Bencana Asap di Riau, Tanggung Jawab Siapa?

Bencana Asap di Riau, Tanggung Jawab Siapa?

Oleh: Hj Azlaini Agus, SH, MH
Tokoh Masyarakat Riau

PROVINSI Riau sampai hari ini masih merupakan bagian integral dari NKRI, dan masyarakat Riau sampai saat ini masih menjadi salah satu unsur yang membangun eksistensi Bangsa Indonesia. Hal ini penting untuk mengawali tulisan berikut ini.

Secara filosofis tujuan kita membentuk negara Indonesia sebagaimana tercantum di dalam pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia pada alinea keempat yakni antara lain adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia …… dan seterusnya. Berdasarkan hal itu maka adalah tanggung jawab dan kewajiban negara untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.


Melindungi seluruh tumpah darah Indonesia berarti negara harus mampu menjaga keutuhan wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote sebagai suatu kesatuan yang utuh sesuai dengan prinsip tri gatra (laut, darat, udara/ruang angkasa). Tidak ada satu kekuatan pun yang boleh mencerai beraikan dan menghancurkan wilayah NKRI.

Sedangkan melindungi segenap bangsa Indonesia berarti negara harus mampu menjamin keselamatan bangsa Indonesia (baik sebagai kelompok maupun sebagai individu), tidak saja terhadap musuh dari dalam maupun luar negara, tetapi juga dari segala ancaman, termasuk ancaman alam seperti bencana serta ancaman terhadap kesehatan, keselamatan, perekonomian dan sumber-sumber kehidupan setiap orang Indonesia. Negara wajib melindungi, dan kewajiban negara itu dilaksanakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yakni Presiden beserta seluruh aparatur negara dan pemerintahan baik di tingkat pusat sampai daerah.

Wilayah Provinsi Riau tahun 2019 ini kembali diterpa bencana asap yang disebabkan oleh Kebakaran lahan dan hutan (Karlahut). Lahan sengaja dibakar baik untuk Land-clearing (pembukaan Lahan perkebunan dan/atau HTI), maupun untuk re-planting (peremajaan perkebunan), yang kemudian disebabkan musim kemarau panjang dan kencangnya angin, menjadi tidak terkendali, hingga api merambah membakar hutan yang tidak saja meghancurkan hutan alam tropis (flora), tetapi juga membunuh dan menghancurkan satwa dan ekosistem yang ada.

Sebenarnya sejak awal tahun 2019 sudah terdeteksi sejumlah titik api (hot spot) yang tersebar di semua kabupaten/kota di Riau, itulah sebabnya Gubernur Riau Wan Thamrin Hasyim mengeluarkan Keputusan Gubernur Nomor Kpts. 620/II/2019, tertanggal 19 Februari 2019 yang menetapkan : Status Siaga Darurat Penanggulangan Bencana Karlahut di Provinsi Riau Tahun 2019.

Sebagai akibat pembakaran lahan dan hutan tersebut, hampir seluruh wilayah Provinsi Riau mengalami bencana asap tebal yang terjadi di seluruh kabupaten/kota Riau dengan kondisi yang tidak sama.

Gubernur Riau Syamsuar dilantik dan mengangkat sumpah pada tanggal 20 Februari 2019. sangat disayangkan setelah menjabat gubernur, beliau tidak segera memfollow-up status siaga darurat tersebut, bahkan terkesan menganggap enteng tentang bencana kebakaran lahan dan hutan, dan ditemukannya sejumlah hot spot di Riau, ini bisa dilihat dari jawaban/tanggapan Syamsuar dan bahasa tubuhnya ketika ditanya wartawan disela-sela acara Pelantikannya di Istana Negara.

Pada bulan Februari s/d Mei 2019, relatif belum ada kabut asap yang tebal di Riau, tetapi sudah terdeteksi sejumlah hot spot yang menandakan adanya kebakaran lahan dan hutan di wilayah Provinsi Riau. Namun karena Gubernur Syamsuar terlalu lambat merespon dan menindak lanjuti status Siaga Darurat yang sudah ditetapkan, kebakaran lahan dan hutan semakin meluas dan semakin tidak terkendali, yang pada umumnya terjadi di lahan gambut. Bulan Juni 2019 mulai muncul asap tebal di hampir seluruh Riau, dan bencana asap tersebut mencapai puncaknya pada bulan Agustus-September 2019, bersamaan dengan puncak musim kemarau.

Karena lambannya penanganan bencana karhutla ini, Gubernur Riau menuai banyak kritik dan kecaman, apalagi setelah terjadinya gangguan kesehatan yang massive akibat asap. Bahkan mahasiswa pun turun ke jalan, berunjuk rasa dalam jumlah yang besar. 

Dalam 10 tahun terakhir unjuk rasa mahasiswa dalam jumlah mencapai 2000-an orang baru terjadi pada tanggal 16 dan 17 September 2019. Kritik dan kecaman publik serta unjuk rasa sebgai protes penanganan Karhutla seharusnya menjadi kekuatan pendorong bagi Gubernur Riau untuk mengambil langkah-langkah komprehensif dan segera termasuk mengerahkan seluruh sumber daya yang ada untuk memadamkan karhutla, bukan ditanggapi secara negatif. 

Di dalam kehidupan demokrasi yang telah di bangun dengan susah payah setelah berakhirnya Pemerintahan Soeharto, maka kritik, kecaman termasuk unjuk rasa harus dipandang sebagai kekuatan pendorong dalam mengambil suatu kebijakan untuk masyarakat.

Sejak awal Agustus 2019, kabut asap sudah mulai tebal menyelimuti Riau, warga mulai sakit terserang ISPA. Puskesmas, RSUD dan RS Swasta sudah kewalahan melayani masyarakat, tapi tetap belum ada langkah terobosan yang diambil, sementara kebakaran lahan dan hutan terus meluas. 

Menurut sumber di media online suara.com, dalam tenggang waktu tanggal 1-15 September 2019 tercatat 15.346 orang penderita ISPA di Riau. Pada tanggal 16 September 2019 baru mulai didirikan Posko-posko Pelayanan Kesehatan oleh Pemprov Riau. Sedangkan beberapa Ormas seperti FPI dan Partai seperti PKS dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya sudah sejak akhir Agustus mengadakan Posko Pelayanan Kesehatan Masyarakat. Khusus untuk pendirian Posko Pelayanan Kesehatan Masyarakat oleh Pemprov Riau, sudah dicairkan anggaran Rp.1,2 milyar, tapi nyatanya di beberapa tempat hanya ada tenda yang didirikan, tapi tidak ada tenaga medis, tidak ada paramedis, dan tidak ada peralatan dan obat-obatan. 

Tanggal 18 September 2019, mahasiswa yang tergabung dalam Komunitas Remaja Indonesia mendirikan Posko Pelayanan Kesehatan Masyarakat dengan meminta bantuan peralatan dan obat-obatan ke Dinas Kesehatan Prov.Riau, tapi dijawab oleh petugas bahwa mereka tidak punya anggaran untuk itu. Pertanyaan nya sekarang, anggaran Rp.1,2 Milyar itu untuk siapa?. Pagi tadi seorang relawan di Pelalawan menjelaskan hal yang sama, bahwa Tenda-tenda Pelayanan Kesehatan itu sampai hari ini kosong, tidak ada aktivitas apapun.

Sementara di sisi lain pendidikan di Riau sudah lumpuh terhitung sejak tanggal 10 September 2019 yang lalu, tidak ada kegiatan belajar mengajar kecuali di Perguruan Tinggi. Jika Karhutla tidak juga bisa diatasi dalam waktu dekat, bisa dipastikan jumlah warga yang sakit akan terus bertambah. Seharusnya semua peralatan medis dan obat-obatan sudah ready to use, begitu juga tenaga medis dan paramedis sudah harus beraktifitas di Posko-posko Pelayanan Kesehatan, baik yang dibangun oleh Pemprov maupun Posko Swadaya Masyarakat.

Seberapa parah dampak bencana asap ini bagi warga masyarakat?. Dalam jangka pendek kabut asap tebal dan pekat ini terasa menggagu kenyamanan, sesak nafas dan ISPA, serta bagi yang menyandang penyakit yang bersumber alergi seperti astma dapat menyebabkan penyakit tersebut kambuh karena dipicu asap.

Dari aspek polusi akibat asap karhutla sejak akhir Agustus sampai awal September 2019, Indeks Standar Polusi Udara (ISPU) sudah menunjukkan angka berkisar 250-350 PM10 (sangat tidak sehat), sedangkan sejak tanggal 10 September 2019 ISPU sudah berada di atas 350 PM10 (BERBAHAYA).
Berbagai penelitian telah dilakukan oleh berbagai kalangan tentang dampak jangka panjang polusi asap. Sejalan dengan itu seorang dokter di RSUD Arifin Ahmad juga menjelaskan dampak polusi asap dalam jangka panjang terutama terhadap janin dalam kandungan, bayi, balita, dan remaja. Polusi asap mengandung partikel-partikel yang dalam jumlah tertentu (seperti kondisi sekarang PM10 sudah mencapai angka di atas 250) menyebabkan otak mengkerut/mengecil yang mengakibatkan manusia menjadi bodoh/idiot, juga berpotensi menyebabkan kanker dan penyakit berbahaya lainnya.

Dalam kondisi seperti itu, tentu keberadaan negara dan penyelenggara negara terus dipertanyakan. Ketika dampak buruk dari polusi asap (haze polution) ini terjadi, siapa yang bertanggung jawab?, negara melalui penyelenggara negara termasuk Presiden, Gubernur dan seluruh penyelenggara negara dan pemerintahan harus bertanggung jawab. 

Pernyataan Menko-Polhukam dan Kapolri yang menyatakan Karhutla di Riau tidak separah pemberitaan di media, menunjukkan sikap penyelenggara negara yang tidak bertanggung jawab. Jika penyelenggara negara Presiden, Gubernur, Menko Polhukam, Kapolri, dan lainnya sungguh tidak mau bertanggung jawab, maka ada baiknya warga Riau berpikir untuk mencari Presiden yang lain, mencari Gubernur yang lain, bahkan mungkin juga mencari negara lain yang bisa memberikan perlindungan untuk kita, warga Riau. ***