Masih Merdekakah Kita?

Masih Merdekakah Kita?

Oleh: Prof Dr Alaiddin Koto
Guru Besar UIN Suska Riau


RIAUMANDIRI.CO - Merinding bulu roma ketika menyanyikan lagu:
Tujuh belas Agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia
Merdeka
Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat di kandung badan
Kita tetap setia tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia tetap setia
Membela negara kita

di kampus UIN Suska Riau saat acara memperingati HUT Kemerdekaan RI ke-74 pagi tadi.


Bait-bait  “sekali merdeka tetap merdeka,” “kita tetap setia mempertahankan Indonesia,”  serta “kita tetap setia membela negara kita,” membuat air mata penulis menggenang hampir tumpah membasahi pipi. “Masih merdekakah kita ? Masih kah kita setia mempertahankan dan membela negara Indonesia?“

Tujuh puluh empat tahun usia negara ini. Tujuh puluh empat tahun pula teks dan suara proklamasi kemerdekaan didengungkan ke setiap telinga anak bangsa. Tetapi betulkah  tujuh puluh empat tahun pula negeri dan anak-anak bangsa ini berada dalam kemerdekaan ? Betulkah selama sekian pulun tahun itu para petinggi negara dan kita semua bertahan untuk mempertahankan negara dan bangsa ini dari rongrongan kaum “penjajah,” kaum yang hanya ingin menguras kekayaan tanah dan air Indonesia tetapi tidak mau mengurusnya sebagai warisan para pahlawan yang telah melepaskannya dari belenggu kolonial ?

Itulah pertanyaan yang menyeruak di dalam hati dan fikiran ketika mendengar dan menumandangkan lagu itu secara bersama di tanah lapang, persis ketika upacara peringatan serupa sedang sedang digelar di kantor-kantor pemerintahan di seantaro tanah air.

Penulis masih teringat, di suatu kesempatan , sekitar lima tahun yang lalu, dengan raut muka yang penuh keprihatinan, Letnan Jenderal (Purn) Ir. Azwar Anas, memaparkan kondisi bangsa Indonesia yang kini sudah terjajah kembali setelah menyatakan merdeka sejak sekian puluh tahun yang lalu itu. Secara rinci beliau memaparkan data tentang  dominasi asing yang telah menguasai sektor-sektor terpenting di negara ini. 

Di dunia bisnis, misalnya, terdapat beberapa sektor yang menurut rencana akan dibuka untuk asing: Pelabuhan bisa mencapai 49%; operator bandara bisa mencapai 100%; jasa kebandaraan 49%; terminal darat untuk barang 49%; periklanan bisa mencapai 51%; perbankan 50.60% (bahkan, konon, 60% saham Bank Mu’amalat Indonesia kini dimiliki oleh Arab); Pertambangan (migas 70%; batu bara, bauksit, nikel dan timah 75%; tembaga dan emas 85%); telekomunikasi (XL 70%; Indosat 65%; Hutchison Tri 60%); perkebunan kelapa sawit 40%. 80% pasar tekstil, 80% pasar farmasi, dan 92% insdutri teknologi dikuasai bangsa lain. 

Itu adalah data beberapa tahun yang silam dan tidak diketahui apa yang terjadi sekarang, di saat hari kemerdekaan diperingtati, di saat negeri ini telah berumur tujuh puluh empat tahun. 

Melihat kepada gejala yang ada, data atau angka tersebut mungkin telah lebih besar dari apa yang dikemukakan di atas. Nyatanya, kini, hampir semua produk yang digunakan, mulai dari makanan, pakaian, obat-obatan, otomotif, elektronik, buah-buahan, bahkan sampai permainan anak-anak berasal dari negara atau bangsa lain yang membanjiri negeri ini tanpa kendali, bak air bah yang tertumpah dari gunung. 

Kita seakan-akan bersedia memiskinkan diri sendiri untuk mengkayakan orang lain.  Kita seakan-akan menyediakan diri untuk menjadi bodoh dan dibodoh-bodohi untuk membuat bangsa lain semakin pintar dan semakin kreatif, lalu menyediakan negeri sendiri sebagai pasar bebas untuk membuat mereka semakin kaya dan semakin berkuasa. 

Masyarakat semakin konsumtif, anak-anak muda semakin liar dan nakal, dan alam sekitar semakin tidak bersahabat untuk tempat tinggal. Bila itu yang terjadi dan memang begitulah yang terjadi, maka pertanyaan “masih merdekakah kita” seperti judul di atas menjadi sangat relevan untuk direnungkan di hari yang sangat bersejarah ini. 

Bahkan, “masihkah kita yang empunya negeri ini ?” agaknya menjadi pertanyaan yang lebih relevan lagi bila ingin melalukan koreksi terhadap prilaku masa lalu yang telah dikerjakan selama ini. Karena, berapa banyak dan berapa luas tanah ulayat rakyat  yang dirampas lepas ke tangan “orang lain” atas nama undang-undang, atas nama kepentingan nasional atau atas nama yang lainnya. 

Berapa banyak keringat dan air mata bahkan nyawa yang tertumpah dan melayang untuk mempertahankan hak, untuk menuntut keadilan dan pengayoman yang seharusnya diberikan oleh negara. Jangankan anak-anak bangsa yang hidupnya nestapa jauh dari sejahtera, mereka yang secara ekonomi  tidak lagi tergolong kaum papa pun—tetapi punya kepedulian kepada sesama—merasakan sesak dada melihat kenyataan yang sekarang sedang melanda. 

Lalu, masih pantaskah itu disebut “merdeka”, sementara yang dirasakan adalah sengsara ? 

Tulisan ini tentu tidak dimaksudkan untuk memaki-maki diri sendiri, namun  sebagai bagian dari evaluasi, “memaki” diri adalah diantara cara yang perlu dilakukan agar tidak menjadi orang yang selalu merasa benar, merasa hebat, lalu kehilangan kesadaran akan  kekurangan yang melekat pada diri. 

Al-Qur’an mengatakan orang seperti ini sebagai manusia fasik yang lupa kepada Allah, lupa diri, lalu berbuat kefasikan di atas bumi. 

Evaluasi akan kemasalaluan untuk menyadari kekinian dalam rangka mempersiapkan masa depan yang lebih baik adalah perintah Allah dalam al-Qur’an (QS. 59:14). Maka, sangat mudah untuk dipahami bila Pak Jokowi pernah berkeinginan agar para menteri dalam kabinetnya kelak bukan orang-orang yang berasal dari petinggi partai politik, apalagi ketua partai politik. 

Pengalaman selama lebih 20 tahun masa pemerintahan pasca reformasi menjadi bukti betapa kebanyakan dari orang-orang seperti itu lebih banyak mudharatnya didudukkan di jabatan eksekutif dibanding manfaatnya untuk kepentingan rayat dan negara. 

Pemimpin negara (al-wilayah al-tanfiziyyah, eksekutif) mengedepankan kewajiban malaksanakan amanah yang diberi rakyat, sementara partai politik mengedepankan kepentingan untuk mengejar dan meluaskan kekuasaan. 

Menteri yang juga ketua partai politik akan menjadi pemimpin yang dalam dirinya terjadi pertarungan antara kewajiban dan kepentingan. Akibatnya, ia akan bekerja setengah-setengah hati, tidak fokus, lalu khianat kepada yang memberi amanah kepadanya. Semoga Presiden Jokowi, bila memang ditakdirkan Allah untuk melanjutkan beliau sebagai pemegang tali teraju Presiden di republik ini, tidak ragu-ragu dengan pendiriannya yang sudah benar itu.



Tags HUT RI