Dukungan untuk Petani Rumbai Syafrudin Terus Mengalir

Dukungan untuk Petani Rumbai Syafrudin Terus Mengalir

RIAUMANDIRI.ID, PEKANBARU - Dukungan terhadap Syafrudin alias Si Syaf, petani Rumbai yang dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp3 miliar atau subsider 6 bulan kurungan badan karena membakar lahan 20x20 meter yang telah dikelolanya sejak 1993, terus mengalir. Selain terlihat dari melalui petisi daring (http://chng.it/HzsbWjcN) yang sampai saat ini sudah diisi 4.092 kali, amicus curae pun mulai berdatangan.

Amicus curiae yang secara harfiah berarti "teman pengadilan" adalah seseorang (seorang ataupun kelompok dan organisasi) yang bukan merupakan pihak dalam suatu kasus dan mungkin atau mungkin tidak diminta oleh suatu pihak membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang berkaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut; dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Namun, pengadilan bebas memutuskan apakah mereka akan mempertimbangkan suatu amicus brief atau tidak.

Salah seorang yang telah memberikan dukungannya berupa amicus curae adalah Zainul Akmal, Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau. Ia mengaku sudah mengikuti perkembangan kasus Syafrudin sejak sebulan terakhir dan berharap dengan penyerahan amicus curae ke Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Jumat (31/1/2020) siang lalu dapat menjadi bahan pertimbangan hakim untuk memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya.


"Kalau kasus ini baru satu bulan terakhir (mengikuti perkembangannya)," ucapnya saat diwawancara Riaumandiri.id, Sabtu (1/2/2020).

Beberapa poin yang dipaparkan Akmal dalam amicus curaenya di antaranya:

Syafrudin didakwa dengan Pasal 98 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Jaksa Penuntut Umum (JPU) bependapat bahwa Syafrudin telah melakukan tindak pidana perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu ambien yang ada pada Pasal 98 ayat (1). Dasar JPU mengatakan bahwa telah terjadi dilampauinya baku mutu sebagai berikut: pertama keterangan ahli Bambang Hero Saharjo yang tidak hadir dipersidangan. Kedua bukti surat yang merupakan hasil uji laboratorium kebakaran hutan dan lahan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor tanggal 9 April 2019 yang tidak dikuatkan dengan keterangan ahli dipersidangan.

Melihat fakta persidangan dan bagaimana cara JPU menuntut Syafrudin ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan oleh Yang Mulia sebagai argumentasi Amicus Curiae:

1. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor. 036/KMA/SK/II/2013 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup, BAB V bagian C. Pembuktian Tindak Pidana Lingkungan, menjelaskan bahwa, “Alat bukti surat hasil labroratorium, dituangkan dalam bentuk tertulis dan dikuatkan dengan keterangan ahli dipersidangan." Melihat fakta persidangan, dengan tidak hadirnya ahli Bambang Hero Saharjo, maka alat bukti berupa surat hasil laboratorium yang dijadikan JPU sebagai dasar untuk menuntut Syafrudin tidak mendapatkan penguatan. Pembacaan keterangan ahli yang tidak menghadiri persidangan tidak memiliki dasar hukum, karena saksi dan ahli memiliki pengertian berbeda.

2. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UU No. 32 Tahun 2009), Pasal 69 ayat (2) menyatakan, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h memperhatikan dengan sungguh sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing." Pada ayat (1) huruf h Pasal 69 memang dilarang membuka lahan dengan cara membakar, namun pada ayat (2) ada penekanan bahwa penegakan hukum terhadap larangan membakar lahan harus memperhatikan kearifan lokal yang ada di daerah. Dipertegas lagi pada penjelasan ayat (2) bahwa, “kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektar per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya.

3. Berdasarkan Pasal 69 ayat (2) seseorang diperbolehkan membakar lahan, asalkan syarat sebagai kearifan lokal yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 terpenuhi,  adapun syaratnya sebagai berikut: 1. Pembakaran lahan dilakukan dengan luas lahan maksimal 2 hektar. 2. Pelaku yang akan membakar  lahan 2 hektar tersebut, tidak lebih dari satu kepala keluarga. 3. Tujuan pembakaran untuk penanaman jenis tanaman varietas lokal. 4. Lahan yang akan dibakar harus di kelilingin sekat bakar, agar api tidak menjalar kelahan lainnya.

4. Terdakwa Syafrudin selaku petani membakar lahan dengan luas 400 meter persegi yang berarti lebih kecil dari batas maksimun yaitu 2 hektar. Lahan yang dibakar Syafrudin hanya untuk digunakan oleh satu kepala keluarga. Tujuan pembakaran oleh Syafrudin untuk menanam varietas lokal berupa ubi kayu, kacang panjang dan pisang. Lahan yang dibakar Syafrudin terlebih dahulu sudah dibuat sekat pembatas, agar api tidak menjalar kelahan lainnya.

5. Pasal-Pasal yang ada di dalam UU No. 32 Tahun 2009 tidak bisa dipisahkan antara Pasal satu dengan Pasal lainnya. Pasal 98 ayat (1) dan Pasal 69 ayat (2) memiliki satu tubuh yang sama, yaitu sama-sama Pasal-Pasal yang ada pada UU No. 32 Tahun 2009 dan tentunya memiliki politik hukum yang sama. Pasal 98 ayat (1) tentunya tidak boleh dimaknai bertentangan dengan Pasal 69 ayat (2). Larangan pelampauan baku mutu ambien yang ada pada Pasal 98 ayat (1), seharusnya tidak bertentangan dengan kebolehan membakar dengan dasar kearifan lokal yang ada di Pasal 69 ayat (2). Hadirnya UU No. 32 Tahun 2009 bukan hanya untuk menjaga kelestarian alam dari tangan-tangan manusia yang jahat, tetapi juga memberikan perlindungan bagi masyarakat untuk bertani.

6. Luas lahan yang dibakar Syafrudin tidak sampai 5% dari luas lahan yang dibolehkan dalam Pasal 69 ayat (2). Oleh sebab itu dasar pengenaan pelampauan baku mutu ambien tidak bisa hanya mengandalkan hasil laboratorium saja, namun harus disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2009 Pasal 69 ayat (2). Jika luas lahan yang dibakar Syafrudin sudah termasuk perbuatan yang melampaui baku mutu ambien yang ada pada Pasal 98 ayat (1), maka Pasal 69 ayat (2) akan tidak memiliki eksistensi dalam UU No. 32 Tahun 2009.

7. Jika dipaksakan perbuatan Syafrudin sebagai perbuatan yang melampaui baku mutu ambien yang ada pada Pasal 98 ayat (1), maka hak-hak masyarakat didaerah-daerah yang hidup dengan cara bertani akan dilanggar oleh negara. Petani akan ketakutan untuk bertani dan melihat kondisi sosial petani pada umumnya, sebagian besarnya petani tidak sanggup menggunakan alat berat untuk membersihkan lahan. Kearifan lokal yang merupakan salah satu kekayan Indonesia juga akan terkikis. Keterpurukan ekonomi negara juga akan semakin parah disebabkan petani tidak bisa bertani dan kebutuhan pokokpun tidak terpenuhi. Keberlangsungan hidup manusia akan terancam dan hal ini bertentangan dengan asas serta tujuan perlindungan pengelolaan lingkungan hidup pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 32 Tahun 2009.

8. Perlindungan terhadap lingkunan hidup juga termasuk perlindungan terhadap manusia. Pelestarian fungsi lingkungan hidup merupakan rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan lainnya.

9. Prinsip-prinsip penaatan dan penegakan hukum lingkungan harus berdasarkan asas-asas kebijakan lingkungan. Salah satunya asas Keadilan Pemanfaatan Sumber Daya (Equitable Utilization of Shared Resources). Prinsip ini menekankan pentingnya alokasi penggunaan sumber daya alam yang terbatas secara berkelanjutan dan berkeadilan, berdasarkan pada faktor kebutuhan, penggunaan oleh generasi sebelumnya, hak kepemilikan/pengusahaan, dan kepentingan.

10. Syafrudin selaku petani tidak menggunakan sumber daya alam dengan cara berlebihan dan sesuai dengan kebutuhannya. Syafrudin juga tidak meninggalkan kearifan lokal dalam mengelola lahannya. JPU sepertinya tidak jeli melihat permasalahan yang menjadi argumentasi Amicus Curiae dalam membuat surat tuntutan, sehingga membuat tuntutan yang sangat jauh dari nilai-nilai keadilan.

11. Tentunya Yang Mulia telah tahu bahwa, “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Amicus Curiae berharap putusan dalam kasus Syafrudin bukan hanya menegakkan hukum tetapi juga keadilan.

12. Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib berkata,:
”Keadilan juga mempunyai empat aspek, pertama pemahaman yang tajam, kedua pengetahuan yang mendalam, ketiga kemampuan yang prima untuk memutuskan, keempat dan ketabahan yang kukuh. Maka barang siapa yang memahami akan mendapatkan kedalaman pengetahuan. Barang siapa yang mendapatkan kedalaman pengetahuan, maka akan keluar darinya keputusan-keputusan hukum yang adil. Dan barang siapa yang berlaku tabah, maka dia tidak akan melakukan perbuatan yang jahat dalam urusannya dan akan menjalani kehidupan yang terpuji diantara manusia.”

"Saya berharap agar menambah bahan pertimbangan hakim untuk memutuskan perkara Syafrudin dengan adil. Kalau dari analisa saya, seharusnya vonis bebas," tutup Akmal.


Reporter: M Ihsan Yurin