Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: Menakar 107 Tahun Gerakan Pencerahan Muhammadiyah

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: Menakar 107 Tahun Gerakan Pencerahan Muhammadiyah

Oleh: Nugroho Noto Susanto
Pemerhati Organisasi Kemasyarakatan

RIAUMANDIRI.ID - Muhammadiyah sebagai sebuah entitas bangsa Indonesia, yang lahir secara otentik dari rahim nusantara, memiliki pengalaman dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak berlebihan jika dalam Milad 107 tahunnya, Muhammadiyah memilih tema “mencerdaskan kehidupan bangsa”. 

Tulisan ini hendak membangun satu narasi bahwa Muhammadiyah dilahirkan sebagai upaya untuk membangun bangsa yang cerdas. Namun dalam 107 tahun kelahirannya, tugas mulia tersebut harus berhadapan dengan batu terjal yang tidak sederhana. Kompleksitas persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia, membuat Muhammadiyah harus terus merevitalisasi visi mulia tersebut. Mampukah Muhammadiyah menyambut tantangan pendidikan abad 21? 


Konteks Kelahiran Muhammadiyah

Muhammadiyah lahir di Hindia Belanda, memiliki konteks situasi sosio politik bangsa yang masih terbelakang. Keterbelakangan tersebut ditandai dengan masih banyaknya rakyat yang tidak bisa baca tulis. Dari sisi ekonomi, rakyat juga menderita problem kemiskinan. Secara politik, rakyat Hindia Belanda masih dalam keadaan terjajah, tidak merdeka sebagai manusia dan bangsa. 

Sedangkan secara kebudayaan, rakyat Hindia Belanda menghadapi rasa rendah diri, inferior complex akibat status penjajahan yang dihadapinya. Dan memang, rendah diri itu sengaja diciptakan oleh penguasa kala itu yang menempatkan rakyat pribumi pada kasta masyarakat paling bawah. Bangsa Eropa menempati kasta paling atas, disusul bangsa Timur Asing seperti keturuan India, Tiongkok dan Arab berada di kelas kedua. Yang semakin membuat situasi runyam, rakyat Indonesia kala itu sudahlah dijajah oleh bangsa asing, mereka juga “dijajah” oleh budaya feodalisme. Dalam konteks seperti itulah, Muhammadiyah lahir di Yogyakarta pada 18 November 1912. 

Seorang pemuda Kauman, bernama Muhammad Darwis, nama kecil dari Ahmad Dahlan, memiliki garis keturunan langsung ke Maulana Malik Ibrahim, seorang dari wali songo yang masyhur. (Junus Salam, 1986) Darwis ditempa dengan pendidikan keagamaan yang ketat dari keluarga, dan lingkungan tempat dia lahir dan tumbuh berkembang. 
M. Darwis, bersama dimas-nya Kiai Hasyim Ashari, begitu Dahlan memanggil KH. Hasyim Ashari, juga belajar di Semarang, bersama kiai Saleh Darat, seorang guru ilmu Falak yang mumpuni. Bahkan Darwis juga diberikan kesempatan untuk menempuh studi di pusat Islam, Mekah al mukaromah. 

Di sana Dahlan bersua dengan banyak guru-guru yang menginspirasinya. Dahlan bersua Rasyid Ridha, dan membaca tafsir Al Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Di Mekah pula Dahlan bersua Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabaui, seorang ulama kenamaan dari Hindia Belanda, bersuku Minang yang menjadi imam di Mekah karena kealimannya. Di Mekah Dahlan juga bertemu dengan banyak guru-guru lain yang memiliki otoritas di bidang studi Islam. Dari guru di Mekah itulah, nama Ahmad Dahlan diberikan kepada M. Darwis. 

Mohammad Riezam, (2005) menggambarkan, kelahiran Muhammadiyah sesungguhnya adalah karena prakarsa utama dari Ahmad Dahlan. Prakarsa besar itu wujud karena paham dan keyakinan yang dimiliki seorang Ahmad Dahlan. 
Dahlan yang tidak bisa melihat kondisi umatnya terbelakang, membuatnya harus melakukan gerakan pencerahan (At Tanwir). Gerakan pencerahan tersebut sesungguhnya telah ia mulai sebelum mendirikan Muhammadiyah. Dahlan telah mendirikan madrasah, dan membentuk kelompok pengajian di banyak kampung. Sebelum Dahlan mendirikan Muhammadiyah, Dahlan telah memiliki follower yang setia mengikuti ulasan kajian keagamaan yang diampunya. Di antara mereka yang takjub dengan ulasan Dahlan adakah KH Mas Mansur (Jawa Timur), dan Buya AR Sutan Mansur (Sumatera Barat). Dua orang ini kelak menjadi ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah. 

Iman dan Amal Saleh Muhammadiyah 

Gerakan At Tanwir yang dilakukan Dahlan, sejatinya adalah manifestasi dari perintah Alquran, tersurat pada Al Baqaroh 257, Yukhrijuhum minna dhulumati ila an-nuur (mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya). Kata An Nur yang berarti cahaya adalah ruh utama Muhammadiyah dalam melakukan gerakan At Tanwir. Dahlan hendak menyinari hati nurani umat Islam di Hindia Belanda dengan cahaya Iman. Hal itu bukan tak beralasan dipilih Dahlan sebagai sebuah gerakan, karena kondisi umat Islam masih banyak yang terikat oleh belenggu adat istiadat yang membuat praktik keberagamaan umat Islam kala itu masih jauh dari Sunnah nabi Muhammad SAW. 

Ahmad Dahlan memberikan pengajaran tentang pentingnya cara beragama Islam yang benar. Bagi Dahlan, Islam yang benar adalah Islam yang menghargai akal dan kemanusiaan. Dalam konteks akal, Dahlan menginisiasi pentingnya memilah mana produk budaya “orang-orang kafir”, dengan keyakinan orang-orang kafir. Urusan seperti celana panjang, baju berjas, belajar dengan meja kursi, atau teknologi seperti kereta, adalah deretan produk karsa manusia, yang dahulu dilekatkan dengan kekafiran. 

Dahlan menerobos dan menepis paham konservatif itu. Baginya, menggunakan meja kursi, jas, dan memanfaatkan kereta api, bukanlah menyebabkan umat islam menjadi kafir karena semuanya itu adalah urusan muamalah dunia. Hari ini mungkin pemahaman seperti itu kita anggap biasa, namun amat berbeda di jaman 1900-an awal, ketika Muhammadiyah awal—awal berdiri. 

Dari cara paham itulah, sekolah Muhammadiyah memiliki perbedaan dengan kebanyakan praktik pendidikan ulama lainnya pada saat itu. Bagi Dahlan, Islam harus memiliki visi kemajuan, dan menggembirakan. Islam tidak boleh tertinggal dan apalagi identik dengan kebodohan. Atas prakarsa Dahlan itulah, Alfian (2010) menyebut Muhammadiyah berperan dalam reformis keagamaan.

Pun demikian, Ahmad Dahlan tidak hanya berkutat pada gerakan iman yang mencitakan kemurnian tauhid, Dahlan juga melakukan gerakan pembebasan dengan membangun gerakan filantropi, atau gerakan amal yang mencitakan kesejahteraan masyarakat Islam. Inilah sisi islam yang memperhatikan dimensi kemanusiaan. Melalui tafsir surat Al Maun, Dahlan mengajarkan kepada murid-muridnya suatu sikap dan gerakan menyantuni orang-orang lemah, baik secara kultural maupun struktural dengan gerakan amal nyata. Maka lahirlah dari Muhammadiyah panti asuhan, rumah miskin, beasiswa, dan lain sebagainya untuk melindungi mereka yang lemah dan dilemahkan. Dari gerakan Ahmad Dahlan inilah, kemudian di zaman yang berbeda setelah Indonesia merdeka, lahir istilah gerakan orang tua asuh. 

Saat ini, Muhammadiyah telah memiliki ratusan perguruan tinggi, puluhan rumah sakit, ribuan sekolah dan panti asuhan, tersebar di hampir semua provinsi di Indonesia. Di daerah yang mayoritas penduduknya bukan muslim, berdiri tegak sekolah dan perguruan tinggi Muhammadiyah. Di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Papua atau Papua Barat, yang mayoritas beragama Katolik, Muhammadiyah eksis menunjukkan baktinya melalui gerakan pencerahan di pendidikan. Jangan ditanya di daerah yang mayoritas muslim, apalagi di Pulau Jawa. Beberapa perguruan tinggi Muhammadiyah telah populer sebagai salah satu perguruan tinggi Islam yang diperhitungkan. 

Atas gerakan iman dan amal saleh pendidikan yang diinisiasi Muhammadiyah itu, Dr. Kuntowijoyo (1985) menyimpulkan muhammadiyah mampu menyatukan antara iman dan kemajuan yang luarannya adalah generasi muslim yang mampu hidup dan menjawab persoalan di jaman modern, tanpa bercerai kepribadian atau moralitasnya.  

Khatimah 

Apa yang dilakukan Dahlan adalah aksi nyata yang lahir dari refleksi pemikirannya. Bagi Dahlan, daripada mengutuk keadaan gelap gulita, lebih baik dia nyalakan lilin. Mungkin satu lilin tidak dapat menerangi luasnya langit nusantara, namun kalau satu lilin dinyalakan oleh banyak orang, pada akhirnya lilin-lilin tersebut akan menyingkap tabir gelap langit kesadaran Hindia Belanda. Itulah yang dilakukan Dahlan, sehingga ia dikenal sebagai kiai amal, sebuah istilah yang menyebut dirinya sebagai seorang ulama yang lebih banyak mengarustamakan aksi nyata, daripada berkutat pada wacana teoritis. 

Dari gerakan Dahlan itulah maka di Muhammadiyah amat populer istilah “amal usaha Muhammadiyah” disingkat AUM. AUM memiliki makna bahwa setiap langkah nyata Muhammadiyah sejatinya harus dilandasi sebagai niat amal saleh. Bahwa dalam amal saleh itu terdapat usaha yang bernilai keduniaan yang menyertainya, hal itu dimaksudkan untuk memperbesar gerakan dakwah Muhammadiyah. Bukan sebaliknya, gerakan dunia yang berorientasi pemuasan hasrat manusia, sehingga melupakan dimensi keikhlasan dan dakwah yang menjadi ciri gerakan amal. 

Berkaca dari praktik pengamalan keagamaan Muhammadiyah, sejatinya kita dikonfirmasi bahwa persoalan kehidupan manusia modern dapat diatasi apabila karakter nilai yang merupakan buah dari iman dan pendidikan reformis ala Muhamammadiyah tetap menyatu dalam denyut jantung umat manusia. Persoalan manusia modern seperti korupsi, deskriminasi, perusakan lingkungan, penyalahgunaan narkoba, kejahatan seksual dan kekerasan pada perempuan, politik uang, perampasan tanah, dan segudang masalah lainnya, akan dapat diatasi dengan integrasi penanaman nilai iman dan pendidikan karakter seperti yang telah dilakukan oleh Muhammadiyah. 

Namun, tantangan persoalan kehidupan manusia itu semakin lama semakin kompleks dengan dinamika yang menyertainya. Di situlah Muhammadiyah harus mampu menjawab dan merevitalisasi dakwah Islamnya. Jika Dahlan, telah meletakkan ijtihad besarnya pada abad 20, maka ijtihad besar baru oleh pengikutnya dinantikan umat manusia Indonesia. Mampukah Muhammadiyah bertahan menghadapi persoalan kompleksitas kehidupan manusia pada abad 21 ini? Jawabannya tergantung dari bagaimana pemimpin Muhammadiyah mengelola organisasi besar tersebut. Selamat Milad ke-107 Muhammadiyah. Teruslan mencerdaskan kehidupan bangsa, karena tugas itu sangat mulia.**

*Penulis tinggal di Kota Pekanbaru, Riau