Menggantungkan Harapan dari Hutan Bakau

Meranti Miliki 55 Unit Panglong

Meranti Miliki 55 Unit Panglong

SELATPANJANG (HR)- Jumlah panglong (pengolahan arang), yang tersebar di Pulau Tebingtinggi, Pulau Rangsang, Pulau Padang dan Pulau Merbau sebanyak 55 unit, dengan jumlah tungku 220 unit.

Jika sekali produksi tiap dapur 20 ton saja, maka dalam 2 bulan sekali sekitar 4.400 ton kayu bakau diolah menjadi arang.

Dan Masing-masing panglong arang menyerap tenaga kerja 5 hingga 7 orang per unit. Dan 10-20 orang buruh harian lepas yang berhubungan langsung dengan keberadaan panglong arang tersebut setiap harinya.

Setiap unit dapur dipasok 8 hingga 10 orang pemasok bahan baku jenis kayu bakau. Sehingga cukup  banyak masyarakat sekitar hutan mangrove yang menggantungkan harapan hidupnya dari keberadaan panglong arang dan hutan  mangrove.

Demikian diungkapkan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Kepulauan Meranti, Makmun Murod kepada Haluan Riau di ruang kerjanya Jumat (27/3).
Dijelaskan Murod, para pengelola kilang arang sebelumnya diusahakan atas dasar Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH).

Seiring perjalanan otonomi daerah, maka sejak tahun 2001 sampai 2006 mereka mengantongi Izin Hasil Hutan lainnya dari Dinas Kehutanan Kabupaten Bengkalis, sebelum mekar menjadi Kabupaten Kepulauan Meranti.

Hingga saat ini lanjut Murod, berdasarkan data di instansi yang dipimpinnya tersebut, luasan hutan mangrove yang ada Meranti mencapai 25.000 Hektar. Dan 18.300 Hektar diantaranya sudah didaftarkan sebagai Hutan Tanaman Rakyat (HTR).

"Sebenarnya kita sudah mengajukan 25 Ribu Hektar itu untuk dimasukkan ke HTR. Namun yang disetujui pemerintah pusat hanya 8.300 Hektar saja," terangnya.

Semua hutan mangrove yang telah terdaftar sebagai HTR tersebut terletak di Pulau Padang Kecamatan Merbau, sedangkan sisanya yang berada di pulau-pulau lain belum terdaftar sebagai HTR oleh.

Murod sendiri mengakui sejauh ini pihaknya belum membuat regulasi yang berpotensi menambah pemasukan keuangan daerah.

Untuk itu ada beberapa opsi yang diambil Pemkab Meranti dalam menyikapi permasalahan tersebut. Diantaranya dengan mendaftarkan hutan mangrove menjadi HTR, sehingga pemanfaatan hasil hutan dapat dikontrol dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dengan pengelolaan HTR berbasis masyarakat, lanjut Murod, nantinya akan dapat  membuat regulasi yang jelas tentang pemanfaatan hasil hutan. Baik perorangan maupun kelompok atau perusahaan. Selain itu dengan pembentukan koperasi juga dapat mengontrol peredaran hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayu.

"Kita senantiasa menempatkan posisi pemerintah diantara dua kebutuhan yang saling berhubungan. Disatu sisi kita mau menghidupkan usaha masyarakat, disisi lain kita juga berusaha untuk mengadakan hutan lestari. Sebab menegakkan aturan secara tegas, dipastikan malah akan menutup periuk nasi para penebang yang telah puluhan tahun melakoni pekerjaan itu,” ujarnya.***