Refleksi 91 Tahun Sumpah Pemuda

Refleksi 91 Tahun Sumpah Pemuda

Oleh: Nugroho Noto Susanto

SUMPAH pemuda diperingati untuk mengenang satu peristiwa bersejarah berupa penegasan pemuda Indonesia, yang dipelopori oleh beberapa kelompok pemuda tentang perjuangan melawan kolonialisme/imperialisme. 

Begitu monumentalnya peristiwa tersebut, Presiden Soekarno pada 16 Desember 1959 melalui surat Keputusan Presiden Nomor 316 menetapkan 28 oktober sebagai hari sumpah pemuda nasional, yang diperingati oleh rakyat Indonesia hingga sekarang.


Sesungguhnya, sebelum 1928, sudah tumbuh gagasan dan semangat nasionalisme. Tokoh Tiga Serangkai, mendirikan Indische Parti pada 1912 sebagai sikap sadar dan upaya memajukan kehidupan orang-orang Hindia dengan menggelorakan semangat perlawanan terhadap penjajahan. 

Tiga Serangkai juga menyuarakan perlawanan terhadap rasialisme. Di tahun yang sama, Syarikat Islam (SI) berkembang di Surabaya pada kepemimpinan Pak Tjokroaminoto. SI berjuang lewat jalur politik, melakukan pembasisan di kelas buruh dan kaum tani serta miskin kota, menggelorakan kemerdekaan menentang imperialisme. 

Di SI inilah, Soekarno muda ditempa. Pada 1912 pula, di Yogyakarta, KH Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan Muhammadiyah, sebuah organisasi sosial bercorak Islam yang mencitakan kemajuan bangsa Hindia Belanda melalui jalur pendidikan, kepedulian sosial, dan kesehatan. Hingga saat ini Muhammadiyah masih eksis dan makin berkembang.

Pada 1925, Datuk Ibrahim seorang pemuda minangkabau lewat karyanya “menuju Republik Indonesia”, menggambarkan bagaimana menderitanya orang-orang Hindia Belanda di bawah imperialisme/kolonialisme. Datuk Ibrahim menulis “situasi di Indonesia” dengan penggambaran yang sangat memprihatinkan. 

Di bumi Eropa, di jantung kerajaan penjajah Belanda, Bung Hatta, seorang pemuda minangkabau lain, bersama Ali Sastroamijoyo, Ahmad Subardjo, Budhiarto, Sunario, Wirjano Projodikaro, dan kawan-kawan di organisasi Perhimpunan Indonesia (organisasi pertama pakai nama ‘Indonesia’) menuliskan pikiran ke-Indonesiaan melalui majalah yang mereka namakan “Indonesia Merdeka”. Akibat tindakan itu, Bung Hatta dan kawan-kawan dituntut ke pengadilan dengan tuduhan subversif, dan hasutan.

Rupanya regulasi soal pasal subversif dan hasutan di jaman modern dikenalkan sejak pemerintah kolonial Belanda. Hatta di pengadilan Denhag Belanda, menyampaikan pembelaan (pleidoi) dengan judul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka). Hatta dibebaskan dan divonis tak bersalah oleh pengadilan. Peristiwa itu terjadi pada maret 1928, sekitar enam bulan sebelum sumpah pemuda.

Semangat Muda Sumpah Pemuda Kongres pemuda 1928 bukan pertama kalinya. Pertemuan pertama telah dilaksanakan pada 30 April sampai 2 Mei 1926. Namun aura kedaerahan masih terasa dalam kongres I tersebut. Baru pada kongres II pemuda, 27-28 Oktober 1928, terdapat rasa yang berbeda. Jiwa nasionalisme, persatuan telah menguat. Terdapat Pemuda-pemuda revolusioner yang bergerak dan menyuksesakan pelaksaan

Kongres pemuda II. Menurut ulasan Aswab Nanda Pratama (2018) Kepanitiaan Kongres Pemuda II dipimpin oleh Sugondo Djojopuspito dari PPPI (ketua), Djoko Marsaid dari Jong Java (wakil ketua), Mohammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond (sekretaris), dan Amir Sjarifuddin dari Jong Batak (bendahara). 

Kepanitiaan ini didukung oleh pemuda-pemuda revolusioner seperti pemuda Sunario, Sumarsono, Sapuan Saatrosatomo, Zakar, Antapermana, Moh. Sigit, Muljotarun, Mardani, Suprodjo, Siwy, Sudjito, Maluhollo, Muh. Yamin, Suwondo, Abu Hanafiah, Amilius, Mursito, Tamzil, Suparto, Malzar, M. Agus, Zainal Abidin, Sugito, H. Moh. Mahjudin, Santoso, Adang Kadarusman, Sulaiman, Siregar, Sudiono Pusponegoro, Suhardi Hardjolukito, dan pemuda Pangaribuan Siregar.

Apa yang membuat gerakan pemuda 1928 menjadi begitu istimewa? Kaum muda ini berhasil menghimpun, atau meminjam istilah Larry Diamond sebagai konsolidasi. Anak-anak muda, dengan semangat muda itu secara berani mengumpulkan dan mengonsolidasikan pemuda-pemuda organik dari berbagai suku, agama, dan bahasa untuk menyatakan diri identitas kolektifnya. 

Dengan demikian, konsolidasi kaum muda itu menjadi sangat penting dan monumental, karena mereka berhasil menyatukan berbagai entitas di bumi Hindia Belanda. Dari lembaran sejarah kita diberitahu bahwa pemuda-pemuda itu awalnya adalah kader organik dari Jong Soematra, Jong Bataksbond, Jong Java, Sekar Roekoen, Pemoeda Kaoem Betawi, Jong Celebes, Pemuda Indonesia, Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia, dan sejumlah pemuda yang mungkin tak memiliki afiliasi dengan organ-organ tersebut. 

Berbagai ragam suku, agama, identitas tersebut kelak benar-benar menunjukkan persatuan perjuangan menuju Indonesia Merdeka. Di dalam gerakan pemuda 1928 tersebut, terdapat pula peran pemuda Tionghoa.

Merujuk ulasan Risa Herdahita Putri, rumah yang dijadikan markaz kongres Pemuda II adalah milik warga Tiong Hoa, Sie Kong Liong. Sekarang rumah tersebut telah diubah menjadi Musium Sumpah Pemuda. Peserta Kongres pemuda juga diramaikan oleh pemuda Tionghoa seperti Kwee Thiam Hong (Jong Sumatranen Bond), Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Penyebaran lagu “Indonesia Raya” karya WR Supratman terdapat kontribusi besar kawan-kawan Tionghoa. 

Yo Kim Tjan merekam syair Indonesia Raya. Bahkan Yo Kim Tjan harus ke Eropa untuk mencari alat rekam piringan hitam. Bayangkan berapa besar biaya, dan resiko yang ada di pundak Yo Kim Tjan. Dia tak menyoal resiko itu. Baginya, ini adalah kerja perjuangan kemerdekaan. Di tangan orang tionghoa inilah rekaman lagu Indonesia Raya menyebar menghentak solidaritas dan kebangkitan pemuda- pemuda Indonesia di berbagai daerah. 

Mengikuti ulasan Ravando Lie (2018), syair Indonesia Raya juga disebarluaskan oleh orang Tionghoa di surat kabar Sin Po. Berkat persetujuan Ang Yan Goan, direktur Sin Po, ruh perlawanan dan persatuan dalam lirik Indonesia raya, karya pemuda Purworejo yang digelorakan pada penutupan kongres pemuda II, disebarluaskan ke seantero negeri. Setelah Sin Po barulah diikuti oleh surat kabar lain.

Nur Janti menguraikan pula jejak perempuan revolusioner progresif sebagai penggerak Kongres pemuda II. Beberapa perempuan hebat itu adalah Poernomowulan, Siti Sundari, Emma Poeradiredja, Suwarni Pringgodigdo, Johanna Masdani Tumbuan, Dien Pantouw, dan Nona Tumbel. Perempuan revolusioner Poernomowulan adalah peserta pertama yang memberikan pidato dalam kongres II tersebut. Dia adalah seorang pendidik yang berwawasan kebangsaan, dan anti

imperialisme. Dari peristiwa kongres pemuda II ini, perempuan-perempuan revolusioner terinspirasi untuk menyelenggarakan Kongres Perempuan. Kelak, di Yogyakarta 22 Desember 1928 berlangsung kongres tersebut dan diperingati sebagai hari ibu sampai sekarang.

Keistimewaan lain dari gerakan kaum muda 1928 itu, meminjam istilah Benedict Anderson dalam Imagined Comunities (1983), adalah kemampuan mereka “mengimajinasikan” tentang konsep bangsa yang melekat pada diri mereka. Kaum muda 1928 itu menafsirkan tentang keragaman sosial, agama, historis, dan budaya yang sedang mengalami satu nasib yang sama yakni nasib dijajah oleh kejahatan penjajahan dari imperialisme Belanda. 

Apa yang melekat dan apa yang mereka rasakan itu membentuk suatu ide tentang Identitas kolektif. Ide mereka menegaskan tentang ke-kita-an, sebagai antitesa dari ke-aku-an. Ide mereka ini kelak bergerakdari satu kelompok ke kelompok lain, dari satu sekolah ke sekolah lain, dari satu pulau ke pulau lain, dari satu bahasa ke bahasa lain, dari satu suku ke suku lainnya, dari satu waktu ke waktu lainnya, hingga saat ini ide ini masih menggelora pada alam pikiran kita.

Di Jakarta, lewat sumpah pemuda 1928, mereka mencatat satu kesadaran baru bahwa imajinasi kebangsaan harus lebih besar dari hanya sekedar kecintaan pada satu suku atau etnis. Kebangsaan akan lebih besar dari hanya satu bahasa dan adat istiadat belaka. 

Sampai pada akhirnya, mereka sadar dan berani mendeklarasikan satu pernyataan bahwa keragaman suku, agama, bahasa, adat, budaya yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an tersebut perlu bersatu dalam tiga matra manifesto yakni satu bahasa, bahasa Indonesia, satu bangsa, bangsa Indonesia, satu tanah tumpah darah, tanah air Indonesia. 

Dengan tiga manifesto itu, terdapat satu pesan besar bahwa Ketika ada satu akar bangsa, berupa suku atau agama, atau bahasa di salah satu sudut wilayah Indonesia ini tersakiti, maka sejatinya nurani ibu pertiwi bangsa Indonesia tersakiti juga. Ketika terjadi perampasan tanah di salah satu wilayah Indonesia oleh penjajah, maka sejatinya terjadi perampasan pada daulat tanah tumpah darah Indonesia.

Tantangan Pemuda Dalam rentang waktu, 1928-2019, Sembilan puluh satu tahun usia sumpah pemuda, lantas kita bertanya di sini, akankah imajinasi tentang Ke-Indonesia-an masih bertahan utuh? Atau jalinan esensial sumpah pemuda itu telah mulai kusut? Masihkah terdapat pemuda-pemuda revolusioner yang berjuang melawan persaoalan zaman? Marilah kita jujur dalam hati dan pikiran kita, bahwa kondisi kebangsaan kita masih menyisakan persoalan. Kita menghadapi tantangan dan persoalan seperti ketimpangan ekonomi dan sosial, yang justru banyak menerpa kaum muda itu sendiri. Masih banyak pemuda di desa dan kota yang belum bekerja.

Masih banyak anak-anak yang belum mendapat akses sekolah. Persoalan stunting akibat gizi buruk melanda anak-anak bangsa. Begitulah catatan-catatan di banyak media massa kita yang patut menjadi perhatian para pihak.

Kita belum melupakan bagaimana ajang kontestasi pemilu serentak 2019 yang diwarnai tindakan ujaran kebencian. Pembelahan masyarakat terjadi akibat intoleransi masih terjadi. Berita bohong atau hoaks masih menyelimuti media sosial kita. Bahkan sifat individualisme masih terdapat di kalangan anak bangsa. Belum

ditambahkan catatan literasi anak bangsa yang masih belum menggembirakan. Yang juga merisaukan pikiran kita, catatan konflik agraria yang menerpa rakyat sering kali menghiasai halaman depan media massa kita. Tak jarang air mata anak bangsa tertumpah karena mata air kehidupannya telah tiada.

Di momentum 91 tahun sumpah pemuda, pesan terdalam sumpah pemuda masih saja relevan. Mari kita rawat keindonesiaan yang kita cintai ini dengan penuh kesungguhan dan otentik. Kita tinggalkan hal-hal artifisial yang acapkali tidak sampai pada kedalaman makna. 

Kita ganti dengan pikiran dan laku yang mengedepankanesensi. Semoga semangat kaum muda 1928 menghunjam kuat bak akar pepohonan yang menopang kehidupan alam ke-Indonesia-an. Selamat Hari Sumpah Pemuda untuk seluruh rakyat Indonesia. Mari kita lantangkan kembali sumpah pemuda 1928.

Kami poetra dan poetri Indonesia,mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia; Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia; Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia. Merdeka!

 

*Penulis: Komisioner KPU Provinsi Riau