," kata Wahyudi dalam keterangan resmi yang diterima CNNIndonesia.com, Selasa (24/3).


Wahyudi memaparkan dalam konteks prinsip dan regulasi pelindungan data pribadi, data kesehatan termasuk dalam kategori data sensitif yang pengelolaannya memerlukan mekanisme perlindungan lebih hati-hati serta menjamin akuntabilitasnya.

ELSAM mencatat dari 32 undang-undang yang mengatur perlindungan data pribadi, enam diantaranya berkaitan dengan sektor Kesehatan, termasuk akses data kesehatan yakni: UU Praktik Kedokteran, UU Kesehatan, UU Rumah Sakit, UU Kesehatan Jiwa, UU Tenaga Kesehatan, dan UU Narkotika.

"Dalam Pasal 57 ayat (2) UU Kesehatan disebutkan, pengecualian dalam perlindungan data tersebut, dapat dilakukan salah satunya demi kepentingan masyarakat. Namun tentunya harus memenuhi prinsip nesesitas dan proporsionalitas, artinya harus dilakukan secara ketat dan terbatas," tutur Wahyudi

Lebih jauh, kerahasiaan rekam medis pasien diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 269/MenKes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis, yang mewajibkan seluruh penyelenggara layanan kesehatan untuk menjaga kerahasiaan rekam medis pasien.

Dalam Pasal 10 (2) peraturan tersebut dikatakan, membuka riwayat kesehatan memungkinkan terjadi untuk kepentingan kesehatan, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum, permintaan pasien sendiri, dan untuk kepentingan penelitian atau pendidikan sepanjang tidak menyebut identitas pasien.

Diskriminasi 

Oleh karena itu Wahyudi mengatakan setiap praktik pengumpulan data pribadi seseorang, termasuk tracing data lokasi harus dilakukan sesuai dengan prinsip dan hukum pelindungan data pribadi. Pasalnya, potensi pelanggaran sangat mungkin terjadi dengan implikasi adanya diskriminasi dan ekslusivitas (pengucilan) terhadap pihak-pihak yang bersangkutan,

"Sebagai contoh, dua kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia yang data pribadinya disebarkan luasnya, justru mengalami diskriminasi dan intimidasi, yang kemudian berdampak pada keadaan mental kedua pasien tersebut," ujar Wahyudi.

Di sisi lain pembatasan terhadap perlindungan data pribadi dimungkinkan untuk dilakukan dengan alasan kesehatan publik melalui sejumlah persyaratan. Misalnya ada persetujuan yang jelas dari subjek data, dan ditujukan untuk kepentingan vital dari subjek data.

"Selain itu tindakan yang dilakukan juga harus diperbolehkan oleh hukum, dan memenuhi prinsip nesesitas dan proporsionalitas," ujar Wahyudi.

Indonesia bisa belajar dari Singapura dalam pembukaan data pasien positif Covid-19. Pemberitaan dan laporan status Covid-19 dari situs resmi yang dikelola pemerintah Singapura di www.wuhanvirus.sg, sama sekali tidak membuka identitas pribadi dari pasien positif corona.

Identitas pribadi terduga corona juga tidak dibuka. Cukup dengan memberikan nomor bagi pasien.

"Situs COVID-19 Singapura menampilkan secara lengkap rekam jejak aktivitas dan daerah [lokasi] yang dikunjungi oleh pasien positif dan suspect Covid-19, namun yang ditampilkan hanya informasi mengenai lokasi, tanpa membuka identitas pribadi pasien.pasien, berdasarkan pada nomor urut kasusnya," kata Wahyudi. 



Tags Corona